Tradisi “Mamaleman” Menyambut “Lailatul Qadar”
Tidak afdal jika mamaleman tanpa kehadiran dupi walaupun masih terdapat jenis-jenis makanan lain yang terbuat dari beras dan dibungkus daun pisang, seperti uras,leupeut, dan leumeung teundeut, atau katimus yang terbuat dari parut singkong yang diberi gula merah, parut kelapa, dan dibungkus daun pisang
Oleh : Usep Romli HM
Prinsip tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah sudah mendarah daging di lingkungan masyarakat Sunda, minimal di pedesaan yang masih cukup steril dari pengaruh materialistis-hedonistis perkotaan. Kebiasaan yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Imam Bukhari, “al yadul ulya khairum minal yadish shufla”, telah diterapkan dalam kenyataan sehari-hari melalui bentuk saling memberi, saling menolong, dan jenis-jenis yang bersifat “tangan di atas”. Bukan “tangan di bawah” yang menunjukkan watak “meminta”, bahkan meminta-minta.
Salah satu kebiasaan yang masih lestari hingga sekarang dan diabadikan pada hari-hari terakhir bulan Ramadhan adalah mamaleman, yang menunjukkan arti malam demi malam sejak malam ke-21 atau salikur hingga malam terakhir menjelang Idul Fitri atau malam takbiran.
Mamaleman yang disebut juga lilikuran diprediksi sebagai saat lailatulkadar. Malam bernilai setara dengan seribu bulan. Pada malam itu, Malaikat Jibril turun ke bumi, menaburkan berkah keselamatan, pahala, dan karunia bagi orang-orang yang berpuasa, yang melakukan berbagai ibadat ritual atau ibadat sosial berupa kebajikan kepada sesama.
Maka, penduduk desa, terutama kaum perempuan, menyibukkan diri dengan membuat aneka penganan khas menyambut lailatulkadar saat mamaleman atau lilikuran dengan berbuat bajik, yaitu mengirim makanan kepada para jemaah yang melaksanakan shalat tarawih di masjid. Sebagian besar aneka penganan itu terbuat dari bahan-bahan lokal dan tradisional, seperti dupi atau tangtang angin. Berbahan baku beras dan dibungkus daun bambu.Dupi yang mirip segitiga sama sisi atau prisma itu merupakan “primadona” pada mamaleman. Tidak afdal jika mamaleman tanpa kehadiran dupi walaupun masih terdapat jenis-jenis makanan lain yang terbuat dari beras dan dibungkus daun pisang, seperti uras,leupeut, dan leumeung teundeut, atau katimus yang terbuat dari parut singkong yang diberi gula merah, parut kelapa, dan dibungkus daun pisang pula.
Makanan lain yang terbuat dari parut singkong dan terbungkus daun pisang adalah putri noong, yang selain diberi manis gula juga dilengkapi potongan pisang di bagian tengahnya. Ada juga yang terbuat dari aci kawung (tepung aren), seperti onggol-onggol. Gumpalan aci kawung hasil rebusan dikerat-kerat kecil lalu diberi kinca. Cairan manis itu terbuat dari rebusan gula merah yang diberi pengharum daun pandan atau buah nangka.
Acara makan-makan hidangan dalam mamaleman berlangsung semarak dan riuh rendah usai shalat tarawih, terutama di tempat anak-anak berada, yaitu di pojok masjid atau di bawah tempat penyimpanan beduk dan kohkol. Acara ini sering membuat tukang yang membagikan makanan kewalahan karena jemaah ribut saling berebut. Tak jarang, makanan berjatuhan ke lantai masjid, berceceran, kotor dan lengket. Namun, itu tidak menjadi masalah dan dimaklumi sebagai bagian dari kegembiraan mamaleman menyambut lailatulkadar.
Yang menarik untuk diamati dan diperbincangkan dari aspek sosial adalah kebersamaan dalam menyiapkan penganan mamaleman itu. Yaitu saling membantu, saling memberi, sekaligus saling menerima tugas masing-masing. Ada yang memetik daun bambu untuk bungkus dupi; ada yang mengambil daun pisang untuk bungkus katimus; ada yang mengerjakan mulai dari proses penyediaan bahan; ada yang memasak hingga siap saji. Semua dilakukan bersama-sama. Paheuyeuk-heuyeuk leungeun. Gotong royong spontan tanpa diperintah atau diajak, termasuk dalam menyediakan bahan-bahan, baik beras, singkong, gula, kelapa, maupun pisang, dan kayu bakar.
Maka, tak ada yang merasa dituding sendirian ketika seseorang berkomentar, dupi kurang garam atau terlalu asin; onggol-onggol terlalu encer; atau katimus masih agak mentah . Semua kekurangan itu merupakan tanggung jawab bersama, dan tidak pernah menimbulkan benceng ceweng (keributan akibat hal tetek bengek), yang akan mengakibatkan perseteruan. Komentar-komentar “miring” tadi dianggap kritik lembut, yang dapat diterima dengan dada lapang, serta disandarkan pada situasi dan kondisi kejiwaan para pembuatnya yang rata-rata gadis menjelang remaja. Kurang garam dianggap teu uyahan (tidak lucu) karena mungkin para gadis terlalu ketus, kurang respek, dan acuh tak acuh kepada pemuda yang menaksirnya.
Jika terlalu asin, mungkin para pembuatnya sedang menginjak masa puber. Ketika bekerja, tidak konsentrasi. Sering termenung panjang membayangkan bakal pujaan hati.
Terlepas dari hal itu, mamaleman termasuk salah satu simpul tradisi keakraban masyarakat Sunda dengan alam lingkungannya. Penggunaan bahan-bahan serba alami,
seperti daun bambu, daun pisang, aci kawung, atau aci singkong, menunjukkan bukti segala macam kebutuhan tersedia. Walaupun tidak kaya raya, berlebihan, itu menjadi pertanda bahwa sandang-pangan cukup terjaga. Umbi-umbian tinggal menggali, daun tinggal memapas merupakan bagian dari hemat. Hemat dalam mengelola hak milik dan hemat memanfaatkan lingkungan alam.
Karena mamaleman merupakan bentuk kebajikan nyata, tak heran jika rahmat dan karunia Allah SWT yang turun meluncur dari langit ketujuh pada saat lailatulkadar, melimpah ruah ke hamparan tanah orang Sunda sehingga benar-benar gemah ripah loh jinawi (subur makmur).
Entah sekarang, ketika mamaleman menyambut Lailatul Qadar hanya tinggal kenangan.
[ ]