Barat Menjadikannya ‘Dewi’, Waktu Mengubahnya Menjadi Pengkhianat Nurani
Tahun 2013, setelah dibebaskan dari tahanan rumah, Aung San Suu Kyi — peraih Nobel Perdamaian — dipuji parlemen Inggris sebagai hati nurani untuk negara dan pahlawan kemanusiaan.
Dua tahun kemudian, Aung San Suu Kyi dan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) larut dalam suka cita menang pemilu, dan Barat memujinya sebagai Nelson Mandela dari Asia.
Pekan ini, Suu Kyi muncul di Pengadilan Internasional Den Haag hanya untuk melukai hati nurani umat manusia. Ia menyangkal genosida terhadap Muslim Rohingya, dan melakukan genosida terselubung dengan tidak menyebut Rohingya sebagai etnis.
Bukan kali pertama Suu Kyi bikin kecewa. Tahun 2012, ketika pembantaian dan pengusiran skala besar kali pertama terjadi, Suu Kyi — putri Jenderal Aung San, pahlawan kemerdekaan Burma — diam seribu bahasa.
Tiga tahun kemudian, ketika aktivis hak asasi Muslim Rohingya mendesaknya untuk menyuarakan nasib Muslim Rohingya, Suu Kyi melakukan sesuatu tak terduga; menyingkirkan semua anggota NLD beragama Islam dari partainya.
Ia mencoret 1.151 kandidat NLD yang beragama Islam — tidak hanya etnis Rohingya — untuk pemilu regional dan nasional. Penyebabnya, tekanan Ma Ba Tha — kelompok Buddha radikal ekstrem — membuat Suu Kyi ketakutan luar biasa.
“Kami yakin Suu Kyi ketakutan dan tak punya pilihan selain menyingkirkan seluruh Muslim, tidak hanya Muslim Rohingya, dari partainya,” kata sumber di Myanmar seperti dikutip Al Jazeera.
Win Htein, anggota senior NLD, mengatakan Aung San Suu Kyi memutuskan untuk meninggalkan Muslim untuk meraih kesempatan memenangkan pemilu. “Kami percaya adalah lebih baik menyingkirkan Muslim demi memenangkan pemilu,” kata Htein saat itu.
Htein mengklaim seluruh Muslim yang menjadi kandidat, bukan hanya Rohingya, setuju ditinggalkan. Terlebih 700 ribu Muslim Rohingya tidak terdaftar dalam pemilu, karena tidak dianggap sebagai warga negara.
Melapas Muslim secara menyeluruh membuat Ma Ba Tha menghentikan serangan, bahkan berbalik berkampanye untuk NLD, dan Aung San Suu Kyi memenangkan pemilu.
Francis Wade, dalam Myanmar’s Enemy Within: Buddhist Violence and the Making of a Muslim Other, mencium sikap buruk Suu Kyi terhadap Muslim sejak lama. Suu Kyi, tulis Wade, seorang elit Bamar dan menerima manfaat dari hirarki etnis.
Bamar atau Burma adalah etnis tertinggi dalam hirarki masyarakat Myanmar, diwariskan kekuasaan oleh kolonialis Inggris, dan selalu berasa berhak berkuasa. Situasi yang sebenarnya coba diakhiri oleh rejim militer, dengan mengganti nama Burma menjadi Myanmar.
Rohingya tidak termasuk dalam hirarki etnis, tapi elit Bamar menerima manfaat dari orang Rohingya yang mendekat kepada mereka untuk berlindung.
Tahun 2013, setelah dibebaskan dari tahanan rumah, Suu Kyi — dalam sebuah wawancara — mengatakan; umat Buddha di Rakhine hidup dalam ketakutan akan kekuatan Muslim global. Sebuah pernyataan yang membenarkan pembantaian Muslim Rohingya oleh warga sipil dan militer Myanmar.
Kritik lain terhadap Suu Kyi, dan tak pernah muncul ke permukaan saat masih menjadi idola, adalah dia megalomania dan cenderung otoriter. NLD berjalan menurut kehendaknya, bukan kehendak bersama.
Ia mampu berjuang untuk demokrasi secara penuh, dan mendepak militer dari kekuasaan. Itu tidak dilakukannya, karena seorang Aung San Suu Kyi juta figur otoriter.
Tahun 2007, dalam pembicaraan telepon dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Suu Kyi mengatakan; gunung es kesalahan informasi tentang krisis Rohingya sedang didistribusikan untuk memberi manfaat kepada teroris.”
Myanmar, lanjut Suu Kyi, sedang berjuang untuk memastikan terorisme tidak menyebar ke seluruh negara bagian Rakhine.
Bill Richardson, manan dubes AS untuk PBB dan mengenal Suu Kyi selama 30 tahun, mengatakan; “Dia telah berubah. Sayangnya, dia berubah menjadi politisi yang takut kepada militer dan takut membuat keputusan sulit untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan terburuk dalam sejarah.”
Aung San Suu Kyi mungkin bukan orang yang ditakdirkan menjadi pahlawan kemanusiaan. Barat, terutama Inggris, yang menjadikannya The Saint atau Sang Dewi, dan waktu menjadikannya pengkhianat nurani kemanusiaan.
Lalu, bagaimana mungkin Nobel Perdamaian digenggam tangan berlumur darah.