Menggapai Kebahagiaan Sejati
Tidak ada kebaikan bagi dunia ini kecuali untuk dua macam manusia; seseorang yang berbuat salah kemudian bergegas bertobat, dan seseorang yang selalu bergegas melakukan amal salih.
JERNIH—Kita mengumpulkan uang untuk bisa hidup nyaman, membangun istana untuk mengusir kesepian dan bertamasya untuk melupakan masalah kita.
Kita menghabiskan segalanya untuk mencapai kebahagiaan, tetapi bukan kebahagiana sejati, yang harusnya kita kejar. Banyak sekali manusia yang menggunakan kekayaannya untuk membeli kebahagiaan, padahal kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai dengan memenuhi segala perintah Allah dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Kebahagiaan sejati ini akan datang tatkala seseorang berusaha mendapatkan tempat tinggal abadi yang di dalamnya tidak ada kesedihan dan kekurangan, yang ada hanyalah kesenangan, yaitu tempat segala kesenangan yang abadi tidak akan berakhir.
Wahab bin Munabbih berkata,”Perumpamaan dunia dan akhirat adalah seperti dua orang istri yang saling bermusuhan. Jika kamu membuat salah satu dari mereka senang, maka yang lain akan murka.”[1]
Inilah mengapa ulama sufi Hasan Al-Basri berkata tentang dunia ini. “Aku heran kepada mereka yang diperintahkan mengumpulkan bekal (takwa) dan diberitahu bahwa perjalanan menuju akhirat akan datang segera, sementara mereka masih bermain-main.”
Ali bin Abi Thalib RA menggambarkan nilai harta dan keturunan yang banyak. “Kebaikan itu dicapai dengan bertambahnya harta dan keturunanmu. Tetapi kebaikan itu dicapai dengan bertambahnya kebajikanmu lalu kebijakanmu berkembang. Tidak ada kebaikan bagi dunia ini kecuali untuk dua macam manusia; seseorang yang berbuat salah kemudian bergegas bertobat, dan seseorang yang selalu bergegas melakukan amal salih. Sesungguh segala amal salih tidak pernah menyebabkan kekurangan, karena bagaimana mungkin perbuatan yang diberikan Allah bisa menyebabkan kerugian?”[2]
Jika dunia ini mendekati seseorang dengan segala kekayaan dan kenikmatannya, sebaiknya ia ingat pernyataan dari Al-Hasan, yang berisi:
“Demi Allah! Siapa pun di antara manusia yang memiliki kekayaan di dunia ini tapi dia tidak merasa takut bahwa dirinya sedang diuji, maka segala kebajikannya akan berkurang dan pendapatnya menjadi usang. Kapan pun Allah menahan kesenangan dunia dari seorang hamba, yang menyangka bahwa dia dibolehkan untuk memperturutkan kata hatinya dalam kesenangan tersebut, maka ketahuilah bahwa dia sedang dibuat merasa kehilangan. Karena amal baiknya telah surut dan pendapatnya menjadi usang.” [3]
Ketahuilah bahwa hari-hari dalam hidup ini bagaikan sebuah mimpi atau bayang-bayang fatamorgana. Jika dunia ini membawa kesenangan untuk satu hari, maka dia akan membawa kesedihan untuk beberapa hari. Jika dia membawa rasa nyaman untuk waktu yang singkat, ia akan membawa kegundahan untuk waktu yang lebih lama.
Hind bint An-Numan berkata,”Dulu kami berada di antara orang-orang yang berkuasa, yang memiliki dinasti paling kuat dalam sejarah. Suatu hari Sang Matahari terbenam dan kami menjadi golongan yang paling terhina di antara manusia. Setiap saat Allah mengisi satu rumah dengan kesenangan, kemudian Dia mengisinya dengan air mata.”
Seorang pria bertanya tentang detil peristiwa itu, yaitu ketika raja Persia mencabut mahkota dan kerajaan mereka, kemudian memenjarakan bapak Hind bint An-Numan hingga mati. Setelah orang tua itu menjadi raja Iraq, di bawah kekuasaan Persia, maka Hind menjawab:
“Suatu hari kami terbangun sementara sedangkan orang-orang Arab berdatangan pada kamu untuk keperluan mereka. Ketika malam tiba, orang-orang Arab itu merasa kasihan kepada kami…”
Juga diceritakan bahwa lama sebelum mereka kehilangan kekuasaan, saudarinya Hurqah binti An-Numan didapati sedang menangis. Ketika ditanya kenapa ia menangis, dia menjawab:
“Aku melihat keluargaku menikmati kekuasaan dan kesenangan dan aku ingat bahwa apabila suatu rumah diisi dengan kesenangan maka akan segera diisi dengan kesedihan.”
Lebih lanjut Ishaq bin Thalhah berkata bahwa ketika dia mengunjungi Hurqah suatu hari, ia bertanya kepadanya tentang kisah para raja tersebut dan pelajaran yang seyogyanya diambil dari nasib mereka.
Hurqah berkata,”Yang kita nikmati sekarang lebih baik daripada yang kita alami kemarin. Aku membaca buku-buku terdahulu bahwa tidak ada suatu rumah tangga yang hidup dalam kesenangan tetapi (kemudian) akan mencucurkan air mata setelahnya. Dan saat itu tidak akan menunjukkan kepada mereka suatu hari yang mereka sukai, tanpa menyembunyikan hari lainnya yang akan mereka benci.”[4]
Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata dalam pidatonya:
“Kalian diciptakan untuk hidup selamanya, tetapi akan dipindahkan dari satu kehidupan ke dalam kehidupan yang lainnya. Wahai hamba Allah, kalian sekarang hidup dalam kehidupan yang berisikan makanan, tetapi seringkali menyebabkan sakit di tenggorokan ketika menelannya. Juga berisi minuman, tetapi kalian sering tersedak tatkala meminumnya. Kehidupan ini tidak membawa kesenangan yang akan memberikan kenyamanan bagi kalian, tetapi akan membawa pergi kesenangan lain yang tak kau kehendaki kehilangannya. Karenanya berusahalah untuk kehidupan yang akan datang, di mana kamu akan abadi di dalamnya.”[5] [dsy]
Dari
“Life is a Fading Shadow” oleh Abdul
Malik bin Muhammad Al-Qasim, penerbit Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2000
[1] Hilyatul Aulia, jilid 6 hal 272
[2] Sifatus-safwah, jilid 1 hal 331
[3] Hilyatul Aulia, jilid 6 hal 272
[4] Iddatus-Sabirin, hal 326
[5] Al Ihya, jilid 3, hal 288