
Para sufi dahulu sudah mengingatkan: dunia bukan untuk ditolak, tapi untuk dijinakkan. Dunia hanyalah buih, indah sesaat lalu pecah. Mereka berdagang, bekerja, bahkan ada yang kaya, tapi hatinya tak pernah dikungkung. Dunia hanya sampai di tangan, tidak pernah meracuni jiwa.
JERNIH—“Demi masa. Sungguh, manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. al-‘Asr)
Saudaraku. Ayat pendek ini seperti palu yang mengetuk dada. Sederhana, tapi menghantam. Setiap kali membacanya, aku merasa sedang bercermin di hadapan waktu: wajahku, langkahku, dan jejak yang kutinggalkan. Apakah semua itu akan bertahan, ataukah hanya buih yang terhempas gelombang sia-sia?
“Kenapa selalu kerugian yang disebut, Kang?” tanya seorang kawan di warung kopi, matanya menatap layar gawai yang penuh berita politik dan gosip selebriti.
Aku tersenyum. “Karena manusia memang mudah kehilangan arah. Kita sibuk mengejar angka, mengejar gelar, mengejar riuh sorak, tapi lupa apa yang sejatinya dibawa pulang.”
Ia mengangguk pelan. “Benar juga. Rasanya baru kemarin kita mahasiswa, berdiskusi hingga dini hari. Kini, rambut sudah memutih, tapi entah jejak apa yang tertinggal.”
Ketahuilah. Waktu memang ganjil. Ia tidak bersuara, tapi selalu bekerja. Anak kecil tiba-tiba tumbuh remaja. Seorang remaja tiba-tiba menjadi orang tua. Seorang orang tua tahu-tahu harus belajar melepaskan.
Dan di tengah arus itu, manusia sering tergelincir. Dunia yang seharusnya cermin, dijadikan panggung sandiwara. Kuasa yang mestinya jembatan, dijadikan singgasana. Harta yang mestinya titipan, dijadikan berhala.
Aku membayangkan wajah rakyat kecil yang antre beras murah. Wajah para pekerja yang kepanasan di jalanan. Wajah para pedagang yang dagangannya belum laku. Mereka semua tahu arti waktu: sehari tanpa rezeki adalah kerugian yang nyata. Bagi mereka, waktu adalah perut yang lapar, anak yang harus tetap sekolah, biaya rumah sakit yang tak tertanggungkan.
“Lalu bagaimana dengan kami yang kecil ini, Kang?” seolah kudengar suara imajiner seorang buruh pabrik bertanya.
Aku menjawab lirih dalam batin, “Al-‘Asr bukan hanya milik para pemimpin, tapi milikmu juga. Engkau tak perlu khawatir dengan apa yang tak kau genggam. Cukup jaga imanmu, rawat amalmu, dan tebarkan kesabaranmu. Itulah jalan keluar dari kerugian.”
Catatlah. Para sufi dahulu sudah mengingatkan: dunia bukan untuk ditolak, tapi untuk dijinakkan. Dunia hanyalah buih, indah sesaat lalu pecah. Mereka berdagang, bekerja, bahkan ada yang kaya, tapi hatinya tak pernah dikungkung. Dunia hanya sampai di tangan, tidak pernah meracuni jiwa.
Bayangkan. Seandainya kesadaran itu hadir di dada kita, mungkin hidup akan lebih teduh. Orang bekerja bukan semata mencari gengsi, tapi menebar pengabdian. Orang berkuasa bukan untuk berpesta, tapi untuk berkorban. Orang berumah tangga bukan sekadar memenuhi rutinitas, tapi menabur kasih-sayang yang meneduhkan.
Aku sadar. Namun kenyataan sering berbeda. Banyak yang menjadikan waktu hanya kalender yang disobek tiap hari. Hidup hanya lomba menumpuk foto dan tanda tangan, tanpa pernah berhenti bertanya: “Apakah aku benar-benar hidup?”
Sepakat. Di titik itu, al-‘Asr kembali hadir mengingatkan: hidup bukan soal panjangnya usia, tapi apa yang kau tinggalkan. Jejakmu, bukan bayangmu. Doa dari orang yang pernah kau tolong, bukan tepuk tangan yang sudah lama padam.
Izinkanlah. Aku ingin berbisik pada diriku sendiri—dan pada siapa pun yang membaca renungan ini: “Jangan biarkan waktu hanya mencatat derap langkah tanpa makna. Tinggalkanlah jejak yang sejuk, bukan bara. Jejak yang membuat orang lain berkata lirih: “Syukurlah aku pernah mengenalnya.”
Saudaraku, sadarlah. Pada akhirnya, waktu akan menelan semua nama, semua harta, semua pesta. Yang tersisa hanya jejak: harum doa atau busuk cela. Dan engkau—ya, engkau—hanya selembar bayang dalam cermin waktu. [ ]