
Penggunaan tarif sebagai senjata kebijakan luar negeri oleh Washington, khususnya terhadap Beijing, adalah upaya nyata untuk mempertahankan supremasi ekonomi dan strategisnya. Ini juga menandakan runtuhnya konsensus perdagangan bebas yang selama ini menjadi fondasi globalisasi. Langkah-langkah dedolarisasi yang diumumkan pada KTT BRICS di Rio Brasil, menunjukkan upaya kolektif untuk menciptakan arsitektur keuangan global yang lebih mandiri dan tidak terlalu bergantung pada dolar AS. Ini adalah indikator kuat dari ambisi untuk membangun kekuatan ekonomi alternatif yang berdiri di atas kaki sendiri.
Oleh : Radhar Tribaskoro*
JERNIH– Konflik Israel dan Iran sudah lama disadari publik namun prakteknya sering kali tersembunyi di balik tabir “perang bayangan” (proxy war). Kini konflik itu telah semakin terbuka bahkan bukan sekadar riak lokal di Asia Barat.
Eskalasi ketegangan ini, apakah dalam wujud serangan siber hingga ancaman militer terang-terangan, adalah sebuah simfoni ketidakstabilan yang resonansinya jauh melampaui Yerusalem atau Teheran. Bagi Indonesia, sebuah raksasa ekonomi Asia Tenggara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, imbas konflik ini melampaui simpati moral; ia menyentuh inti keamanan nasional, stabilitas ekonomi, dan posisi geopolitiknya di tengah lanskap global yang berubah drastis.
Argumen utama artikel ini adalah bahwa konflik Israel-Iran tidak bisa dipahami secara terpisah dari fenomena global yang lebih besar: transisi dunia menuju multipolaritas. Kita sedang menyaksikan tergerusnya dominasi unipolar Amerika Serikat pasca-Perang Dingin, digantikan oleh munculnya beberapa pusat kekuatan yang saling bersaing. Untuk menelaah implikasi konflik ini bagi Indonesia, kita harus menempatkannya dalam narasi yang lebih luas, bersama dengan peristiwa-peristiwa penting yang menjadi penanda transisi ini.
Tanda-tanda Multipolaritas
Pergeseran ke arah multipolaritas bukan lagi asumsi akademis, melainkan realitas yang nyata, terlihat dari serangkaian peristiwa yang tak terpisahkan. Invasi Rusia ke Ukraina, misalnya, bukan hanya mengoyak tatanan keamanan Eropa, tetapi juga secara telanjang menampilkan kebangkitan kekuatan besar yang bersaing.
Konflik ini mempercepat rekonfigurasi aliansi dan mendorong ‘decoupling‘ ekonomi yang semakin dalam di antara blok-blok kekuatan. Kemudian, penggunaan tarif sebagai senjata kebijakan luar negeri oleh Washington, khususnya terhadap Beijing, adalah upaya nyata untuk mempertahankan supremasi ekonomi dan strategisnya. Ini juga menandakan runtuhnya konsensus perdagangan bebas yang selama ini menjadi fondasi globalisasi.
Tidak kalah penting, suara-suara sumbang terhadap lembaga-lembaga Bretton Woods seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan langkah-langkah dedolarisasi yang diumumkan pada KTT BRICS di Rio Brasil, menunjukkan upaya kolektif untuk menciptakan arsitektur keuangan global yang lebih mandiri dan tidak terlalu bergantung pada dolar AS. Ini adalah indikator kuat dari ambisi untuk membangun kekuatan ekonomi alternatif yang berdiri di atas kaki sendiri.
Dalam kerangka inilah konflik Israel-Iran harus dinilai. Eskalasinya bukan sekadar soal perebutan pengaruh di Timur Tengah, melainkan sebuah mikrokosmos dari ketegangan yang inheren dalam transisi menuju dunia yang lebih terfragmentasi dan kompetitif.
Indonesia dalam Pusaran Konflik: Tantangan dan Peluang
Konflik yang terus membara di Timur Tengah membawa serta sejumlah tantangan signifikan bagi Indonesia. Timur Tengah adalah urat nadi energi bagi Indonesia, dan eskalasi dapat memicu gangguan pasokan minyak global serta lonjakan harga yang tak terduga, menekan ekonomi domestik dan memicu inflasi.
Lebih jauh, konflik ini berpotensi membakar sentimen keagamaan, memperkuat narasi ekstremis, dan memicu radikalisasi di Indonesia, mengancam kohesi sosial dan menciptakan celah bagi terorisme domestik. Jakarta mungkin juga akan dihadapkan pada tekanan yang meningkat dari berbagai poros kekuatan untuk memilih sisi, sebuah ujian nyata bagi prinsip kebijakan luar negeri bebas aktif Indonesia, yang bisa menempatkannya dalam dilema diplomatik yang rumit.
Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat peluang strategis yang bisa dimanfaatkan. Konflik ini adalah panggung bagi Indonesia untuk menunjukkan kematangan diplomatiknya, mengambil peran konstruktif dalam forum multilateral, dan mempromosikan dialog sebagai jalan menuju resolusi damai. Dalam lanskap geopolitik yang berubah, Indonesia memiliki peluang emas untuk mempercepat diversifikasi kemitraan strategisnya, mengurangi ketergantungan pada satu blok, dan menemukan keseimbangan baru dalam hubungan internasionalnya.
Terakhir, ketidakpastian global ini adalah pengingat keras akan kebutuhan untuk memperkuat kapasitas pertahanan dan keamanan maritim Indonesia, terutama dalam melindungi jalur pelayaran strategis yang krusial bagi perdagangan global..
BRICS dan Prinsip Multilateralisme: Sebuah Refleksi untuk Indonesia
Bagaimana Indonesia merespons konflik Israel-Iran harus menjadi bagian dari visi yang lebih luas tentang bagaimana multipolaritas global akan terbentuk dan di mana posisi Indonesia di dalamnya. Pujian Presiden Prabowo Subianto kepada Rusia dan Cina sebagai “negara yang tidak double-standard” merefleksikan harapan Indonesia kepada pentingnya prinsip-prinsip multilateralisme yang konsisten.
Namun, dukungan atau bahkan keanggotaan dalam BRICS juga membawa serta pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang prinsip-prinsip multilateralisme yang harus dipertahankan. Kita akan menengok multilateralisme dalam tiga aspek: keamanan, teknologi dan perdagangan.
Multilateralisme sejati dalam keamanan, dalam dunia yang multipolar ini, tidak boleh berarti menciptakan klub eksklusif. Sebaliknya, ia harus berfokus pada pembangunan kerangka keamanan yang inklusif, mendorong kerja sama dengan semua aktor untuk mengatasi ancaman transnasional. Indonesia harus memastikan bahwa komitmennya pada BRICS tidak mengikis dedikasinya terhadap hukum internasional dan lembaga keamanan global yang lebih luas.
Komitmen terhadap penyelesaian sengketa melalui diplomasi dan negosiasi harus tetap menjadi pilar utama. Indonesia, dengan rekam jejak non-bloknya, memiliki kapasitas unik untuk mempromosikan mediasi sebagai sarana meredakan ketegangan, bahkan di antara kekuatan-kekuatan besar. Dan di dunia yang multipolar, risiko proliferasi senjata pemusnah massal bisa meningkat, menjadikan Jakarta harus terus menjadi suara yang kuat untuk non-proliferasi dan perlucutan senjata, menuntut akuntabilitas dari semua negara.
Dalam ranah teknologi, multilateralisme sejati harus memastikan akses yang setara terhadap inovasi dan teknologi yang bermanfaat bagi semua, terutama negara berkembang. Ini juga berarti membangun tata kelola global yang inklusif untuk teknologi baru, mencegah monopoli atau penyalahgunaan. Indonesia harus mendorong kolaborasi riset dan pengembangan (R&D) lintas batas, memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan inovasi yang menguntungkan semua, bukan hanya sekelompok kecil negara. Dengan meningkatnya ancaman siber, multilateralisme harus membangun kerangka kerja global untuk keamanan siber yang melindungi infrastruktur penting dan memerangi kejahatan siber tanpa mempolitisasi ruang siber.
Terakhir, dalam perdagangan, Indonesia harus mendukung penguatan sistem perdagangan multilateral yang adil, terbuka, dan non-diskriminatif, berdasarkan aturan yang jelas. Meskipun ada tren dedolarisasi dan regionalisme, semangat perdagangan bebas harus tetap dijaga. Dalam konteks multipolaritas, diversifikasi rantai pasok menjadi imperatif untuk mengurangi kerentanan terhadap gejolak geopolitik.
Indonesia harus mencari kemitraan yang lebih beragam untuk menjamin ketahanan ekonominya. Dan multilateralisme dalam perdagangan juga berarti reformasi lembaga-lembaga ekonomi global agar lebih mencerminkan realitas ekonomi saat ini, memberikan suara yang lebih besar kepada negara-negara berkembang.
Epilog: Menentukan Arah di Lautan Geopolitik
Konflik Israel-Iran adalah lebih dari sekadar perseteruan regional; ia adalah termometer dari suhu geopolitik global yang sedang mendidih. Bagi Indonesia, ini bukan hanya tentang menanggapi satu krisis, tetapi tentang merumuskan kebijakan luar negeri yang strategis dan adaptif yang mampu menavigasi lanskap yang berubah.
Pernyataan Presiden Prabowo tentang BRICS menyiratkan bahwa Indonesia mencari kemitraan yang sejalan dengan prinsip non-diskriminasi dan keadilan. Ini adalah ambisi yang patut diapresiasi. Namun, untuk mencapai ambisi itu, Indonesia harus secara cermat menentukan langkahnya. Bukan sekadar merespons konflik, tetapi membangun strategi komprehensif yang akan memperkuat posisinya sebagai kekuatan menengah dan berkontribusi pada tatanan multipolar yang stabil, inklusif, dan adil.
Prinsip-prinsip multilateralisme sejati—dalam keamanan, teknologi, dan perdagangan—harus menjadi kompas dalam setiap langkah yang diambil Indonesia untuk memastikan bahwa transisi menuju multipolarisme menghasilkan dunia yang lebih damai dan sejahtera bagi semua.
Tepatnya, Indonesia tidak boleh menjadi sekadar penonton normatif dalam perubahan global ini. Kita harus menjadi arsitek normatif, yang ikut merancang bentuk dunia baru melalui kebijakan luar negeri yang strategis, teknologi yang berdaulat, dan ekonomi yang inklusif.
Sebagai bagian dari BRICS, Indonesia memikul tanggung jawab untuk memperjuangkan multilateralitas yang sejati—bukan semata-mata anti-Barat, melainkan pro-keadilan global. Maka dari itu, strategi menghadapi konflik Israel-Iran harus terintegrasi dengan desain besar tentang arah dunia multipolar yang ingin kita dukung: dunia yang damai, adil, dan beragam pusat kekuatan. [ ]
* Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
Catatan : Disusun sebagai kontribusi untuk diskusi yang diselenggarakan oleh Grup Diskusi Pati Unus dan TeropongSenayan.
Cimahi, 10 Juli 2025