Guru Besar UI Beberkan Tingkatan Puasa, dari Biasa hingga Puasa Super Khusus
“Puasa yang bermutu adalah yang seperti itu (tingkatan kedua). Menahan diri dari berbicara bohong, mengadu domba, saling fitnah. Seluruh anggota tubuh berpuasa dan menjauhi keburukan”
Jakarta – Sejatinya puasa dapat dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, puasa orang awam atau puasa orang biasa, dimana hanya meninggalkan makan dan minum. Kedua, puasa khusus. Yaitu puasa yang bukan hanya melulu menahan diri dari makan dan minum tetapi seluruh anggota badan menahan diri dari hal-hal yang tidak pantas dikerjakan.
Demikian dikatakan Guru Besar bidang Psikologi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Achmad Mubarok, di Jakarta, Sabtu (24/4/2021).
“Puasa yang bermutu adalah yang seperti itu (tingkatan kedua). Menahan diri dari berbicara bohong, mengadu domba, saling fitnah. Seluruh anggota tubuh berpuasa dan menjauhi keburukan,” ujarnya.
”Dan jarang yang berpuasa berkualitas seperti ini. Dan puasa seperti inilah yang berpengaruh kepada pembentukan karakter manusia,” Achmad Mubarok melanjutkan.
Ketiga, puasa super khusus, yang mana ini adalah puasa tertinggi. Bukan hanya anggota badan yang menahan diri namun hati pun juga ikut berpuasa dari ingatan selain Allah.
”Yang ada ingat kepada Tuhan, menyebut nama Tuhan dan ini jarang sekali ada orang yang bisa berpuasa seperti ini. Jadi kalau untuk masyarakat saya kira yang bisa diterapkan itu puasa yang kedua,” katanya.
Selain itu, di era Teknologi Informasi (IT) hal ini juga menimbulkan kerusakan budaya yang luar biasa di masyarakat. Sampai suatu saat nanti akan ada muncul era wisdom.
”Era wisdom itu nanti ketika orang sudah sangat muak kepada keburukan, muak kepada kebohongan, muak kepada hoaks. Itu nanti akan muncul era wisdom, tapi itu masih akan lama. Karena sekarang orang masih menikmati era IT,” kata dia.
Menurut dia, manusia sesungguhnya tidak suka kepada keburukan, tetapi daya tarik keburukan lebih kuat dibanding daya tarik kebaikan. Sehingga, kalau ada daya tarik keburukan dan kebaikan dalam satu panggung, yang menang adalah yang buruk.
”Jadi ketika media dengan bebasnya menceritakan apa saja yang terjadi, maka keburukanlah yang dominan diikuti oleh masyarakat, kebaikan tidak diikuti. Meskipun seseorang sesungguhnya suka kepada kebaikan. Itu psikologinya begitu,” ujarnya.