Crispy

Sarekat Dagang Islam, dari ‘Tukang Pukul’ menjadi Ormas Terbesar di Hindia Belanda

SDI berawal dari ormas Rekso Roemekso yang lahir sebagai upaya tandingan untuk melawan dominasi Kong Sing, ormas yang didirikan para cukong batik keturunan Tionghoa. Kaum cukong bermaksud memonopoli pasokan bahan baku batik maka Rekso Roemekso akhirnya kerap bentrok dengan Kong Sin.

Jernih — Tiap 20 Mei, Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Tanggal itu dipilih karena memiliki nilai historits yakni tanggal berdirinya oraganisasi Boedi Oetomo yang disebut-sebut sebagai cikal bakal organisasi nasionalis yang memperjuangkan cita-cita kemerdekaan.

Namun, sebagian pihak menilai, termasuk cebdikiwan Islam, Ahmad Syafi’i Ma’arif, penetapan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional perlu ditinjau ulang. Dalam catatan kaki di buku Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965, sebagaimana dilaporkan Tirto, Syafi’i mengingatkan prihal kelahiran Sarekat Dagang Islam (SDI) yang menurut sebagian sumber didirikan pada 16 Oktober 1905, tiga tahun lebih tua dari Boedi Oetomo yang lahir pada 20 Mei 1908. Jika tanggal ini terbukti benar, maka tonggak pergerakan nasional musti ditarik mundur ke 16 Oktober 1905.

Tanggal lahir SDI sendiri masih menjadi perdebatan. Setidaknya terdapat dua tanggal yang diyakini sebagai tanggal kelahiran organinasi yang kelak berganti nama menjadi Sarekat Islam (SI) itu, yaitu 16 Oktober 1905 dan 11 November 1911.

Versi 16 Oktober 1905 mengemuka setelah seorang penulis populer dan aktivis gerakan Islam di Jakarta bernama Tamar Djaja menyebut bahwa SDI lahir pada tanggal tersebut. Informasi ini diakuinya ia dapatkan langsung dari H. Samanhoedi, tokoh pendiri SDI.

SDI memang baru menjadi badan hukum pada 1911, namun, cikal bakalnya telah ada jauh sebelum itu, yaitu tahun 1905. Pada tahun tersebut ada sebuah organisasi masyarakat (ormas) bernama Rekso Roemekso yang berbasis di Solo. Ormas didirikan oleh para penggusaha batik di Laweyan, Solo, dengan motor utamanya H. Samanhoedi.

Ormas ini bertugas menjaga keamanan di sentra batik Laweyan. Namun, sebenarnya ormas ini lahir sebagai upaya tandingan untuk melawan dominasi Kong Sing. Nama yang terakhir disebut merupakan ormas serupa yang didirikan para pengusaha batik keturunan Tionghoa.

H. Samanhoedi awalnya bergabung dengan Kong Sing. Namun, diperjalanan ia menemukan ada sesuatu yang tak beres. Para pebisnis keturunan Tionghoa itu ternyata bermaksud memonopoli pasokan bahan baku batik, seperti kain putih, lilin, dan lain sebagainya. Tindakan ini mendapat dukungan dari Pemerinah Kolonial Hindia Belanda.

Melihat kondisi ini, H. Samanhoedi lantas berinisiatif mendirikan ormas serupa sebagai tandingan. Lahirlah Rekso Roemekso. Namun, pada 1911, karena acap kali bentrok dengan Kong Sing, Rekso Roemekso terancam dibubarkan pemerintah kolonial. Keberadaannya dianggap ilegal karena tak berbadan hukum.

Berkat bantuan kawan H. Samanhoedi yang bekerja di kepatihan bernama Djojomaroso, ia kenalkan dengan Martodharsono, seorang mantan redaktur Medan Priaji, suratkabar milik tokoh pers nasional Tirto Adhi Soerjo. 

Martodharsono lantas menyambungkan H. Samanhoedi ke mantan bosnya itu. Beberapa tahun sebelumnya, yakni tahun 1909, Tirto mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Bogor. Demi menyelamatkan Rekso Roemekso, ormas tersebut lantas bertransformasi menjadi Sarekat Dagang Islam cabang Solo. Ketuanya H. Samanhoedi sendiri.

Pendapat yang mengatakan bahwa SDI cikal bakal SI lahir pada 11 Novermber 1911 mendasarkan pada momen ketika Rekso Roemekso melebur menjadi SDI pimpinan Tirto.

Setelah berganti nama menjadi SDI cabang Solo, organisasi ini mulai menata diri dengan lebih sistematis. Mereka tak hanya berfokus pada penjagaan kemanan sentra batik, melainkan mulai menggalang anggota dan membuka berbagai cabang, serta mengadakan pengajaran agama Islam.

Organisasi ini berkembang dengan cukup pesat. Namun, kemajuan ini berbanding terbalik dengan kondisi hubungan H. Samanhoedi dengan Tirto. Hubungan mereka renggang lantaran H. Samanhoedi mendaku sebagai pengagas SDI. Setelah putus dengan Tirto ia lantas menggaet Haji Oemar Said Tjokroaminoto untuk mengurus SDI yang ternyata tak sanggup ia kelola sendiri.

Masuknya H.O.S. Tjokroaminoto, yang merupakan guru dari Soekarno (proklamator NKRI), Semaun (pendiri dan ketua Partai Komunis Indonesia pertama), dan Kartosuwiryo (proklamator Negara Islam Indonesia), membawa angin segar.

Tjokroaminoto mengusulkan agar SDI berganti nama. Hal ini dilakukan agar organisasi benar-benar lepas dari bayangan Tirto. Ia mengusulkan untuk menghilangkan kata “dagang” dalam nama organisasi tersebut. Tujuannya agar ruang gerak organisasi ini menjadi lebih luas, tak hanya di bidang perdagangan saja.

Akhirnya SDI berubah nama menjadi Sarekat Islam pada 1912. Tjokroaminoto menyusun ulang Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga SI yang sebelumnya telah disusun Tirto. Beberapa sumber menyebut penyususnan tersebut selesai pada tanggal 14 September 1912. Sejak saat itu, dengan cepat SI membuka banyak cabang, hampir di seluruh Jawa.

Pitut Soeharto dan Zainoel Ihsal dalam Cahaya di Kegelapan: Capita Selecta Kedua Boedi Oetomo dan Sarekat Islam menulis bahwa pada kongres SI kedua yang dihelat di Yogyakarta tanggal 19-20 April 1914, Tjokroaminoto mengambil alih kepimpinan SI dari H. Samanhoedi. Ia hanya ditempatkan sebagai Ketua Kehormatan yang tak memiliki banyak kewenangan. Pada tahun itu anggota SI disebut-sebut telah mencapai 360.000 anggota.       

Menjamurnya SI dibawah kepimpinan Tjokroaminoto dan geraknya yang lebih fokus pada bidang sosial dan politik membuat Pemerintah Kolonial gerah. Beberapa sumber menyebut bahwa untuk menghadang dan menghancurkan SI, Pemerintah Kolonial sengaja membiarkannya disusupi  ideologi  komunisme melalui kader-kader muda SI.

Pada saat itu, tepatnya pada tahun 1914, Asosiasi Sosial Demokrat Hindia Belanda (Indische Sociaal Democratische Vereeniging/ISDV) telah lahir. Melalui asosiasi yang merupakan “leluhur” Partai Komunis Indonesia (PKI) ini ajaran Marxisme-Leninisme menyebar di Hindia Belanda. Salah satu pemuda yang tertarik dengan gagasan komunisme adalah Semaun, seorang anggota SI cabang Surabaya.

Pada tahun 1915, Semaun terdaftar sebagai anggota ISDV. Tiga tahun berikutnya, ia menjadi ketua SI Semarang. Berada di pucuk pimpinan, membuat Semaun makin “memerahkan” SI. Hal ini memantik konflik dengan Tjokroaminoto.

Organisasi ini, yang merupakan ormas terbesar di Hindia Belanda pada masa itu, pecah. Pendukung Semaun disebut sebagai SI Merah yang cenderung berhaluan komunis. Sementara pendukung Tjokroaminoto disebut SI Putih. 

Pada 23 mei 1920, Semaun mengganti nama ISDV menjadi Partai Komunis Hindia (PKH). Ia menjadi lantas menjadi ketuanya. Anggota SI yang termasuk SI Merah sebagian besar menjadi anggota dan pejabat PKH. Kemudian setahun berikutnya, PKH berubah menjadi PKI. Penyematan nama “Indonesia” sebagai nama suatu lembaga oleh PKI adalah yang pertama dilakukan di Hindia Belanda.

Melihat pergerakan Semaun yang telah lebih dulu “mem-partai-kan diri”, Tjorkoaminoto tak mau tertingal. Kecuali itu, arah pergerakan SI yang makin politis demi memperjuangkan kemerdekaan, juga menyebabkan SI berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) dan kemudian menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).  

Pada masa keemasannya, SI merupakan ormas terbesar di Hindia Belanda. Kardiyat Wiharyanto dalam Perkembangan Nasionalisme di Asia Tenggara menulis, pada tahun 1919 anggota SI mencapai 2,5 juta orang. Mengingat embrionya sebagai ormas kemanan lokal Laweyan, pencapaian ini tentu sangat luar biasa.

Terlepas dari perdebatan tanggal lahir SDI, semangat kemandirian dan kesetaraan ekonomi yang melatarbelakangi kelahirannya masih relevan hingga zaman kini, meski telah seabad lebih berlalu. [ ]

Back to top button