
Fadli Zon mengumumkan penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional (HKN). Tak banyak seremoni, tak pula gempita pesta budaya. Tapi keputusan ini mengandung muatan historis yang dalam, filosofis yang tajam, dan politik kebudayaan yang matang. Bagi Fadli, ini bukan sekadar upacara tahunan baru. Ini adalah peneguhan arah.
JERNIH– Sejarah tak selalu dicetak dengan dentuman senjata atau gelegar deklarasi politik. Kadang ia datang lewat sebaris kalimat yang tenang tapi kukuh: “Bhinneka Tunggal Ika.” Dan pada 17 Oktober 1951, semboyan itu secara resmi menjadi bagian dari lambang negara: Garuda Pancasila. Tujuh dekade berselang, tanggal yang semula nyaris terlupakan itu kini diangkat kembali ke panggung utama oleh Menteri Kebudayaan, Fadli Zon.
Dalam pernyataan pers yang diterima redaksi, Senin (14/7/2025) Fadli Zon mengumumkan penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional (HKN). Tak banyak seremoni, tak pula gempita pesta budaya. Tapi keputusan ini mengandung muatan historis yang dalam, filosofis yang tajam, dan politik kebudayaan yang matang. Bagi Fadli, ini bukan sekadar upacara tahunan baru. Ini adalah peneguhan arah.
“17 Oktober adalah momen penting dalam perjalanan identitas negara kita. Ini bukan hanya tentang sejarah, tetapi juga tentang masa depan kebudayaan Indonesia yang harus dirawat oleh seluruh anak bangsa,” ujar Fadli.
Penetapan ini, menurut Fadli, merupakan langkah strategis untuk memperkuat kesadaran kolektif tentang pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan sebagai fondasi peradaban.
Dari Yogyakarta ke Istana
Usulan penetapan Hari Kebudayaan ini bukanlah produk birokrasi satu malam. Ia berakar dari para maestro tradisi dan budayawan Yogyakarta yang, sejak Januari 2025, menggelar kajian dan diskusi—bukan hanya dalam ruang seminar, tapi juga di panggung, studio, dan sanggar-sanggar yang merawat denyut hidup budaya sehari-hari.
Melalui serangkaian pertemuan dengan Kementerian Kebudayaan, mereka mengusulkan agar tanggal 17 Oktober diangkat sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Pilihan tanggal itu bukanlah sentimentalitas kosong. Ia berdiri di atas Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 1951, yang ditandatangani langsung oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sukiman. PP itu bukan saja menetapkan bentuk Garuda Pancasila, tetapi juga menyematkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai jantung moral bangsa.
Menbud Fadli Zon tampak paham betul: tak ada lambang negara yang lahir tanpa pergulatan makna. Dalam pasal-pasal PP No. 66/1951, dijelaskan bahwa “Bhinneka Tunggal Ika” adalah terjemahan dari realitas Indonesia—sebuah negeri yang lahir dari keragaman, tapi tak boleh retak oleh perbedaan.
“Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi filosofi hidup bangsa Indonesia yang mencerminkan kekayaan budaya, toleransi, dan persatuan dalam keberagaman,” kata Fadli.
Penguatan Identitas Nasional—mengingatkan rakyat bahwa Garuda dan Bhinneka adalah lambang dan semboyan yang menyatukan.
Pelestarian Kebudayaan—sebagai momentum kolektif untuk melindungi dan mengembangkan budaya.
Pendidikan dan Kebanggaan Budaya—menginspirasi generasi muda untuk menjadikan akar budaya sebagai fondasi menghadapi zaman global.
Tak banyak yang tahu bahwa kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” berasal dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular pada abad ke-14. Dalam sidang-sidang BPUPKI tahun 1945, M. Yamin, Soekarno, dan I Bagus Sugriwa menggali kembali kalimat itu sebagai representasi jati diri bangsa.
Kalimat lengkapnya: “Bhinneka Tunggal Ika. Tan Hana Dharma Mangrwa.” Artinya: Berbeda-beda, tetapi tetap satu jua. Tak ada kebenaran yang mendua.
Kalimat ini—yang lahir dari karya sastra—naik pangkat menjadi azimat ideologis. Dan kini, setelah puluhan tahun berdiri pasif di bawah kaki Garuda, semboyan itu didorong kembali ke barisan depan: sebagai pintu masuk kesadaran budaya.
Fadli Zon juga menegaskan bahwa Hari Kebudayaan Nasional bukan dimaksudkan sebagai seremoni kosong. Pemerintah berkomitmen untuk:
-Meningkatkan pemahaman publik terhadap nilai-nilai budaya.
-Memperkuat peran kebudayaan dalam membangun peradaban bangsa.
-Menjadikan kebudayaan sebagai fondasi pembangunan karakter dan kesejahteraan masyarakat.
Tak cukup hanya karnaval batik atau pentas seni tahunan. Yang dituntut dari Hari Kebudayaan Nasional adalah gerak—pemikiran, pendidikan, dan perumusan kebijakan yang berakar pada jiwa bangsa sendiri.
Kementerian Kebudayaan, lewat pidato resminya, mengajak seluruh elemen bangsa—seniman, guru, santri, dosen, dan warga biasa—untuk merayakan Hari Kebudayaan tak hanya sebagai hari libur simbolik, tapi sebagai bentuk ritual intelektual dan spiritual dalam memperkuat identitas Indonesia.
Sejarah kadang membisik lewat angka dan tanggal. Tapi ada saatnya kita tak hanya mendengar, melainkan menjawabnya. Penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional mungkin tak mengubah peta dunia. Tapi ia bisa mengubah cara bangsa ini memandang dirinya sendiri: bukan sebagai pasar raksasa bernama Indonesia, melainkan sebagai rumah yang dihuni oleh manusia-manusia berbudaya. [ ]