Rock N Roll Mom : episode 9
Pengantar:
Jernih.co akan memuat cerita bersambung, sekadar mengajak kalangan yang sudah senior—paling tidak 40 tahun ke atas, bernostagia membaca cerber dalam koran-koran di masa jaya media cetak.
Pada kesempatan pertama, kami akan muat bersambung cerber ‘Rock N Roll Mom’, yang bercerita tentang masa-masa kebangkitan grup band Slank. Selamat mengikuti.
Lesu, Bimbim mendekatkan lintingan uang itu ke lubang hidungnya. Ia pun merunduk mendekati garis putih itu. Ia menyedot perlahan. Tak ada bunyi, garis itu pun tak bergeser sedikit pun.
“Yee…Hirup yang kuat Bim!” teriak Bongky. “Ayo, kamu bisa!” Teriaknya menirukan bunyi iklan sebuah produk minuman energi di televisi. Bimbim mendelik kurang suka. Sementara tangan yang satu menempelkan lintingan uang ke satu lubang hidung, lubang hidung yang lain ditutupnya kuat-kuat oleh tangan lain. Terdengar segrokan keras saat Bimbim menghirup kuat-kuat.
“Halah!” teriak Bimbim, meninggalkan pinggir meja dengan sempoyongan. Tampak sekali apa yang barusan dilakukannya sangat tidak membuatnya nyaman.
Dicarinya kursi dan di sanalah kemudian ia menjatuhkan pantatnya kuat-kuat.
“Hei, Bimbim oke juga. Ia menghabiskan setengah garis. Bravo!” kata Bongky, setengah berteriak. Semua mendekati meja untuk menyakinkan prestasi Bimbim. “Sini, giliran gua,”
Bongky tampaknya tertantang. Dengan satu hirupan panjang, dihabiskannya garis yang ada.
Semua tak sempat memperhatikan Bongky, karena tiba-tiba Kaka berlari menuju pintu kamar mandi. Dibukanya pintu dengan sentakan keras dan ia pun muntah di sana. Kembali ia terbungkuk-bungkuk, kali ini dengan gelontoran sisa makan malam yang ditumpahkannya ke lubang peturasan.
“Minggir, Ka! Minggir!” Giliran Bimbim kini. Seperti Kaka, seolah berbagi tempat, kini keduanya menghujani lubang dengan semburan benda-benda yang seharian mereka makan.
Tiga menit kemudian barulah semua itu berhenti.
“Edan. Maunya dapat sensasi, kok malah dapat jackpot,” kata Kaka keluar dari kamar mandi. Jackpot adalah istilah kalangan gaul untuk muntah akibat teler. Tetapi alih-alih tertekuk kecewa, meski dengan mata berair Kaka terlihat sumringah. “Nih barang nantangin gua kayaknya.”
Akhirnya malam itu mereka bertiga menghabiskan bubuk pemberian teman tersebut. Pay dan Indra menolak ikut. “Gua nggak suka lihat muntahan gua sendiri,” kata Pay, berkilah.
Tetapi Pay benar, muntah itu sebenarnya membuat Bimbim, Kaka dan Bongky pun malas melanjutkan. Hanya persoalannya, rasa penasaran mereka jauh lebih tinggi dibanding perasaan jijik dan mual akibat jackpot berkali-kali itu. Alhasil, ketiganya terus menghirup. Saat kantong kecil itu tandas, mereka meminta kantong baru pada si teman. Tentu saja kali ini tidak gratis.
“Gua hanya punya satu kantong itu yang free, Bro,” kata dia berkilah. Terpaksa Bongky membayar.
“Dua botol Oom Jack?” kata Bimbim, saat tahu harga sebungkus kecil serbuk putih itu. Hingga nyaris pagi, diseling berbagai obrolan dan beberapa kali bergantian ke kamar mandi untuk jackpot, benda itu mereka habiskan. Mereka agak kecewa juga sebenarnya, karena tak merasakan sensasi apapun yang dijanjikan teman tadi.
“Bos, kalian perlu waktu. Nanti juga reaksinya lain,” jawab teman itu ketika Bongky penasaran bertanya keaslian barang yang ia berikan. “Lo cari-cari tahu deh, apa pernah gua jual barang aspal.”
***
APA yang dikatakan teman itu benar. Esoknya sesampai di Jakarta, ketiga personel Slank itu merasakan sakit yang sangat menyiksa. Mereka sakau, ketagihan. Hanya semalam bersama, putri putih itu tak mau melepaskan mereka dari pelukannya. Tak ada jalan lain bagi mereka untuk lepas dari kesakitan kecuali mencari barang itu.
Dan tentu saja, Jakarta adalah tempat yang mudah untuk mencari semua itu.
Setelah itu, Bimbim sempat merasakan penyesalan. Selama ini, berbagai eksperimen acap mereka lakukan. Personel Slank merasa menemukan rasa yang berbeda. Bikin lagu pakai minuman keras dan cimeng jelas lain. Lain suasana, dan tentu saja lain rasa. Bukan sekali dua mereka mengoplos berbagai minuman, mencampurnya jadi satu untuk kemudian menikmatinya hanya sekadar untuk tahu efeknya.
Tetapi putaw memang lain. Barang itu seolah cewek super posesif yang tidak akan melepaskan siapapun yang sudah menggaulinya lepas begitu saja.
“Rasanya, reaksi kimianya yang membuat kita jadi, apa sih, percaya diri,” ujar Kaka kepada Bimbim suatu ketika. Dua tahun sesudah jadi pemakai Bimbim memang sempat mengajak Kaka berhenti mengonsumsi. Sayang, baik Kaka dan bahkan Bimbim sendiri harus mengakui betapa kuatnya pelukan putri putih itu.
Bongky sendiri, untunglah, tidak seperti sempat ketagihan sebagaimana Bimbim dan Kaka. Memang ia sempat merasakan badannya menagih sepulang dari Bali itu. Hanya karena saat itu tidak sedang bersama-sama dengan keduanya, sementara untuk mencari sendiri ia enggan, ditahannya rasa sakit itu menderanya selama kurang lebih dua hari.
Dua hari setelah itu, mungkin karena ngambek keinginannya tak dipenuhi, putri putih sialan itu pun tak lagi berani datang menagih Bongky.
“Gua sih, kalau sudah bikin badan sakit, ogah,” katanya kepada Bimbim saat keduanya bertemu di Potlot. Bimbim menawarinya segaris. Bongky menolak. Dan memang, tak pernah lagi Bongky mau ditawari barang itu. Ia masih ikut minum, tentu. Tetapi begitu uang kertas sudah dilinting, ia segera menghindar.
Belakangan, sedotan plastik menggantikan fungsi uang kertas. Lebih praktis dan higienis. Dan tentu saja, ekonomis.
***
Tak perlu waktu lama untuk menjadikan serbuk putih itu kemudian menjadi barang biasa di Potlot. Pemakaiannya merambat ke personel Slank yang lain. Pay yang lama-lama tidak tahan melihat teman-temannya seolah menemukan sorga saat menikmati barang itu, mencobanya saat usai show di Yogyakarta. Iseng-iseng. Berkali-kali melihat kawan-kawannya seolah tak lagi dihinggapi stress setelah memakai, Pay mencobanya.
Ia tak heran saat lambungnya berontak dan muntah-muntah. Sudah disaksikannya hal itu terjadi pada Bimbim, Kaka dan Bongky di Bali.
Lama-lama ia merasa menemukan rasa asyiknya, dan tentu saja, ketagihan. Setelah itu, hanya mengganti slogan yang dikembangkan Presiden Soeharto, ‘Tiada Hari Tanpa Olahraga’, pada kata terakhir dengan putaw, Pay pun tak pernah melewatkan hari tanpa hirupan putaw.
Ia segera tergabung bersama sesama personel Slank lainnya, yang akan sakit tanpa putaw. Menghirup putaw, mereka kembali terlihat normal. Terlihat tentu saja, karena sejatinya abnormalitas secara perlahan mulai melingkupi anak-anak Slank. Bagaimana mungkin masih normal, manakala segala aktivitas kemudian seakan-akan digerakkan putaw.
Indra merupakan yang terakhir kena. “Kalau pas lagi kena begituan sih, main keyboard, bikin lagu, enak aja,” kata Indra kepada Bimbim, saat kehabisan stok dan harus minta.
Setelah itu bahkan hampir semua orang di komunitas Potlot terkena wabah ini. Pelan tapi jelas, markas Slank dipenuhi pemakai dan bandar narkoba. Wajar, karena anak-anak muda yang mengidolakan mereka, para Slankers, akhirnya juga turut serta mencoba dan terjerat.
Bimbim ingat, pada tahun-tahun pertama mereka menikmati kegemaran ini semua mengalir begitu asyik. Mereka seolah kebanjiran kreativitas. Slank bahkan melempar album ketiga ‘Piss’, tahun itu. Tak hanya itu, album itu meraih BASF Award sebagai Album Terlaris 1993/1994 untuk Kategori Rock Alternatif dengan hits ‘Mau Beli Tidur’ dan ‘Kirim Aku Bunga’.
Derasnya kreativitas mungkin juga menjadi pembenaran mengapa Slank kemudian terbenam lebih dalam lagi ke dalam lubang perangkap putaw. Setahun kemudian lahir album keempat, Generasi Biru. Ada kemajuan besar karena album ini diproduksi Piss Record, perusahaan rekaman milik Slank sendiri.
Bimbim pun sempat pusing mengapa otaknya seolah begitu terang di saat-saat make itu. Lirik-lirik yang ditulisnya untuk lagu-lagu Slank seolah mengalir deras, lancar. Kritik menghambur, melesat cepat laksana hujan anak panah. Bimbim ingat, betapa album itu sarat kritik sosial, tidak sebagaimana album-album Slank lainnya yang lebih ringan. Ada kritik tentang birokrasi yang bobrok di ‘Birokrasi Complex’. Ada kepedulian soal pencemaran lingkungan di ‘Nggak Perawan Lagi’. Ia juga begitu ringan menuliskan buramnya feodalisme dalam ‘Warisan Kompeni’, atau sekadar mengajak para elite politik lebih mau turun menengok realitas di ‘Hey … Bung’.
Generasi Biru, tampaknya menjadi kristalisasi dari sikap dan pandangan hidup Slank selama ini.
Tetapi harga yang harus dibayar untuk semua itu begitu mahalnya. Harga pergaulan dengan bubuk putih yang diklaim mengundang kreativitas itu dalam banyak hal bahkan mengikis manfaatnya, kalaupun itu memang ada.
Selain memberikan ekstasi, pelan tapi pasti sang putri pun mulai menggerogoti. Ya fisik, ya psikis. Tidak hanya tubuh, melainkan juga jiwa dan kepribadian mereka.
Yang membuat Bimbim termangu adalah pengalaman dua hari lalu. Saat itu, ia kembali diserang sakaw. Seperti biasa tubuhnya menggigil, keringat bermanik-manik muncul di wajahnya. Badannya yang terlihat ringkih terguncang-guncang dengan nafas tersengal-sengal.
Hanya lain dari biasa, di puncak rasa sakit yang tak terperikan itu, entah mengapa, tiba-tiba Bimbim teringat akan Tuhan. Mungkin saja bagian dari kesadaran masa kecilnya yang dibesarkan dengan nilai-nilai relijius, muncul saat itu.
Bimbim sendiri heran ketika momen itu tiba-tiba datang. Sel-selnya yang menjerit sakit itu justru membuat Tuhan terasa bisa tergapai. Begitu dekat.
“Ya Allah, sembuhkan aku dari rasa sakit ini, bebaskan aku dari jerat narkoba.”
Ingin rasanya Bimbim menjerit sekuatnya, memekik untuk melepaskan kesakitan yang menderanya amat sangat itu. Dengan erang tertahan, Bimbim mencoba memanjatkan doa-doa pendek, doa-doa yang pernah dipelajari dan dihafalnya semasa kecil.
Entah bagaimana prosesnya, yang pasti sekonyong-konyong Bimbim merasakan kesejukan hinggap di hatinya. Rasa sejuk, bagaikan dingin air pegunungan yang membual dari sumbernya, air itu merendam rasa sakit pada jasmaninya.
Bimbim terheran-heran sendirian.
“Mungkinkah Allah mendengar doaku? Mungkinkah ini isyarat bahwa diriku masih tetap Dia perlukan sebagai hambaNya di bumi ini.”
Lama-lama, tak perlu waktu terlalu lama malah, keheranan itu telah berubah menjadi keyakinan.
“Ya. Allah memintaku sembuh. Dia masih mempercayaiku sebagai hambaNya, dan hamba Allah tentulah bukan seorang pecandu. Kalau Dia memintaku sembuh, dan Ibukupun memintaku sembuh, bagaimana mungkin aku menolaknya…”
Malam itu sekali lagi Bimbim kembali didera sakau. Tetapi alih-alih mengangkat telepon dan memutar nomor bandar, ia hanya menggerung di sudut kamar. Berjam-jam, menikmati erangannya sendiri. Seolah erangan itu wirid yang dirapalnya untuk Yang Maha Kuasa. Perlahan, kembali ia merasakan kesejukan.
Kesejukan itu pula yang kemudian mengantar Bimbim ke alam mimpi. Tidur, satu hal yang juga terasa makin menjadi barang mewah dalam kehidupannya saat itu. Setelah menjadi pecandu, Bimbim bisa dikatakan menderita insomnia. Susah tidur. Kini, meski dalam deraan sakit, begitu mudahnya Bimbim tertidur.
Di ambang perjalanan ke dunia mimpi itu Bimbim tersenyum. Ia merasa telah menemukan apa yang akan mampu membuatnya keluar dari goa tanpa dasar ketagihan narkoba itu.
“Aku harus kembali menjadi Bimbim yang sehat. Aku harus cepat pulang kembali kepada kesadaran. Aku harus sembuh,” gumamnya.
“Aku harus cepat pulang, pulang kepada ibunda yang selama ini telah memperlakukanku sebaik-baiknya,” pikir Bimbim.
“Kuharus cepat pulang…
Aku harus cepat pulang…”
*** [bersambung]
[bersambung]