Crispy

Thay San Kongsie, Toko Buku Gunung Agung, dan Akhir Sebuah Legenda

  • Tjio Wie Tay mendatangi rumah-rumah orang Belanda untuk meminta buku, yang akan dijual dengan harga murah.
  • Ia menghimpun dana dari kalangan pembaca buku; wartawan, sastrawan, Mohammad Hatta, dan mitra lamanya.
  • Berbekal Rp 500 ribu, Tjio Wie Tay menggelar pameran buku dan memulai perjalanan sejarah Toko Buku Gunung Agung.

JERNIH — Dulu, emak saya paling semangat kalo cerita tentang Haji Masagung — pemilik Toko Buku Gunung Agung di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Maklum, dia tahu masa muda Tjio Wie Tay, pendiri dan pemilik NV Gunung Agung sebelum menjadi mualaf dan berganti nama menjadi Haji Masagung.

“Dulu mah, tokonya kecil,” kata emak saya yang lahir di Kwitang dari keluarga penduduk asli Kwitang.

“Emak kenal sama bini-nya Masagung,” kata emak saya lagi tanpa menyebut nama istri Haji Masagung yang bernama Cheng Hian Nio dan berganti nama menjadi Ida Ayu Agung.

Andai emak saya masih hidup, saya nggak tahu bagaimana perasaannya ketika mendengar kabar mulai September 2023 seluruh toko buku Haji Masagung tutup. Toko Buku Gunung Agung tinggal lima dan semuanya tersebar di Jabodetabek.

Bagi saya, kabar ini menyedihkan. Meski tak pernah lagi menyambangi Toko Buku Gunung Agung dalam dua dekade terakhir, saya menyimpan banyak kenangan dengan ikon bisnis penerbitan buku itu. Hampir 90 persen buku yang saya miliki saya beli di Toko Buku Gunung Agung.

Hari ini, sepagian saya melacak jejak sejarah Toko Buku Gunung Agung, dan bagaimana Keluarga Tjio Wie Tay membangun bisnis itu dengan semangat mencerdaskan bangsa dan menawarkan beragam bacaan berkualitas.

Segalanya dimulai tahun 1945. Tiga pedagang rokok keliling; Tjio Wie Tay, Lie Tay San, dan The Kie Hoat, sepakat mendirikan usaha bersama yang diberi nama Thay San Kongsie. Thay San adalah kata dalam Bahasa Hokkien yang artinya Gunung Agung.

Mereka membuka toko di Lapangan Kramat Bunder, tidak jauh dari rumah Lie Tay San, yang menjual rokok, agen bir cap Burung Kenari, dan menjajakan buku. Namun, dari semua barang yang dijual di toko itu, buku yang paling laris.

Tiga tahun kemudian, ketiganya sepakat mengukuhkan binis mereka dalam bentuk firma dengan nama Firma Thay San Kongsie. Lie Tay San menguasai 40 persen saham, Tjio Wie Tay 33 persen, dan The Kie Hoat 27 persen.

Sebagai direktur, Tay San dan Kie Hoat sepakat menunjuk Tjio Wie Tay. Keduanya tak keliru. Wie Tay piawai mengelola. Ia membuka toko di kawasan Kwitang. Ketika orang-orang Belanda akan meninggalkan Indonesia, Wie Tay mendatangi rumah-rumah pemukim kulit putih untuk meminta buku-buku mereka dan dijual dengan harga murah.

Setelah Wie Tay menikah dengan Cheng Hian Nio tahun 1951, Firma Thay San Kongsie menghadapi cobaan pertama. Lie Tay San menolak menambah modal untuk ekspansi, keluar dari kongsie tapi tak meninggalkan bisnisnya.

Lie Tay San tetap mengelola toko bukunya di Lapangan Kramat Bunder, kemudian populer dengan sebutan Toko Buku Kramat Bunder. Wie Tay dan The Kie Hoat membangun toko di Jl Kwitang No 13, kini menjadi Gedung Idayu.

Saat itu Jl Kwitang Raya masih sepi. Setelah Wie Tay dan Kie Hoat membuka toko buku, keramaian mulai muncul. Wie Tay kemudian mengubah nama tokonya menjadi Gunung Agung.

Ada yang bilang nama Gunung Agung pemberian Herlina, perempun yang terjun di Papua dalam Operasi Trikora. Herlina juga memanggilnya Masagung.

Wie Tay dan Kie Hoat meresmikan penggunaan nama itu dengan mengubah nama perusahaan dari Firma Thay San Kongsie menjadi NV Gunung Agung. Saat yang sama ia mulai mendekati orang-orang yang akrab dengan buku; wartawan, sastrawan, dan akademisi.

Kali kedua Wie Tay memperlihatkan kecerdasannya mendapatkan modal untuk pengembangan usaha, yaitu dengan menerbitkan saham baru dan mendekati sejumlah tokoh intelektual Indonesia saat itu sebagai pembeli sahamnya.

Wie Tay berhasil. Ia mendapatkan dana dari Bung Hatta, tokoh pers Adinegoro dan Sumanang, kritikus sastra BH Jassin, dan puluhan mitra di masa Thay San Kongsie. Uang yang terkumpul Rp 500 ribu, yang digunakan untuk satu gebrakan fenomenal, yaitu menggelar pameran buku.

Tahun 1954, Wie Tay menggelar lagi pameran buku dengan judul Pekan Buku Indonesia 1954. Dari sinilah Wie Tay berkenalan dengan Bung Karno dan kian akrab dengan Bung Hatta — dua dari sedikit generasi pertama pembaca buku yang melahirkan negara Indonesia.

Tjio Wie Tay ekspansi ke luar negeri, dengan membuka toko di Tokyo, menggemar pameran di Malaysia dan Singapura. Di dalam negeri, ia menerbitkan Di Bawah Bendera Revolusi, buku karya Bung Karno. Ia juga menerbitkan tulisan wartawan AS Cindy Adams.

Tahun 1980-an, Toko Buku Gunung Agung mencapai puncak kejayaan. Perempatan Senen tidak hanya ramai oleh toko buku, tapi juga pedagan buku bekas yang dijajakan di pinggir jalan. Toko Buku Gunung Agung masuk ke sejumlah mall di Jakarta dan kota-kota lain di Pulau Jawa.

Zaman tak bisa dilawan, tapi sangat mungkin diantisipasi. Toko Buku Gunung Agung tak bisa menghadapi era Internet, ketika buku tersedia secara online, tak mungkin melawan era digital ketika orang tak lagi membaca kertas.

Toko Buku Gunung Agung meredup, tapi Keluarga Masagung mengantisipasi kelangsungan bisnis keluarga dengan merambah bisnis lain, salah satunya money changer. Kini, di tangan generasi ketiga Haji Masagung, Toko Buku Gunung Agung harus mengakhiri sejarahnya.

Toko Buku Gunung Agung dilahirkan zamannya, diakhiri oleh zaman yang lain. Selamat tinggal Toko Buku Gunung Agung, terima kasih telah menyediakan generasi kami bacaan berkualitas yang menyetakan pikiran.

Sumber: https://gosipnya.blogspot.com/2016/07/tjio-wie-tay.html

Back to top button