
Menurut Kusfiardi, analis ekonomi politik FINE Institute, narasi link and match yang diulang dalam berbagai forum lebih menyerupai dongeng teknokratis yang menyederhanakan. Kebutuhan atas pekerjaan bukan semata urusan gelar akademik, melainkan menyangkut hak konstitusional setiap warga negara. Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyebut setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Jadi, pemerintah tidak bisa terus-menerus mendorong sektor pendidikan untuk menyesuaikan diri dengan pasar, tanpa memastikan bahwa struktur ekonomi yang dibentuk negara sanggup menyerap dan menghargai tenaga kerja terdidik.
JERNIH– Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang kembali menekankan pentingnya program link and match antara pendidikan dan dunia usaha dalam merespons angka pengangguran sarjana, dikritik sebagai bentuk pengalihan isu dari tanggung jawab fiskal negara.
Menurut Kusfiardi, analis ekonomi politik dan Co-Founder Lembaga Kajian Fiskal dan Moneter FINE Institute, narasi link and match yang diulang dalam berbagai forum lebih menyerupai dongeng teknokratis yang menyederhanakan persoalan struktural menjadi sekadar masalah ketidaksesuaian kurikulum. Kusfiardi menegaskan, sebagai bendahara negara, Sri Mulyani memiliki peran strategis dalam mendesain kebijakan fiskal yang berpihak pada penciptaan lapangan kerja bagi tenaga kerja terdidik—bukan sekadar mengomentari persoalan pendidikan.
Dengan otoritas penuh atas perencanaan dan distribusi anggaran negara, Menteri Keuangan seharusnya menjelaskan bagaimana APBN digunakan untuk mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja lulusan perguruan tinggi, seperti industri padat karya berbasis teknologi, sektor riset dan inovasi, serta inisiatif ekonomi lokal yang didukung negara. “Namun sayangnya, arah kebijakan fiskal selama ini belum menunjukkan orientasi kuat ke sana,” kata Kusfiardi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, dari total 7,28 juta pengangguran nasional, lebih dari 1 juta di antaranya merupakan lulusan sarjana. Angka ini memperlihatkan bahwa sistem ekonomi Indonesia belum mampu menyediakan ruang produktif yang sebanding dengan jumlah lulusan perguruan tinggi yang terus meningkat.
Kusfiardi menambahkan, kebutuhan atas pekerjaan bukan semata urusan gelar akademik, melainkan menyangkut hak konstitusional setiap warga negara. Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyebut bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan demikian, pemerintah tidak bisa terus-menerus mendorong sektor pendidikan untuk menyesuaikan diri dengan pasar, tanpa memastikan bahwa struktur ekonomi yang dibentuk negara memang sanggup menyerap dan menghargai tenaga kerja terdidik.
Dalam konteks ini, Menteri Keuangan seharusnya tidak berhenti pada retorika koordinatif antar-sektor. Ia dituntut menjawab secara fiskal: sejauh mana anggaran negara diarahkan untuk mendorong pertumbuhan sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja berkualitas, dan sejauh mana insentif fiskal diberikan kepada pelaku usaha yang menciptakan kerja bermutu.
“Ketidakterlibatan Kemenkeu dalam mendesain strategi fiskal untuk mengatasi pengangguran sarjana hanya akan memperpanjang kemacetan structural,” kata Kusfiardi. “Pengangguran bukan sekadar akibat ketidaksesuaian keterampilan, tapi juga cerminan dari kegagalan negara dalam merancang sistem produksi yang adil, progresif, dan berbasis inovasi.”
Tak hanya itu, Kusfiardi menyerukan perlunya evaluasi menyeluruh atas arsitektur fiskal Indonesia. Menurutnya, jika Menteri Keuangan terus mengulang dongeng pendidikan tanpa menjawab tanggung jawab fiskalnya secara konkret, maka publik hanya akan disuguhi narasi teknokratik yang jauh dari akar masalah. “Sebelum bonus demografi berubah menjadi beban sosial, negara harus mengubah cara pandangnya: dari pengelolaan teknis anggaran menjadi intervensi fiskal yang strategis dan berpihak pada masa depan tenaga kerja Indonesia.”[]