Solilokui

Abah Alwi, yang Tak Pernah Lelah Menelusuri Jakarta

Salah satu yang saya kagumi dari beliau adalah semangatnya turun ke lapangan–meski sudah sepuh. Dengan tekun beliau menyusuri jalan-jalan atau gang kecil di Jakarta, untuk menuliskan tema yang menjadi spesialisasinya: sejarah Jakarta.

Oleh  : Eko Supriyanto*

JERNIH– Saya pertama kali mengenal Abah (panggilan akrab kami kepada wartawan senior Alwi Shahab yang dini hari tadi berpulang) pada tahun 1990-an, awal pas set up Republika. Saya ingat waktu itu, ada orang yg sudah senior mencari-cari meja kerja utk ngetik.

Mas Tommy (manager produksi koran Republika yang baru lahir), menyodorkan satu meja kerja lengkap dengan komputernya.

eko supriyanto,jernih.co
Eko Supriyanto

Untuk kerja (menulis) waktu itu kami belum menggunakan program pengolah kata yang berbasis Windows, tapi masih komputer jadul DOS dengan piranti lunak Chiwriter. Saya ingat Abah langsung duduk dengan ‘percaya diri’-nya dan mengetik di layar yang masih bertanda a> … (belum dipanggil program Chiwriter-nya). Chiwriter merupakan program pengolah kata seperti Word saat ini.

Kebetulan saya di sana bareng sama Kang EH Kartanegara almarhum (redaktur musik, eks Tempo). Kang EH nyenggol saya, dan kita tertawa terkikik-kikik, nggak ada upaya untuk mengoreksi atau membantu. Malah kita panggil yang lain lagi untuk menertawakan Abah.

Mengapa kami terkikik-kikik? Tanpa memanggil program Chiwriter tentu saja tulisan tersebut tidak akan tersimpan di server yang kemudian diproses lebih lanjut untuk dimuat ke penerbitan esok harinya. Artinya, kerja kita pun sia-sia!

Tidak berapa lama Mas Tommy lewat, dan tampaknya merasa seperti ada yang aneh melihat tingkah kami. Begitu tahu penyebab mengapa kami terkikik-kikik, sambil geleng-geleng kepala Mas Tommy mendekati Abah dan membantu Abah menjalankan program Chiwriter. Tapi Abah masih kagok juga dan akhirnya lebih suka meminjam mesin tik tua yg ada di Sekretariat Redaksi. Abah pun akhirnya menulis dengan mesin tik tua tersebut.

Dan saat itu juga saya merasa aneh, seperti terlempar ke masa lalu. Di tengah suara tik tok yang keras di ruang redaksi, saya tiba-tiba langsung membayangkan betapa riuh-rendahnya suasana ruang newsroom di masa lalu.

Dan ketika saya mendengar berita meninggalnya Abah dini hari tadi, saya terlempar kembali ke awal-awal pertemuan dengan Abah. Yaitu ketika kami menertawakan beliau yang gagap dengan teknologi baru, serta bunyi tik tok mesin ketik di ruang redaksi. Dan setiap kali mengingat peristiwa tersebut saya selalu merasa berdosa. Jahat sekali kami sebagai yunior yang lebih pantas jadi anak beliau saat itu.

Sebagai background, waktu itu diam-diam ada sedikit ketegangan antara kami yang muda-muda  dengan wartawan senior seperti Abah dan beberapa orang lain yang kami anggap rada konvensional. Orang masa lalu. Ternyata belakangan kami salah. Sangat salah. Abah ternyata menjadi salah satu tokoh senior di Republika yang gampang beradaptasi dengan kita dan menyesuaikan diri dengan cara kerja kami.

Tentu saja akhirnya beliau bisa menggunakan piranti perangkat lunak komputer. Bahkan beliau menjadi panutan kami yuniornya di Republika. Salah satu yang saya kagumi dari beliau adalah semangatnya turun ke lapangan–meski sudah sepuh. Dengan tekun beliau menyusuri jalan-jslan atau gang kecil di Jakarta, untuk menuliskan tema yang menjadi spesialisasinya: sejarah Jakarta. Sebuah semangat yang jarang dipunyai para reporter yg lebih muda saat ini, yang lebih suka copy paste punya teman atau blog orang lain, yang hanya mengambil bahan dari medsos. Yang akhirnya membuat isi semua media seragam, seperti fotokopian.

Saya pernah menjumpai Abah jalan sendirian menyusuri jalan-jalan di kawasan lama Kebayoran Baru. Sebetulnya saya pengen menyapa beliau, tapi malah takut mengganggu kekhusukan beliau menyusuri jalan-jalan di Jakarta. Mungkin untuk bahan naskah berikutnya. Jadi rencana menyapa kami urungkan. Apalagi bunyi klakson di belakang kami seperti tak sabar menyuruh kami bergegas.

Terakhir saya bersama istri ngobrol dekat dengan beliau pas anak masih SMP dan memerlukan Abah untuk membuat video pendek tentang kota tua Jakarta. Tugas sekolah si Abe, anak kami.

Tidak hanya menjadi narasumber, Abah dengan telaten mengajak Abe menyusuri jalan-jalan dan gang di Kota Tua Jakarta. Tak jarang kami ketemu rombongan warga yang sedang berwisata sejarah, menyapa beliau. Tentu saja Abah sangat dikenal para pecinta sejarah Jakarta, tema yang menjadi spesialisasi Abah hingga akhir hayatnya. “Ongkos lelah” untuk Abah sederhana saja: makan siang bersama di rumah makan Padang di kota tua Jakarta.

Selamat jalan Abah … [ ]

Back to top button