Hampir Setengah Orang Cina di Australia Membenci Demokrasi
Menyoroti sistem politik Cina dari sudut pandang yang berbeda, dibandingkan dengan penanganan COVID-19, 43 persen responden “lebih menyukai” sistem pemerintahan Cina. Hasil survei menunjukkan, tingkat sosialisasi politik imigran Cina kontemporer di Australia memiliki keterbatasan.
JERNIH– Ada yang mengejutkan dalam peluncuran survei “Being Chinese in Australia: Public Opinion in Chinese Communities” oleh Lowy Institute baru-baru ini. Berdasarkan salah satu survei terbesar atas komunitas Cina -Australia yang pernah dilakukan, menunjukkan bahwa peristiwa tahun lalu (terutama COVID-19 dan keadaan yang memperburuk hubungan Australia-Cina) telah memengaruhi kehidupan sehari-hari orang Cina-Australia.
Dalam survei tersebut responden ditanyai tentang sikap mereka terhadap berbagai masalah kehidupan di Australia, termasuk pengalaman diskriminasi, hubungan Australia dengan Cina, pandangan tentang pengaruh asing, penggunaan media, dan banyak lagi tema lainnya. Namun, satu poin data yang tampaknya menarik perhatian adalah preferensi sistem pemerintahan. “Penting untuk menempatkan diskusi ini ke dalam konteks yang lebih besar,” tulis The Interpreter.
Upaya kontekstualisasi hasil (di mana sepertiga orang Cina -Australia mengatakan demokrasi lebih disukai daripada jenis pemerintahan lainnya), penting untuk dicatat bahwa hampir setengah dari semua orang Cina-Australia merasa Australia secara keseluruhan adalah tempat yang sangat baik untuk hidup.
Meskipun 54 persen dari semua responden “kadang-kadang” mengikuti berita tentang politik dan pemerintahan Australia, ketika ditanya tentang preferensi mereka untuk demokrasi, 41 persen responden memilih “dalam beberapa keadaan, pemerintahan non-demokratis lebih disukai”.
Walau Australia dan Cina mencapai skor agregat yang sama (menggabungkan “sangat banyak” dan “agak”) terkait dengan kepercayaan responden di negara-negara ini untuk bertindak secara bertanggung jawab di dunia, masing-masing 74 persen dan 72 persen. Ada 50 persen responden “agak” mempercayai Cina, lebih tinggi dari empat negara demokrasi yang tercantum dalam pertanyaan.
Menyoroti sistem politik Cina dari sudut pandang yang berbeda, dibandingkan dengan penanganan COVID-19, 43 persen responden “lebih menyukai” sistem pemerintahan Cina. Hasil survei menunjukkan, tingkat sosialisasi politik imigran Cina kontemporer di Australia memiliki keterbatasan.
Dengan kata lain, mereka yang telah meninggalkan rezim otoriter untuk menetap dalam demokrasi yang stabil, tidak selalu menganggap demokrasi sebagai satu-satunya pilihan. Preferensi yang ditunjukkan bukanlah akhir dari cerita.
Hasil survei sesuai dengan penelitian akademis yang ada, melihat bagaimana pengalaman sosialisasi imigran otoriter sebelum migrasi memengaruhi adaptasi mereka terhadap demokrasi. Namun, penting untuk dicatat, pembelajaran politik seorang imigran tidak berhenti, juga tidak mencegah keterlibatan aktif dengan proses demokrasi atau ekspresi suara politik mereka.
Selain itu, mereka yang berasal dari sistem otoriter, aktif dalam mengekspresikan suara politik mereka melalui saluran pemilu, “setidaknya sebanyak penduduk kelahiran Australia dan imigran lainnya”, tulis The Interpreter lebih lanjut.
Memanfaatkan data Studi Pemilu Australia 2013, Jill Sheppard dan rekannya menemukan warga Australia kelahiran Cina (dibandingkan dengan semua migran lainnya) memiliki tingkat partisipasi politik yang lebih tinggi. Konteks ini memberi tahu kita, orang Cina-Australia (pada kenyataannya, imigran dari negara-negara non-demokratis secara umum) melanjutkan pembelajaran politik mereka. Dalam kasus orang Cina-Australia, berusaha untuk memproyeksikan suara politik mereka setelah menetap di Australia.
Meskipun sosialisasi awal adalah poin penting untuk dipertimbangkan terkait persepsi responden survei tentang sistem otoriter Cina, sumber informasi dan berita mungkin sama pentingnya dalam memperkuat dukungan individu untuk demokrasi.
Survei tersebut menunjukkan, penggunaan media sosial (khususnya WeChat, platform media sosial multiguna paling populer di Cina), merupakan sumber penting berita berbahasa Inggris dan Mandarin. Namun, 84 persen responden menggunakan WeChat secara teratur untuk mendapatkan berita berbahasa Mandarin, dibandingkan dengan 64 persen untuk berita berbahasa Inggris.
Media berbahasa Mandarin yang berbasis di Cina juga merupakan sumber berita dan informasi yang signifikan bagi para responden, catat The Interpreter. Temuan ini menunjukkan, sumber berita yang berasal dari WeChat (penyensoran secara rutin terjadi jika tidak sejalan dengan pandangan Partai Komunis Cina), meskipun tersedia dan digunakan secara global, cenderung membentuk persepsi responden tentang demokrasi.
Meskipun berada di luar cakupan survei, keadaan media berbahasa Mandarin di Australia kekurangan konten yang diproduksi secara lokal, dan jarang menawarkan perspektif Cina-Australia, sehingga memengaruhi kehidupan dan pilihan para migran.
Oleh karena itu, konteks sangat penting. Laporan tersebut menyoroti keragaman pengalaman orang Cina-Australia, serta pandangan mereka tentang hubungan Australia-Cina, sistem pemerintahan, diskriminasi, sikap terhadap kehidupan di Australia, kebiasaan media, dan masalah lainnya.
Namun, kata The Interpreter, dalam lanskap bermuatan politik di sekitar hubungan bilateral ini, kehati-hatian dan nuansa sangat penting. Tanpanya, kita jatuh ke dalam wilayah berbahaya yang mengipasi bara sentimen anti-Cina. [The Interpreter]