Negara Adidaya itu Kian Tak Berdaya Hadapi Teror Penembakan
Yang menjadi pertanyaan di benak publik warga dunia adalah mengapa sering terjadi peristiwa penembakan di AS? Mengapa pula orang dengan mudahnya melakukan penyerangan menggunakan senjata?
JERNIH – Kembali Amerika Serikat mengalami teror penembakan sporadis. Setelah sebelumnya seorang pria (72) menembak mati 11 orang pada perayaan Tahun Baru Imlek, kini ada lagi 2 kali tembakan hingga membuat 7 orang tewas. Negara adidaya itu makin tak berdaya menghadapi aksi teror warganya ini.
Penembakan terbaru terjadi pada Senin (23/1/2023). Pelaku melepaskan 2 kali tembakan hingga membuat 7 orang tewas di tempat. Kasus itu terjadi di peternakan yang berdekatan di dekat Half Moon Bay, komunitas pesisir Pasifik dekat San Francisco.
Sheriff Kabupaten San Mateo, Christina Corpus mengatakan bahwa 7 orang tewas dan 1 orang terluka dalam 2 kali penembakan itu, dan seorang penduduk Half Moon Bay (67) bernama Zhao Chunli telah ditahan.
Kasus penembakan ini terjadi kurang dari 48 jam setelah seorang pria (72) menembak mati 11 orang pada perayaan Tahun Baru Imlek di aula dansa di Los Angeles, California. Para detektif di ujung selatan negara bagian itu masih menyelidiki motivasi dari imigran lansia asal Asia yang menembak mati 11 orang di aula dansa pinggiran kota sebelum bunuh diri.
Tersangka Huu Can Tran menggunakan pistol semi-otomatis saat melakukan penembakan di Monterey Park pada Sabtu (21/1/2023) malam, membunuh pria dan wanita berusia 50-an, 60-an dan 70-an, dan 1 orang ditembak di tempat parkir. Dia lalu pergi ke aula dansa lainnya. Beberapa jam kemudian, Tran menembak mati dirinya sendiri saat polisi masuk.
Sheriff Kota Los Angeles, Robert Luna mengatakan pada Senin (23/1/2023) bahwa Tran, yang sebelumnya pernah ditangkap pada tahun 1994 karena memiliki senjata api secara tidak sah, dan menembakkan 42 peluru dalam serangan itu. Akan tetapi menurutnya, masih banyak kasus Tran lainnya yang masih belum terungkap.
“Apa yang mendorong orang gila melakukan ini? Kami tidak tahu. Tapi kami berniat mencari tahu,” katanya, seperti dilansir dari Channel News Asia, Selasa (24/1/2023). Sementara itu, detektif sedang melihat koneksi Tran sebelumnya ke 2 lantai dansa tersebut, dengan hubungan pribadi sebagai penyelidikan utama.
Penduduk Monterey Park, Chester Hong, mengatakan pada Minggu (22/1/2023) bahwa dia percaya perselisihan internal atas undangan ke pesta malam Tahun Baru Imlek bisa menjadi akar masalah dari serangan tersebut. Luna membenarkan bahwa petugas telah diberi tahu bahwa Tran mungkin dikenal oleh beberapa korbannya, tetapi mengatakan saat ini tidak ada bukti bahwa dia terkait dengan siapapun.
Menurut Arsip Kekerasan Senjata AS, tahun lalu, terjadi 213 penembakan massal, yang didefinisikan sebagai insiden di mana setidaknya empat orang ditembak atau terbunuh, telah terjadi di Amerika. Pada 2021, terjadi 692 penembakan massal tercatat, meningkat dibandingkan dengan 610 selama tahun 2020.
Penembakan massal sering terjadi di tempat umum seperti sekolah atau bar. Namun sebenarnya penembakan lebih sering terjadi di tempat-tempat privat seperti di rumah. Berbeda dengan penembakan massal di tempat umum yang cenderung mendapat lebih banyak perhatian media, penembakan di tempat-tempat pribadi ini kurang mendapat perhatian media.
Mengapa begitu sering terjadi?
Yang menjadi pertanyaan di benak publik warga dunia adalah mengapa sering terjadi peristiwa penembakan di AS? Mengapa pula orang dengan mudahnya melakukan penyerangan menggunakan senjata? Padahal kita tahu bahwa AS memiliki perangkat penegakan hukum yang modern dan canggih sehingga bisa melakukan deteksi dini terhadap peristiwa kriminal seperti halnya aksi-aksi terorisme.
Mungkin, beberapa orang berspekulasi, itu karena masyarakat Amerika luar biasa kejam. Atau perpecahan rasialnya telah merusak ikatan masyarakat. Atau warganya tidak memiliki perawatan mental yang layak. Atau juga warga AS senang bersikap seperti koboy memiliki senjata dan dibawa ke mana-mana.
Soal senjata ini yang paling banyak mendapat sorotan dan menjadi kambing hitam dari tingginya tingkat penembakan massal di AS. The New York Times pernah menulis bahwa orang Amerika menjadi bagian dari sekitar 4,4 persen populasi global tetapi memiliki 42 persen senjata dunia. Dari tahun 1966 hingga 2012, 31 persen pria bersenjata dalam penembakan massal di seluruh dunia adalah orang Amerika, menurut sebuah studi tahun 2015 oleh Adam Lankford, seorang profesor di University of Alabama.
Fakta lain juga menyebutkan, bahwa puluhan juta orang Amerika memiliki senjata sendiri. Empat dari 10 orang Amerika tinggal di rumah tangga dengan senjata api, sementara 30% mengatakan mereka memilikinya secara pribadi, menurut survei tahun 2021 oleh Pew Research Center. Mungkin warga AS merasa lebih suka memegang senjata dana. Ini pula yang menjadi hambatan terwujudnya undang-undang senjata yang lebih ketat.
AS adalah salah satu dari tiga negara yang memasukkan hak kepemilikan senjata dalam konstitusinya, bersama dengan Meksiko dan Guatemala. Hak “rakyat untuk menyimpan dan memanggul senjata,” yang diabadikan dalam Amandemen Kedua, didirikan pada abad ke-18 untuk memungkinkan negara-negara membentuk milisi untuk melindungi diri mereka sendiri dari penindasan oleh pemerintah federal.
Mungkin karena ini pula, meskipun ratusan penembakan massal di AS setiap tahun, Kongres telah berulang kali gagal meloloskan undang-undang kontrol senjata utama. Hal ini karena banyak rintangan untuk memberlakukan undang-undang senjata yang lebih ketat di AS.
Berbeda dengan AS, di Inggris setelah terjadi penembakan massal pada tahun 1987, negara itu memberlakukan undang-undang kontrol senjata yang ketat. Begitu pula Australia setelah penembakan tahun 1996. Tetapi Amerika Serikat telah berulang kali menghadapi peristiwa penembakan massal tetapi masih belum ada kesepatan untuk pengaturan ketat kepemilikan senjata.
Lebih parahnya, penggunaan senjata dalam serangan massa itu tidak hanya jenis pistol tetapi juga senjata serbu serta magasin berkapasitas tinggi. Akibatnya menimbulkan lebih banyak kematian dan cedera. Antara 2009 dan 2020, lima insiden penembakan massal paling mematikan di AS semuanya melibatkan penggunaan senjata serbu dan/atau magasin berkapasitas tinggi seperti di Las Vegas, Orlando, Newtown, Sutherland Springs, dan El Paso.
Terkait penyakit jiwa?
Selain faktor kepemilikan senjata yang sangat luas di Amerika Serikat, ada sorotan lain tentang perilaku penembakan massal ini yang makin meluas ini. Faktor ini adalah soal kesehatan mental. Namun hubungan antara penyakit mental dan kekerasan seperti penggunaan senjata ini juga masih menjadi perdebatan.
Beberapa bukti kuat menunjukkan bahwa penembak massal sering sakit mental dan terpinggirkan secara sosial. Torrey, seorang psikiater, pernah menyatakan bahwa “kira-kira setengah dari pembunuhan massal dilakukan oleh orang-orang dengan penyakit mental yang parah, kebanyakan skizofrenia, dan jika mereka dirawat, mereka sebenarnya dapat dicegah.” Mahkamah Agung AS juga mendukung larangan kepemilikan senjata oleh penjahat dan orang sakit jiwa karena potensi khusus mereka untuk kekerasan.
Masih dalam kaitan kesehatan mental ini, banyak pihak di AS yang mendesak para ahli dan pekerja kesehatan mental lebih banyak memberi peran pencegahan terhadap pelaku penembakan massal. Para ahli jiwa ini bisa melakukan deteksi dini terhadap siapa saja orang yang berpotensi melakukan kejahatan termasuk penembakan sadis. Ia harus bekerja sama dengan petugas dan melaporkan apapun yang mencurigakan.
Satu lagi yang menjadi sorotan adalah penggunaan obat-obatan psikotropika dan alkohol yang makin meluas. Kombinasi toxic penyakit mental, kondisi sosial ekonomi, senjata api, dan obat-obatan psikotropika berkontribusi pada beberapa kasus penembakan massal.
Kompleks memang yang dihadapi negeri Paman Sam ini dalam urusan tembak-menembak ini. Musuhnya bukan negara lain atau aksi terorisme. Karena itu, tanpa penyelesaian persoalan yang mendasar seperti pengetatan kepemilikan senjata, penggunaan obat-obat psikotropika hingga memperhatikan kesejahteraan mental dan ekonomi warganya, peristiwa seperti ini masih berpotensi terjadi.