Solilokui

Syekh Abu Bakar dan Kentut Keledai

Gunung-gunung sudah meletus, lautan sudah pecah, langit sudah runtuh dan bumi sudah terbelah. Mengeluarkan segala jenis ancaman bencana kepada kita sekalian? Wabah mematikan telah tersebar. Adakah kita mafhum akan segala kelalaian, kekhilafan dan kesombongan kita masing-masing?

Oleh :   H.Usep Romli HM*

Di tengah bencana berkesinambungan, baik bencana alam, bencana pandemi Covid-19, maupun bencana moral, marilah menengok sosok Syekh Abu Bakar, tokoh yang dikisahkan  Fariduddin Attar, pujangga sufi abad 13,  dalam bukunya “Mantiquth Thair” (Musyawarah Burung) :

“Syekh Abu Bakar, terkenal berilmu tinggi. Jujur dan lurus. Hidup “zuhud” (sederhana) dan “wara” (apik). Menjadi panutan khalayak pada zamannya. Mulai dari masyarakat kebanyakan hingga orang-orang pilihan selalu berdatangan kepadanya. Menanyakan segala sesuatu berkaitan dengan berbagai urusan yang membawa kemaslahatan dunia akhirat.

Tapi sebagai mahluk, Syekh Abu Bakar tetap saja terkena penyakit umum yang suka menimpa manusia. Penyakit yang sulit diusir oleh dzikir,  diberi obat munajat. Maklum, “al insanu ma’alul khatha wan nisyan”,  sabda Nabi Muhammad Saw, manusia selalu terkena khilaf dan salah.

H Usep Romli HM

Terutama penakit yang bersemayam di sudut hati paling dalam. Yang suka mekar tiba-tiba. Merambah ke segala arah, baik ucapan maupun tindakan. Yaitu  ujub, ria, takabur, iri dengki, hianat, dan kalbu membatu. Dimulai dari sekedar goresan perasaan. Ibarat nyala sebatang korek. Namun tanpa disadari dapat membakar hangus seluruh amal kebajikan.

Ini dialami  Syekh Abu Bakar, ketika pada suatu hari akan berangkat ke istana, memenuhi undangan Sultan. Dengan dandanan serba baru, di atas keledainya, ia memandang ke belakang. Ratusan massa berhimpun di halaman rumahnya. Memberikan selamat karena Syekh mereka mendapat undangan istimewa dari istana. Sebuah kekecualian mendadak, mengingat selama ini, Syekh Abu Bakar sering menampik tegas apabila Sultan mengundangnya.

Malah sering berkata keras kepada para utusan Sultan yang datang menemuinya :  “Katakan pada Sultanmu, siapa yang butuh? Dia atau aku? Aku jelas tak butuh apa-apa. Sedangkan ia jelas butuh. Maka yang butuhlah yang harus datang ke sini.”

Perkataan keras itu, pernah dipertanyakan murid-muridnya. Apakah tidak menggambarkan kesombongan?

“Tidak !”jawab Syek Abu Bakar. “Aku sombong karena Sultan telah sombong kepadaku. Sehingga kesombonganku dapat dikategorikan sadaqah. Dengarlah sabda Nabi Muhammad “at takabburu minal mutakabbirina sodaqotun”, sombong kepada kesombongan adalah sadakah.”

Tapi sekarang, di atas keledai, di balik dandanan megah mewah,  menyelinap setitik kecil rasa sombong dalam hati Syekh Abu Bakar. Ia hanya sekedar ingin memuji dirinya sendiri. Bahwa dirinya dikagumi orang. Banyak pengikut. Banyak pendukung. Disukai masyarakat. Didekati para pejabat.

Hatinya sekadar berbisik : “Ternyata aku luar biasa. Memiliki aura wibawa. Siapakah orang lain yang setara denganku saat ini?”

Di tengah suasana singkat “i’jabu binnafsi” (mengagumi diri sendiri), tiba-tiba terdengar bunyi aneh. Bunyi angin ke luar dari pantat keledai. Keledainya kentut keras sambil melonjak.

Syekh Abu Bakar tersadar. Dirinya telah melampaui batas. Sikap “zuhud” dan “wara” yang selama ini dipertahankan telah bobol oleh kesombongan sekejap. Dan kesombongan tanpa makna itu diledek oleh seekor keledai tolol dengan bunyi kentutnya yang memuakkan.

Sebagai manusia yang terlatih dalam kejujuran dan kebenaran, saat itu juga Syekh Abu Bakar melucuti semua atribut-atribut kebesarannya. Bahkan ia menyatakan mundur dari kedudukan sebagai “syekh” panutan umat. Ia merasa belum pantas memikul amanat itu, karena  belum mampu menghapus watak dan sipat “adigung adiguna” dalam dirinya sendiri. Padahal kepada orang lain ia mengajarkan kerendahhatian, dan kelurusan.

Ia merasa   harus menyingkir kembali ke garis awal. Ke batas permulaan pembentukan manusia yang harus bersih dari sifat-sifat hina dina (at takhalli minal raz’ail), yang harus menumbuhkan sifat-sifat mulia (at takhalli bil fadla’il) dan mengosongkan hati dari segala perbuatan selain untuk menghamba kepada Allah SWT (at tabarri amma siwallah).

“Aku tidak pantas mendidik, membimbing dan memimpin kalian. Karena ilmuku tak jauh berbeda dari busa sabun. Hanya gelembung-gelembung kosong belaka. Keahlianku ibarat biji hampa yang tak akan tumbuh menjadi tanaman subur yang bermanfaat bagi kehidupan. Aku masih terperangkap oleh kekaguman terhadap diriku, tanpa memiliki pengetahuan tentang derita dan kebutuhan orang lain, “demikian dekrit pengunduran Syekh Abu Bakar di hadapan orang-orang yang selama ini menyanjung-nyanjungnya.      

Seorang “ mursyid” (guru tarekat) di sebuah pesantren kecil tanpa nama di sebuah kampung terpencil, mengomentari penuturan Attar tersebut dengan cucuran air mata sesal dan malu.  

“Kita semua sesungguhnya memiliki sifat dan sikap perilaku lebih parah daripada Syekh Abu Bakar. Karena kita tidak pernah memiliki kesadaran spontan terhadap segala sesuatu yang kita lakukan secara salah. Padahal Syekh Abu Bakar cuma diingatkan oleh bunyi kentut keledai. Kita telah diingatkan oleh ribuan kentut makhluk, mulai dari binatang, tumbuhan hingga manusia. Tak pernah kita dengar dan kita tanggapi. Bahkan tatkala alam ikut kentut pun, kita masih tetap degil. Gunung-gunung sudah meletus, lautan sudah pecah, langit sudah runtuh dan bumi sudah terbelah. Mengeluarkan segala jenis ancaman bencana kepada kita sekalian? Wabah mematikan telah tersebar. Adakah kita mafhum akan segala kelalaian, kekhilafan dan kesombongan kita masing-masing?

“Tak ada sama sekali, “jawab para murid dengan suara pelan.

“Maka segala isi jagat raya akan terus-menerus kentut, selama kita belum menempuh jalan seperti Syekh Abu Bakar, ”kata “mursyid” tak terkenal itu,  seraya memohon maaf apabila komentarnya barusan cenderung seperti sikap Syekh Abu Bakar di atas punggung keledai. Ia terus-terusan beristigfar – memohon ampun kepada Allah – karena selama mengajar itu, pikirannya melayang-layang kepada berbagai hal aktual yang terjadi di sekelilingnya.

Kepada para tokoh politik dan negara yang saling bantah merasa paling benar sendiri. Kepada para elit yang merasa berhasil mengolah bangsa dan negara, dan bersiap-siap memperebutkan kembali tahta kepemimpinan nasilonal mendatang, dengan rangkaian janji-janji baru yang penuh kemustahilan dan konyol. Sementara  penduduk pinggiran pantai  terus-menerus kena terjang ombak besar, penduduk pegunungan terancam letusan dan lahar dingin, dan jutaan lainnya lagi melata-lata dalam kemiskinan, kelparan dan penyakit. [ ]

*Penulis artikel ini

Back to top button