Akankah Perang Besar Antara Armenia dan Azerbaijan Terjadi?
Indonesia memiliki hubungan dekat dengan Armenia dan Azerbaijan, demikian pula dengan dengan negara-negara yang ditengarai memiliki kepentingan dalam konflik tersebut. Karena itu hemat penulis Indonesia dapat mengambil posisi pro aktif dalam upaya penyelesaian konflik Armenia dan Azerbaijan kali ini.
Oleh : Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi, SH, SE, ME*
JERNIH– Minggu 27 September 2020. Di tengah pandemi Covid 19 dan kemerosotan ekonomi banyak negara, dunia dikejutkan oleh eskalasi konflik yang meningkat antara Armenia dan Azerbaijan di wilayah yang sejak lama dipersengketakan, Nagorno Karabakh.
Pertempuran kali ini adalah yang terbesar setelah Perang Karabakh Pertama (1992-1994) dengan menewaskan puluhan orang baik sipil maupun militer. Kedua belah pihak mengklaim posisi unggul mereka dengan menewaskan tentara lawan, namun satu sama lain saling membantah. Pertempuran ini meningkatkan ancaman perang terbuka ketika pemerintah Armenia mengumumkan Hukum Keadaan Darurat (Martial Law) dan memobilisasi tentaranya secara penuh ke wilayah perbatasan yang ditanggapi serupa oleh pemerintah Azerbaijan.
Akar konflik
Konflik Armenia dan Azerbaijan dilihat dari sejarahnya telah berakar jauh ke belakang. Ke periode tahun 1980-an ketika kedua negara masih tergabung dalam Uni Soviet. Konflik berubah menjadi perang terbuka menyusul kemerdekaan Azerbaijan pada 18 Oktober 1991, yang memasukkan Nagorno Karabakh ke dalam wilayahnya, dan ditentang oleh etnis Armenia yang menjadi penduduk mayoritas di Nagorno Karabakh.
Jack Synder dalam karyanya “From Voting to Violence, Democratization and Nationalist Coflict” menjelaskan asal muasal penyebab konflik nasionalis khususnya yang bersifat SARA di negara-negara ex Uni Soviet. Menurut Synder, hal itu dapat dilacak pada warisan konflik horizontal di masa lalu, komposisi demografi dan ketidakstabilan politik menyusul runtuhnya “imperium” Uni Soviet seperti yang terlihat dalam kasus Nagorno Karabakh, dapat dimajukan untuk menganalisis konflik yang terjadi antara Armenia dan Azerbaijan (Synder 2003; 224-228).
Nagorno-Karabakh secara de facto wilayah Azerbaijan hingga dikuasai dinasti Romanov dari Kekaisaran Rusia. Setelah perjanjian Rusia dan Iran pada 1813 serta perjanjian Rusia dan Turki pada 1823, orang-orang Armenia di Turki dan Iran ditempatkan di Azerbaijan dan sebagian diantaranya berada di wilayah Nagorno-Karabakh. Jumlah tersebut meningkat hingga komposisi demografi menempatkan etnis Armenia sebagai mayoritas. Di masa Uni Soviet, Nagorno Karabakh ditetapkan sebagai wilayah otonomi khusus.
Pada tahun 1988 etnis Armenia pernah meminta agar Nagorno-Karabakh dimasukan ke dalam Republik Sosialis Soviet Armenia. Namun sampai Uni Soviet bubar, wilayah ini tetap di bawah Azerbaijan. Etnis Armenia yang didukung Parlemen Nagorno Karabakh menuntut wilayah ini memisahkan diri dari Azerbaijan dan bersatu dengan Armenia, namun ditentang penduduk etnis Azerbaijan.
Parlemen Nagorno-Karabakh melakukan referendum yang diikuti deklarasi berdirinya Republik Nagorno Karabakh, terpisah dari Azerbaijan. Konflik yang awalnya konflik komunal meluas dengan melibatkan pasukan Armenia di dalamnya.
Tahun 1990 kaum militan Armenia di Azerbaijan bergerak dan menguasai wilayah barat daya negara ini. Sementara di Baku, ibukota Azerbaijan, demonstrasi yang menentang pemisahan diri Nagorno Karabakh disertai kerusuhan etnis, muncul.
Sikap internasional
Sejak konflik Armenia dan Azerbaijan berlangsung, keprihatinan berbagai pihak telah disuarakan. PBB dan Uni Eropa menyerukan agar perang segera diakhiri dan memberikan perlindungan baik bagi etnis Armenia maupun etnis Azerbaijan di Nagorno Karabakh.
Upaya internasional untuk mencari jalan keluar bagi penyelesaian konflik dilakukan melalui inisiatif Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE) melalui institusinya OSCE Minks Group yang dibentuk tahun 1992. OSCE Minks Group diinisiasi negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, Perancis.
Presiden AS Donal Trump menyebut AS memiliki hubungan baik dengan kawasan kaukasus dan karena itu ia berharap pertempuran kali ini segera dihentikan dengan mengembalikan negosiasi perdamaian dibawah payung OSCE Minsk Group. Sementara Perancis, RRC, Iran, Moldova dan Polandia juga telah bersuara agar kedua belah pihak segera kembali ke meja perundingan.
Di sisi yang lain pertempuran ini tidak semata-mata melibatkan Armenia dan Azerbaijan, namun juga disinyalir melibatkan Rusia di belakang Armenia dan Turki di belakang Azerbaijan. PM Armenia Nikol Pashiyan menuding jet-jet tempur Turki terbang di atas langit Nagorno Karabakh dan turut serta bertempur di posisi Azerbaijan menghadapi pasukan Armenia.
Turki sendiri diketahui sejak lama kurang harmonis dengan Armenia sebagai akibat apa yang disebut Armenia Genosida di Perang Dunia I saat Kesultanan Turki Otoman menduduki Armenia, namun hal ini dibantah Turki.
Di sisi yang lain Armenia dikenal dekat dengan Rusia, yang bila kita lihat tarik menarik pengaruh antara Rusia dengan Uni Eropa di dalam frame politik luar negeri dan arah ekonomi negara-negara eks pecahan Uni Soviet, Armenia jelas dekat dengan Rusia. Armenia tergabung dalam Eurasian Economic Union yang dibentuk pada 29 Mei 2014 bersama dengan Rusia, Belarusia, Kazhakstan dan Kyrgistan.
Dari sisi politik dan keamanan, Armenia juga dekat dengan Rusia yang melihatnya sebagai alternatif keamanan, ketika konfliknya dengan Azerbaijan meningkat. Iran sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Armenia dan Azerbaijan, dalam konstelasi konflik yang juga ditenggarai melibatkan Rusia dan Turki dan dimintai dukungan oleh kedua negara yang berkonflik-sekalipun, Iran ingin menguatkan pengaruhnya di kawasan. Namun negara ini pun menyerukan penghentian pertempuran.
Indonesia tentu menginginkan perdamaian dunia tetap terjaga. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, anggota G20, pendiri Non Blok (Non Aligned Movement), anggota OKI dan berbagai posisi strategis yang dimilikinya, hemat penulis Indonesia dapat menjadi episentrum baru dalam peredaan ketegangan diantara kedua negara dengan semangat Politik Bebas Aktif.
Indonesia memiliki hubungan dekat dengan Armenia dan Azerbaijan, demikian pula dengan dengan negara-negara yang ditengarai memiliki kepentingan dalam konflik tersebut. Karena itu hemat penulis Indonesia dapat mengambil posisi pro aktif dalam upaya penyelesaian konflik Armenia dan Azerbaijan kali ini.
Kesimpulan
Dengan memperhatikan akar konflik dan situasi global saat ini yang tentu juga berpengaruh pada negara-negara yang bertikai, penulis meyakini: Pertama, pertempuran kali ini tidak akan menjelma menjadi perang terbuka yang melibatkan seluruh resources yang dimiliki dua negara tersebut. Armenia dan Azerbaijan tentu memperhitungkan harga yang harus dibayar oleh perang terbuka.
Kedua, Armenia dan Azerbaijan yang karena situasi global tentu juga tidak bisa berharap banyak dari negara-negara besar yang selama ini membelanya, negara-negara tersebut akan lebih disibukkan oleh situasi domestik untuk mengatasi pandemi dan meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Hal ini terlihat dari seruan negara-negara besar yang berharap pertempuran segera diakhiri dengan mengedepankan perundingan.
Ketiga, penulis tidak melihat ada hal yang menarik minat dari negara-negara yang mendukung Armenia dan Azerbaijan untuk mendapatkan satu keuntungan ekonomi dari berlangsungnya konflik seperti layaknya di Irak dahulu. Dengan melihat ketiga hal tersebut penulis berkeyakinan tidak akan ada perang besar, yang ada hanyalah perang parsial untuk menunjukkan eksistensi dan kehormatan negara kepada rakyat kedua negara, juga terhadap dunia internasional sebagai sebuah dignity. [ ]
*Penulis adalah Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Ukraina, Georgia dan Armenia, dan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional.