Prinsip ‘Emboh’ Alias Bonus : Kerja Memuaskan, Upah Bertambah
Istilah “hade gawe ambeh kapake” (kerja bagus agar terpakai), menjadi prinsip para “kuli ari”, buruh harian, yang berpikir dan berpola hidup sederhana.
Oleh : Usep Romli HM
Dalam tradisi bertani di perdesaan tempo dulu, terdapat upah tambahan yang disebut “emboh”. Semacam bonus langsung, karena pemilik sawah atau ladang merasa puas menyaksikan hasil kerja para kuli cangkul yang giat. Tapak cangkul di sawah sesuai dengan yang diharapkan, sejak merintis, hingga siap ditanami.
Begitu pula di ladang. Pemilik tanah atau penggarap pengupah, tak sayang mengeluarkan “emboh”. Berupa nasi “timbel” beserta lauk-pauknya untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing. Atau “rebig” (baju bekas untuk pakaian kerja). Tentu saja para kuli merasa gembira. Pekerjaannya dihargai. Sehingga betul-betul “balakatiktrik balakacombrang” (beuteung mutiktrik, berekat meunang), yang artinya, perut kenyang oleh rangsum makanan saat bekerja, ketika pulang mendapat pula kelebihan untuk anak-istri.
Bukan hanya para kuli cangkul yang suka mendapat bonus. Tukang membajak sawah, selalu mendapat perhatian khusus jika kerjanya memuaskan. Ia datang bersama kerbaunya, persis pada waktu “meletek sarengenge” (kira-kira pkl.6.30). Langsung terjun ke dalam lumpur. Mengatur jalan kerbau mengedari sawah. Menyuruh kerbau maju ke kiri ke kanan , sambil sesekali melontarkan kata-kata “kia-mideur”, diselingi “ngahaleuang” (berdendang). Melantunkan berbagai macam lagu, dengan irama “beluk” (alunan suara tinggi dan panjang).
Ketika “pecat sawed” (kira-kira pukul 10), pekerjaan dihentikan. Kerbau dilepas untuk berendam di sungai.
Bonus lumayan, sudah pasti menanti tukang bajak sawah semacam itu. Pemilik sawah merasa terpuaskan oleh hasil kerja pokok, juga oleh suaranya yang merdu mengalun. Semua merasa terhibur.
Istilah “hade gawe ambeh kapake” (kerja bagus agar terpakai), menjadi prinsip para “kuli ari”, buruh harian, yang berpikir dan berpola hidup sederhana. Mereka cukup mendapat “sahuap sakopeun” (sesuap makanan) untuk hari itu, namun perlu juga untuk esok dan hari-hari selanjutnya. Agar peluang kerja dapat terjamin, mereka harus menunjukkan kinerja yang baik. Sehingga akan tetap dibutuhkan oleh para pemilik tanah, dari musim ke musim. Bahkan pada musim panen, kadang-kadang diundang pemilik sawah untuk ikut “gacong. Kuli menuai padi, di sawah yang dulu mereka cangkul.
Kini tradisi itu sudah lenyap. Sawah luas yang menyerap tenaga kerja pecangkul dan pebajak, sudah menyempit. Para kuli cangkul dan pebajak juga sudah berangsur lenyap, karena ketiadaan regenerasi. Pindah professi menjadi kuli pabrik atau kerja lain di luar kuli mencangkul. Membajak sawah tidak lagi menggunakan kerbau dengan tukang bajak yang ramah mengucapkan “kia-mideur” kepada kerbaunya, serta piawai “ngahaleuang”. Tapi menggunakan traktor yang menderu tak kenal waktu. Tak kenal istilah “meletek srangenge” atau “pecat sawed”.
Juga tak kenal bonus atas hasil kerja. Yang penting, selesai. Soal mutu, terserah, karena sawah sudah “digaru” dan “diwuluku” sesuai alat pelindas tanah yang terpasang pada traktor.
Kini terkabarkan, yang suka mendapat “bonus” itu, para pejanat yang sudah bergaji tinggi. Semisal pejabat BPJS, yang dikabarkan akan mendapat bonus khusus. Atau anggota legislatif yang suka mendapat “uang kadeudeuh”, setelah selesai menjalanai masa kerja lima tahun. Sehingga pemerintah di pusat dan daerah, harus menyediakan dana miliaran rupiah. Sebagai “emboh” bagi para pejabat dani para anggota legislatif yang sudah menunaikan tugas mewakili rakyat.
Tak ada yang mengukur prestasi kerja mereka. Tak ada yang menilai, sejauh mana keberhasilan mereka dalam menjalankan tugas sebagai wakil rakyat. Apakah bagus, atau jelek ? Apakah benar-benar jujur dan adil ? Atau sekedar menyandang predikat belaka, tanpa menghasilkan apa-apa yang memberi kepuasaan kepada yang mereka wakili, sambil mendapat gaji besar ?
Berbeda dengan tukang cangkul dan tukang bajak sawah tempo dulu. “Emboh” alias bonus, kadeudeuh, tanda mata, dari pemilik sawah, berdasarkan nilai kerja mereka yang benar-benar memuaskan. Tidak sembarang memberi. Bukan kerja seadanya, bonus seenaknya.
Tapi siapa tahu, rakyat yang mempercayakan pengurusan segala keperluan para wakilnya kepada pemerintah, memang tak peduli lagi kepada kinerja para wakilnya di DPR/DPRD. Rakyat sudah apatis. “Kuma dinya” dan “kuma karep”, karena protes atau kritik apapun tak pernah dipedulikan. Bahkan sekarang, tak mustahil menjadi bumerang. Mengkritik dan memprotes dianggap mencemarkan nama baik yang dapat dituntut berdasarkan pasal karet berbagai UU buatan DPR. [ ]