
Dari kegelisahan itulah, Kiai Soleh Darat menyusun tafsir Al-Fatihah dan Juz ‘Amma dalam bahasa Jawa pegon. Kartini menulis dalam suratnya: “Barulah kali ini hatiku terang benderang setelah Kiai Soleh Darat menjelaskan makna firman Tuhan dengan bahasa yang saya mengerti.”
JERNIH–Saudaraku,
Di sudut kota Semarang, abad ke-19, seorang ulama kharismatik duduk bersila. Menuliskan tafsir Al-Qur’an dengan aksara Jawa pegon. Namanya Kiai Soleh Darat.
Di tengah hegemoni penjajah yang membatasi akses ilmu, beliau memecahkan tabu: menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa agar kaum pribumi bisa memahami agamanya sendiri tanpa perantara kolonial maupun elite feodal.
Ketahuilah. Langkah ini adalah bentuk perlawanan sunyi. Namun terasa revolusioner. Kolonial Belanda memandang aktivitas ini sebagai ancaman serius. Karena menerjemahkan kitab suci ke bahasa lokal dianggap sebagai bentuk perlawanan kultural yang bisa menyulut kesadaran kritis rakyat. Dengan begitu, rakyat bisa bangkit dan berontak melawan kaum kolonial Belanda.
Sementara itu, sebagian kaum elite feodal menuduhnya mencemari kesakralan ilmu, karena tradisi saat itu memandang bahasa Arab sebagai satu-satunya bahasa suci-sakral.
Tapi simaklah. Di balik riuh-rendah itu, Kiai Soleh Darat tetap memilih sikap istiqomah. Sebuah sikap mulia-terpuji. Ia lebih cinta kepada Tuhannya, daripada takut kepada kolonial atau elite yang terjebak simbolisme-feodalisme. Kiai Soleh Darat percaya, membiarkan rakyat tetap bodoh terhadap agamanya sendiri adalah bentuk pengkhianatan terhadap misi kenabian. Tentu, karena Kiai Soleh Darat paham, misi fundamental risalah profetik itu adalah membebaskan manusia dari kebodohan dan kedunguan; bahkan sekarang pun!
Camkanlah. Ternyata kisah yang paling terkenang adalah pertemuannya dengan R.A. Kartini. Dalam sebuah pengajian, Kartini yang gelisah bertanya, “Kiai, mengapa kami dilarang memahami Al-Qur’an dalam bahasa kami sendiri?”
Dari kegelisahan itulah, Kiai Soleh Darat menyusun tafsir Al-Fatihah dan Juz ‘Amma dalam bahasa Jawa pegon. Kartini menulis dalam suratnya: “Barulah kali ini hatiku terang benderang setelah Kiai Soleh Darat menjelaskan makna firman Tuhan dengan bahasa yang saya mengerti.”
Tapi saudaraku, publik jarang tahu. Lebih dari sekadar kisah Kartini, Kiai Soleh Darat juga adalah guru dari dua anak bangsa yang kelak menjadi pendiri dua ormas Islam terbesar di Indonesia: Kiai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (pendiri NU).
Mereka berdua sama-sama berguru kepada Kiai Soleh Darat di Semarang, pada kurun waktu akhir 1880-an hingga awal 1890-an. Memang, tidak ada riwayat yang mendokumentasikan secara pasti apakah keduanya pernah berjumpa dalam satu majelis Kiai Soleh Darat. Namun, dalam tradisi pesantren, pola “singgah” para pelajar membuat kemungkinan mereka bertemu di masa nyantri yang bersinggungan sangat terbuka.
Tapi yang pasti: mereka minum dari mata air keilmuan serupa dan sejenis.
Kiai Soleh Darat mengajarkan ilmu tafsir dengan ruh pembebasan. Ya, tafsir transformatif. Ia tak ingin ilmu agama terpenjara dalam menara gading. Dari pangkuan Kiai Soleh inilah, Hasyim Asy’ari belajar bahwa tradisi wajib dijaga marwahnya, namun harus berpijak kokoh di bumi. Ahmad Dahlan pun menyerap semangat itu, namun memancarkannya dalam bentuk gerakan tajdid-progresif: membumikan nilai-nilai Al-Qur’an ke dalam amal sosial-nyata.
Dari fakta sejarah ini, kita menjadi sadar. Kiai Soleh Darat adalah ikon Islam Nusantara-Berkemajuan. Ia menjadi simpul yang mempertemukan NU dan Muhammadiyah dalam rahim setara: rahim ilmu yang membebaskan.
Maka, berpikir dikotomik antara NU-Muhammadiyah, terasa jadoel. Pun tak relevan lagi dengan ekosistem zaman. Sebab dari Kiai Soleh Darat, kita diajarkan: perbedaan metode adalah rahmat, tapi ruh perjuangan mereka satu.
Sadarlah. Jalan hidup Kiai Soleh itu tak begitu mulus. Ia sering dicurigai, diintai, bahkan dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah kolonial. Namun beliau tetap teguh. Ia memilih jalan sunyi: mengajar dari surau-surau kecil. Menulis manuskrip dengan tangan sendiri. Pun lebih memilih pengabdian senyap daripada hingar-bingar dan gemerlap panggung kekuasaan.
Renungkanlah. Hari ini, saat literasi agama seringkali terjebak dalam formalitas-kaku dan bahasa elitis, Kiai Soleh Darat mengingatkan kita: Ilmu harus membebaskan manusia dari rasa takut. Ilmu mesti membumi: menjadi obor manusia menuju jalan pulang menghadap-Nya. Dan, perjuangan tak harus menunggu panggung besar. Perjuangan bisa dilakukan di mana dan kapan saja: di pojok ufuk sunyi atau ruang publik; secara diam-diam atau terang-terangan.
Benar. Jejak hidup dan karya Kiai Soleh Darat begitu menggetarkan sekaligus menginspirasi. Ia adalah percikan agama cinta yang membebaskan ilmu dari menara gading, agar cahaya wahyu menyapa setiap sudut ruang-waktu. Menghormati setiap hati yang merindukan pemahaman sejati. [ ]