Crispy

Kenangan Tentang ‘Londo Ireng’ Antara Kampung Afrika di Purworejo dan Bukit Jawa di Ghana

  • Personel KNIL asal Afrika datang setelah Belanda kehabisan pasukan akibat Perang Diponegoro.
  • Setelah 1915, sebagian dari mereka kembali ke Afrika dan lainnya bertahan di Pulau Jawa.

JERNIH — Di Purworejo, Jawa Tengah, pernah ada Kampung Afrika, dengan dua jalan setapak bernama Gang Afrikan I dan Gang Afikan II. Kini, Kampung Afrika tidak ada lagi. Sedangkan Gang Afrikan I dan II menjadi Gang Koplak I dan II.

Di Elmina, kota pesisir selatan Ghana, terdapat Java Hill (Bukit Jawa). Nama ini masih ada sampai saat ini karena menyimpan sejarah. Ada pula Elmina Java Museum, atau Museum Jawa Elmina, yang didedikasikan untuk mengenang orang-orang Elmina yang pernah menjadi tentara KNIL di Hindia-Belanda.

Meski tinggal nama, Kampung Afrika adalah jejak tak terhapus dalam sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia. Di Afrika, Bukit Jawa dan Museum Jawa Elmina adalah kenangan abadi orang Afrika tentang Jawa.

Belanda Item, Belanda Hitam

Antara 1945-1949, masyarakat Indonesia menggunakan kata ‘Belanda Item’ atau Londo Ireng untuk menunjuk serdadu KNIL yang berasal dari timur Indonesia dan sedikit orang Jawa. Sebutan itu seolah baru, dan menjadi umum di banyak tempat selama periode perang mempertahankan kemerdekaan.

Kata Belanda Item, atau dalam Bahasa Indonesia baku adalah Belanda Hitam, telah ada sejak lama. Tepatnya sejak Belanda membawa orang-orang Afrika ke Pulau Jawa untuk dijadikan serdadu KNIL antara 1831 sampai 1872. Jumlahnya sekitar 3.000 lebih.

Belanda, menurut Ineke van Kessel dalam The Black Dutchmen African soldiers in the Netherlands East Indies, menghadapi dua perang yang menguras banyak sumber daya manusia; perang separatisme Belgia dan Perang Diponegoro atau Perang Jawa.

Khusus Perang Diponegoro, Belanda kehilangan 8.000 serdadu kupit putih Eropa dan belasan ribu tentara pribumi. Akibatnya, reservoir nasional untuk perekrutan tentara menyusut.

Belanda mencari sumber tenaga baru untuk memasok tentara di Hindia Belanda, dan pilihannya adalah meniru British West Indies yang merekrut orang kulit hitam di Dunia Baru, sebutan untuk koloni Inggris yang kini bernama Amerika Serikat.

Terjadi perdebatan. Deparemen Koloni Belanda keberatan dengan berbagai alasan. Terutama soal kesetiaan orang kulit hitam Amerika. Departemen Koloni mengajukan usul untuk merekrut langsung orang-orang kulit hitam dari tempat asalnya, yaitu Afrika.

Belanda melirik wilayahnya di Afrika, yang terlupa sejak penghapusan perbudakan tahun 1814, yaitu Pantai Guinea. Pejabat Belanda yakin orang Afrika adalah manusia tahan banting. Ada istilah ketika semua populasi di satu wilayah punah, yang tersisa hanya orang kulit hitam Afrika.

Tahun 1931, Departemen Koloni menginstruksikan Gubernur J Last di Elmina merekrut satu kompi terdiri dari 150 kulit hitam Afrika. Gubernur Last ragu bisa merekrut orang sebanyak itu, tapi mengirim utusan ke Axim dan Accra. Ia juga mendekati Raja Ashanti (Ghana – red) untuk membantunya.

Keraguan Last terbukti. Tiga kapal yang dikirim dari Belanda hanya membawa 18, 19, dan tujuh rekrutan. Menariknya, tidak semuanya Afrika tulen. Beberapa berasal dari keluarga Afro-Eropa terkenal.

Rombongan pertama Afrikaan Soldaten, demikian orang Belanda menyebutnya, berjumlah 44. Mereka diterjunkan dalam Perang Padri melawan pasukan Imam Bonjol, dan tampil mengesankan.

Menjulang tinggi dengan muka legam, serdadu Afrika ditakuti serdadu pribumi dalam setiap pertempuran. Namun, Gubernur Jenderal Van den Bosch, yang berkuasa di Hindia-Belanda, mengeluhkan harga yang harus dibayar untuk 44 serdadu itu.

Biaya serdadu kulit putih Belanda yang dikirim ke Batavia 120 gulden. Ongkos serdadu Afrika 1.232 gulden per kepala. Jadilah serdadu Afrika sebagai tentara berbiaya tinggi.

Van den Bosch menginginkan uji coba tentara Afrika diakhiri, tapi Departemen Koloni justru mengirim rombongan berikut yang terdiri dari 68 tentara pada tahun 1836. Operasi perekrutan juga diperluas, alias tidak hanya di Kerajaan Ashanti, tapi ke wilayah Afrika lainnya.

Perekrutan Besan-besaran

September 1836, sebuah misi resmi dipimpin Mayor Jenderal Jan Verveer berangkat ke Ashanti dengan kapal penuh hadiah; senjata, parfum, perak, permen, kristal, jam, dan kamera obscura, untuk membujuk Raja Kwaku Dua I memberikan sejumlah besar tenaga kerja kepada Belanda.

Tahun berikut Raja Willem I dan Raja Kwaku Dua I menandatangani kontrak penyediaan 1.000 tenaga kerja dalam setahun. Sebagai gantinya, Ashanti mendapatkan 2.000 senjata sebagai pembayaran di muka dan 4.000 lagi setelah 1.000 tenaga kerja terpenuhi.

Perekrutan gagal. Hanya 51 orang yang mendaftar. Sebab, hukum Ashanti melarang warga negara meninggalkan wilayahnya. Ashanti hanya akan menjual beberapa bduak ketika membutuhkan uang.

Akibatnya, Belanda membeli tenaga kerja di pasar gelap budak dan memanipulasi asal-usul setiap budak. Jadi, Afrikaan Soldaten tidak lagi berasal dari Ghana, tapi Burkina Faso.

Mereka berasal dari berbagai etnis; Hausha, Grushi, atau Mossi. Atau, mereka hanya Donko, label umum untuk orang Afrika berstatus budak dari wilayah utara Ashanti. Menariknya, saat dipersatukan sebagai tentara KNIL, batas pemisah yang bernama etnis hilang, dan mereka menyatu dalam satu identitas; Afrika.

Ghana, khususnya Kumasi dan Elmina, kembali menjadi kontributor terbesar tenaga kerja untuk tentara di Hindia Belanda. Sampai 1842 sebanyak 2.100 orang Afrika berangkat dari Kumasi dan Elmina. Suriname juga membutuhkan mereka, dan Belanda mengirim 50 orang tahun 1840.

Setelah orang Afrika dalam jumlah besar tiba, masalah muncul. Pertama bahasa. Kedua fasilitas. Orang Afrika tak bisa bahasa apa pun kecuali bahasa nenek moyang mereka. Di sisi lain instruksi diberikan dalam Bahasa Belanda dan Melayu.

Serdadu Ambon dan Afrika menikmati fasilitas tidur berbeda. Orang Afrika protes. April 1840 tiga kompi Afrika dari Batalyon Infanteri ke-4 di Kedong Kebo, Purworejo, menggelar protes bersenjata menuntut alas tidur lebih baik.

Terakhir, mereka memprotes pemotongan gaji per hari. Semula pemotongan itu adalah bagian dari cicilah pembayaran mereka untuk bebas dari status budak. Pemotongan berlaku tiga tahun. Ternyata, pemotongan berlanjut sampai sekian lama.

Pejabat KNIL mengatasi semua persoalan itu, yang membuat Zwarte Hollander tetap menjadi kekuatan inti. Mereka dilibatkan dalam berbagai ekspedisi. Salah satunya ekspedisi ke Bali tahun 1849. Saat itu orang Afrika tampil lebih baik dibanding serdadu kulit putih.

Antara 1860-1872 sebanyak 800 tentara Afrika berlayar dari Elmina ke Batavia. Mereka terjun dalam Perang Aceh yang berlangsung puluhan tahun dan brutal. Rekrutmen terakhir terjadi tahun 1872, dengan sejulah tentara Afrika berangkat dari Elmina dan Pantai Guinea ke Inggris.

Memilih Ikut ke Belanda

Belanda masih mencoba merekrut orang Afrika tahun 1890 di Liberia tapi gagal. Setelah itu tidak ada lagi perekrutan. Tahun 1915 hampir seluruh tentara Afrika mengakhiri tugasnya.

Sebagian besar memilih tinggal di Jawa, tempat mereka diterima di komunitas Indo-Afrika. Lainnya memilih kembali ke Afrika.

Mereka yang tinggal di Jawa tersebara di sejumlah kota; Semarang, Salatiga, Purworejo, dan Solo. Mereka beranak-pinak, dan mewariskan tradisi berkarier sebagai tentara ke anak cucu. Ada yang bertugas sebagai tentara Belanda, tidak sedikit yang menjadi bagian inti KNIL.

Mereka yang kembali ke Elmina memberi nama pemukiman mereka, sebidang tanah yang diberikan Belanda, dengan nama Java Hill. Profesor Thad Ulzen, cicit Kopral Manus Ulzen, melacak jejak mereka dari AS, Belanda, dan Jawa.

Kenangan mereka terhadap Jawa dibadikan dengan pendirian Museum Jawa Elmina. Di museum ini kisah perjalanan dan pemukiman mereka bisa dibaca. Ada sejumlah foto terakhir tentara Afrika saat bertugas di Aceh dan Bali.

Setelah Indonesia merdeka, keturunan Indo-Afrika yang bertahan di bermukim di kota-kota di Jawa memilih ikut majikan mereka ke Belanda. Di Belanda, mereka masih menyandang status Black Dutchman, Zwarte Hollander, atau Belanda Hitam.

Back to top button