Spiritus

Catatan Menjelang Buka (11) : Mata

Shaum, haqul yaqin, adalah jawaban paling tepat. Shaum bukan untuk penangkal, tapi untuk mengalihkan. Shaum mengalihkan hasrat untuk ingin selalu ditonton dan menonton “yang profan” ke keinginan untuk senantiasa ditonton dan menonton “Yang Baqa”. Shaum bukan untuk menahan lapar, tapi untuk mengalihkan lapar duniawi ke lapar ukhrawi

Oleh   : Acep Iwan Saidi*

JERNIH– Hari ke-11, shaum kita Insya Allah kian bernas. Dan agar semakin cergas, ada baiknya dibahas salah satu organ pada tubuh kita yang fungsinya paling strategis, yaitu mata.  Mengapa posisi mata strategis? Jika tubuh kita rumah, mata adalah pintunya.

Acep Iwan Saidi

Sebagai pintu, mata menjadi pengantara bagi keluar masuknya informasi. Melalui mata kita mengeluarkan informasi tentang  apapun yang terjadi dalam diri kita. Kamu marah, sedih, bahagia, kecewa, dan lain-lain, semua kamu informasikan melalui matamu, bukan? Jika matamu merah menyala, itu tanda kamu sedang marah; tapi jika merahnya sembab akibat terlalu banyak keluar air, itu indeks bahwa kamu sedang sangat berduka.

Jika matamu menyinar berpendar-pendar bisa dipastikan kamu sedang bahagia; tapi jika sinarnya jelalatan, siapapun boleh menduga bahwa kamu buaya. Mata menjadi semacam layar tempat orang menonton siapa dirimu.

Berbanding terbalik dengan itu, sebagai pintu, mata sangat piawai memasukkan informasi dari luar. Pendek kata, kita memahami dunia, mula-mula melalui mata. Dalam teori citra, proses pemahaman tentang dunia dilakukan mata melalui kerja sama dengan otak. Itu mengapa citra didefinisikan sebagai inpuls cahaya yang jatuh pada kornea  lantas ditransmisikan ke otak untuk diubah menjadi gugusan makna.

Sebab mata bekerja sama dengan otak (juga rasa), apa yang dilihat identik dengan apa yang dipikirkan, demikian kata John Berger dalam bukunya, “Way of Seeing”. Contoh: karena kata neraka (naar) itu definisinya (makna leksikal) adalah api, maka kita melihat (mengimajinasikan) neraka sebagai gumpalan api yang diketahui dalam pengetahuan kita di dunia. Padahal, hanya Allah saja yang tahu wujud sesungguhnya. Contoh lain: karena kita telah berpikir buruk tentang seseorang, apa pun yang dilakukan orang tersebut selalu jelek. Begitu seterusnya. Bersama pikiran (dan perasaan), mata mendefinisikan realitas, merumuskan dunia.

Nah, kini kita sedang berada dalam abad mata. Di abad demikian, kita menjadi makhluk yang suka menonton dus suka ditonton. Tentang suka menonton, tidak perlu dibahas di sini. Akan sangat panjang. Waktu berbuka tinggal beberapa menit lagi. Di sini  kita singgung ikhwal suka ditonton saja. Tentu ini pun cuma bisa sedikit.

Begini. Coba periksa pakaian yang kamu kenakan hari ini. Untuk apa kamu memakai baju? Tentu saja banyak jawaban normatif dan konvesional. Kita lewat saja jawaban jenis itu. Tengoklah sejenak jawaban lain. Kita berpakaian, disadari atau tidak, karena kita berada dalam komunitas tonton-menonton.

Saat membuka lemari tadi pagi, kamu memilih baju koko putih, bukan T-Shirt hitam, misalnya. Itu karena ini bulan Ramadhan. Ada semacam citra tertentu yang hendak kamu kirim ke dalam “layar Ramadhan” sehingga layar itu mendefinisikan kamu sebagai “yang sedang shaum”. Demikian kamu juga memakai gaun atau kacamata hitam ketika melayad kerabat yang meninggal. Jadi, apa yang kita pakai, disadari atau tidak, bersinggungan dengan apa yang kita inginkan dari orang lain, tentang bagaimana mereka memandang kita.

Lebih jauh, abad mata faktanya bukan hanya membetot kita untuk menjadi makhluk yang senang ditonton, tapi merasa terus-menerus diperhatikan. Merujuk kepada Michel Foucault, abad mata menempatkan kita berada di bawah  Panapticon, sebuah menara pengintai. Di bawah pengawasan sedemikian kita menjadi cemas: cemas dikatakan anu jika tidak anu, cemas disebut nggak modis, nggak modern, nggak update, dan seterusnya. Akibatnya, kita jadi merasa harus terus-menerus menyesuaikan diri dengan situasi.

Repotnya, kita menganggap semua itu menjadi semacam kebiasaan. Sesuatu yang seolah-olah seharusnya begitu. Tidak ada masalah. Diam-diam kita pun menikmatinya. Dan itulah sesungguhnya puncak bahayanya. Merasa tidak memiliki masalah adalah masalah besar.

Lantas, harus bagaimana, apa yang mesti dilakukan? Para pemikir kritis macam Adorno boleh kewalahan dan frustrasi mencari jawaban. Fukuyama boleh bilang sejarah sudah selesai. Tapi, kita tidak. Shaum, Shaum, dan Shaum, haqul yaqin, adalah jawaban paling tepat. Shaum bukan untuk penangkal, tapi untuk mengalihkan. Shaum mengalihkan hasrat untuk ingin selalu ditonton dan menonton “yang profan” ke keinginan untuk senantiasa ditonton dan menonton “Yang Baqa”. Shaum bukan untuk menahan lapar, tapi untuk mengalihkan lapar duniawi ke lapar ukhrawi.

Ah, baiklah kita alihkan kembali pandangan mata ke menu di meja. Tentu sudah disiapkan segala macam hidangan, bukan? Barangkali semuanya kita kumpulkan di meja karena panggilan mata, mungkin juga mata yang lapar, mata dunia. Bukankah tengah hari tadi es campur itu menggiurkan? Baiklah. Kini mari kita tatap semuanya dengan mata yang lain, “mata yang shaum”. Semoga kamu melihat Tuhan di mejamu. Selamat berbuka! [  ]

*Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD-ITB

Back to top button