Jernih.co

Betawi dalam Pilkada DKI Jakarta 2024

Salah-satu jargon, “Satuin Jakarta Nyok!” (Ayo Satukan Jakarta), terkesan sangat kolonial akibat kurang riset. Meski maksudnya adalah Jakarta di-satu-kan dalam angka kontestan, namun lebih jauh dari itu memberi kesan seakan tidak ada persatuan di Bumi Jakarta maka perlu disatukan. Hanya orang yang tidak faham kehidupan di Jakarta yang akan mengatakan bahwa Jakarta perlu disatukan.

Oleh : Chairil Gibran Ramadhan*
JERNIH– “Anak Betawi ketinggalan jaman, katenye.
Anak Betawi nggak berbudaye, katenye.”

1/. Ketika “The Last of the Mohicans” karya Michael Mann (Morgan Creek, 1992), terkenal di seluruh dunia dan poster Daniel Day-Lewis sebagai Hawkeye menghiasi dinding-dinding kamar anak muda Amerika, ingatan orang Amerika terlempar pada kejadian serupa ketika beredarnya “Dances with Wolves” karya Kevin Costner (Orion Pictures, 1990).

Terlepas dari “The Last of the Mohicans” versi film sedikit berbeda dengan versi novel karya James Fenimore Cooper, dan “Dances with Wolves” disebut-sebut sebagai proyek narsisisme Kevin Costner berdasarkan novel karya Michael Blake, tersadar masyarakat Native America (baca: Indian), bahwa kedua film ini tidak membela mereka, kecuali sebagai bahan dagangan.

Kegagahan, keberanian, dan heroisme bangsa Indian, tertelan oleh superioritas bangsa pendatang kulit putih lewat sosok Christine Gunther yang diberi nama Indian, Stand with A Fist (diperankan Mary McDonnell dalam “Dances with Wolves”), dan sosok Nathaniel Bumppo/Natty Bumppo yang diberi nama Indian, Hawkeye (diperankan Daniel Day Lewis dalam “The Last of the Mohicans”).

Di dalam kedua film tersebut, keduanya bukan memerankan orang Indian, namun memerankan bangsa kulit putih yang diadopsi oleh bangsa Indian. Tokoh Lieutenant John J. Dunbar yang diperankan oleh Kevin Costner pun nyata seorang kulit putih yang jatuh cinta pada Stand with A Fist dan keduanya kemudian menikah. Hawkeye sendiri kemudian bertekuk-lutut di sudut kerling Cora Munro (Madeleine Stowe), perempuan kulit putih anak dari Colonel Edmund Munro (Maurice Roeves).

2/. Menjelang Pilkada DKI Jakarta pada 27 November 2024, Kaum Betawi dan seni-budaya Betawi kembali menjadi primadona. Ketiga pasangan Cagub dan Cawagub yang disebut-sebut tidak memiliki darah Betawi ini, bertarung merebut hati orang Betawi untuk menguasai Betawi dan mereka menjadi “seakan-akan Betawi” (Catatan: Ibunda dari Rano Karno adalah orang Betawi).

Mulai dari busana khas sadariah dengan ciri berupa baju koko dan kain sarung dislempangkan di pundak (kini disalahkaprahkan dengan kain tipis serupa slendang), menggunakan kata sapaan “Bang”, merayu para pendukung Jak Mania dan ulama, mendatangi kampung masa kecil, membagikan sembako dalam acara panggung dangdut atau sekedar membagikan minyak goreng, hingga jargon-jargon bernuasa Betawi.

Salah-satu jargon, “Satuin Jakarta Nyok!” (Ayo Satukan Jakarta), terkesan sangat kolonial akibat kurang riset. Meski maksudnya adalah Jakarta di-satu-kan dalam angka kontestan, namun lebih jauh dari itu memberi kesan seakan tidak ada persatuan di Bumi Jakarta maka perlu disatukan. Hanya orang yang tidak faham kehidupan di Jakarta yang akan mengatakan bahwa Jakarta perlu disatukan.

Namun benar belaka ucapan Syamsuddin Ch. Haesy, anggota Akademi Jakarta dan wartawan senior era tabloid “Monitor” yang digawangi Arswendo Atmowiloto. Pada peluncuran buku tentang “Rochjani Soe’oed, tokoh Sumpah Pemuda dari Kaum Betawi”, di Museum Sumpah Pemuda, Kramat, Senen, pada Senin, 28 Oktober 2024, kurang-lebih ia berkata: “Partai-partai yang ada sekarang ini sudah kurang ajar terhadap Kaum Betawi. Mereka tidak menganggap ada keberadaan tokoh-tokoh Betawi. Tidak ada tokoh Betawi yang dicomot sebagai Cagub-Cawagub, seakan tidak ada tokoh Betawi yang layak secara intelektual untuk memimpin Jakarta.”

Ia kemudian menyebut nama beberapa tokoh Betawi yang hadir pada acara itu. Ada nada kemarahan, pemberontakan, kekecewaan, dan kesedihan dalam kalimatnya, yang hanya bisa dirasakan oleh Kaum Betawi.

Namun bila keberadaan tokoh Betawi dalam ajang Pilkada DKI Jakarta 2024 adalah kemestian dan dianggap sebagai sesuatu yang mendesak, sebaiknya dilihat pula jejak kontribusi tokoh-tokoh Betawi bagi keberadaan Kaum Betawi dan pembelaan mereka terhadap harkat-martabat Kaum Betawi. Lihat bagaimana Bamus Betawi yang terpecah-belah dalam beberapa kepemimpinan hingga akhirnya tidak ada gerakan yang mereka hasilkan untuk Betawi, karena ketika tidak terpecah saja mereka hanya berkutat pada kegiatan-kegiatan keriaan seperti Lebaran Betawi dan festival-festival seni.

Lihat pula bagaimana beratnya menggerakkan dunia tulis-baca (kini ditemplokkan istilah mewah: Literasi) di kalangan Kaum Betawi, karena lembaga kebetawian, ormas Betawi, dan tokoh-tokoh kaya Betawi, memilih asyik dengan diri sendiri, hanyut dalam dendang dan goyang, dan lebih memilih membuang uang untuk kegiatan-kegiatan “membakar kembang api” berupa acara panggung hiburan yang hanya meriah sekejap namun tidak meninggalkan bekas apa-apa.

Maka gerakan tulis-baca di kalangan Kaum Betawi yang memang tidak dekat dan lekat dengan kehidupan sehari-hari mereka sejak masa lalu, tetaplah menjadi jauh dan tidak tersentuh. Ditambah lagi tidak adanya tradisi berdebat di dalam kehidupan Kaum Betawi, di mana perbedaan pendapat menjadi tabu, orang muda tidak boleh bersuara dan tidak boleh berbeda pendapat, adalah hal-hal yang menyebabkan dunia intelektual di dalam kehidupan Kaum Betawi mengalami kebekuan, bila tidak mau disebut ‘berjalan di tempat’. Bahkan tidak bergerak di tempat.

Sejak Januari 2021, Penerbit Padasan atas dukungan Museum Etnografi Orang Betawi dan Betawi Center Foundation misalnya, menerbitkan dalam periodesasi per tiga bulan, jurnal semi ilmiah bernama Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies. Keberadaan Stamboel sebagai satu-satunya media yang membawa Betawi, Batavia, Jakarta di dunia literasi nasional, nyatanya sama sekali tidak mendapat dukungan dari para tokoh Betawi, ormas Betawi, dan lembaga kebetawian, meskipun beberapa nama ada di dalam susunan Dewan Penasihat. Pencetakannya hanya menuruti pesanan, print on demand, dari yang sebagian besar bukanlah kalangan Betawi. Fachri Ali, kolomnis dan pengamat politik yang ada di dalam susunan Dewan Penasihat, merupakan pelanggan tetap Stamboel. Memang sangat tidak mungkin Stamboel panjang umur seperti majalah berbahasa Sunda, Mangle, yang terbit sejak 1957 hingga hari ini di Tanah Pasundan.

Keberadaan Stamboel serupa dengan keberadaan Majalah Sastra Horison yang akhirnya mati setelah terbit selama Juli 1966-Juli 2018, karena tidak ada dukungan dari pemerintah meski merupakan majalah sastra satu-satunya di wilayah Republik Indonesia yang berumur lebih dari 50 tahun.

3/. Terkait Pilkada DKI Jakarta 2024, Kaum Betawi sesungguhnya sadar bahwa tidak ada satu pun dari ketiga kontestan yang sepenuh hati membela mereka, kecuali sebagai bahan dagangan dan bahan untuk meraih suara. Kaum Betawi dan seni-budaya Betawi yang diusung para kontestan sebagai dagangan, semata hanya mainan yang diiming-iming kepada anak kecil. Supaya senang, supaya girang, supaya tidur nyenyak.

Keluguan, kejenakaan, dan keterbukaan Kaum Betawi, dan heroisme para jagoan Betawi, tertelan oleh superioritas etnis pendatang lewat sosok Pramono Anung, Ridwan Kamil, dan Darma Kun. Mereka bukan aktor yang memerankan orang Betawi, namun orang bukan Betawi yang menjadikan dirinya terkesan hadir untuk membela Betawi. Tokoh si Doel yang melekat pada diri Rano Karno dan tercatat sebagai bintang film yang paling lama memerankan satu tokoh pun nyatanya hanya tokoh yang diperankan Rano Karno sebagai “bintang iklan” dari Cagub bernama Pramono Anung, untuk menarik simpati Kaum Betawi dalam perolehan suara.

Kita tahu, Rano Karno pertama kali memerankan si Doel saat berusia 12 tahun dalam film Si Doel Anak Betawi karya Sjuman Djaja (Perfini, 1972). Tokoh ini diperankannya hingga Akhir Kisah Cinta Si Doel karya Rano Karno (Falcon Pictures, 2020), dan hingga untuk keperluan Pilkada DKI Jakarta 2024.

Dan Kaum Betawi, selamanya menjadi tamu di kampungnya sendiri, dalam bidang pemerintahan. Kaum Betawi dianggap tidak layak secara intelektual untuk memimpin Jakarta, karena katanya: Ketinggalan jaman dan nggak berbudaye.
Tabe srenta hormat! [ ]

Exit mobile version