Solilokui

Taman Mini, Dulu, Kini, dan Nanti

Kedua, di tengah derasnya kecenderungan berpikir untuk menangguk keuntungan sebesar-besarnya, dibutuhkan kesadaran kolektif bahwa TMII tidak didirikan sebagai mesin pengeruk uang. Siapa pun, sepatutnya dapat mempertahankan reputasi TMII sebagai pilihan wisata utama bagi keluarga Indonesia. Pembaruan yang mencabut TMII dari akarnya itu seyogianya tidak akan pernah terjadi. 

Oleh  :  Seto Mulyadi*

JERNIH– Taman Mini Indonesia Indah (TMII) memang penuh nilai sentimentil. Gagasan Ibu Tien Soeharto untuk menyajikan seluruh Nusantara dalam jangkauan selemparan batu itu, benar-benar cemerlang.

Ide gemilang itu mirip dengan impian Bung Karno, untuk menyajikan gelora simbolik nasionalisme, melalui sebuah menara megah yang kemudian diberi nama Monumen Nasional. TMII juga bermanfaat besar bagi berjuta anak dan keluarga Indonesia.

Seto Mulyadi

Lelah dengan buku teks, beragam pelajaran tentang keindonesiaan dapat diperoleh secara multi-indrawi di TMII. Karena ilmu psikologi yakin akan keunggulan metode belajar multisensori, pengalaman multisensasi di TMII pun akan bersemayam lebih indah, dan mantap, dalam kenangan kolektif para pengunjungnya. Inilah proses belajar terbaik yang dapat dilakukan anak-anak kita.

TMII kini menghangat lagi. Seingat saya, TMII pernah ramai diberitakan saat mahasiswa menentang rencana pembangunan TMII. Biaya miliar rupiah untuk masa itu memang tergolong tinggi, dan itu dianggap sebagai penghambur-hamburan uang. Protes itu memang masuk akal. Tahun 1972, Indonesia baru saja bersungguh-sungguh menggerakkan roda ekonominya. Jadi, masuk akal ketika Pak Harto didesak agar memprioritaskan program-program pembangunan yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat.

Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pandangan tentang keistimewaan TMII yang sepatutnya tetap dapat dilestarikan pihak yang paling cakap untuk mengelolanya. Saya pernah dilibatkan Ibu Tien untuk ikut meracik dan mewujudkan rencana-rencana pengembangan TMII.

Seluruh rencana itu diletakkan pada kerangka kerja, bahwa TMII harus memfasilitasi proses belajar anak melalui tiga ruang interaksi. Yaitu antara anak dengan sesama, sebaya, dan orang dewasa, antara anak dan teknologi, serta antara anak dan lingkungan. Sebenarnya, dari sesi-sesi diskusi bersama Bu Tien, dan para perintis TMII lainnya, saya menangkap ada satu ruang interaksi lagi yang ingin diciptakan, yaitu antara anak dengan Tuhan yang Menguasai Langit dan Bumi.

Sampai di situ, terbit kekaguman saya. Tiga ruang interaksi terdahulu dapat disebut sebagai cetakan baku tentang bagaimana iklim belajar luar ruang yang sepatutnya diadakan. Sementara, pada ruang interaksi keempat, terasa betul betapa keluhuran hati turut melandasi angan segenap pendiri dan pengembang TMII. Beliau seolah menegaskan, bahwa, di atas segala kekayaan bangsa ini ada Tuhan yang Mahakuasa. Seluruh produk karsa, rasa, dan karya bertitik mula dari Zat yang Maha Mencipta.

TMII memang diadakan bagi semua. Anak-anak Indonesia menempati kedudukan sangat istimewa. Apresiasi bagi anak Indonesia itu dituangkan khusus melalui pendirian Istana Anak-Anak Indonesia. Saya ingat momen tatkala memenuhi undangan Ibu Tien agar datang ke Cendana. Pertemuan itu semata-mata untuk membahas ide saya tentang pembangunan Istana Anak-Anak Indonesia (IAAI).

Ibu Tien langsung menerima gagasan saya dan berharap agar ide itu dapat terealisasikan secepatnya. Konsep yang ditekankan ialah istana ini merefleksikan keseimbangan antara dunia bermain dan dunia belajar anak-anak. Ibu Tien lalu mengutus saya ke sejumlah negara untuk studi banding.

Hasilnya, pada tanggal 20 April 1986 ditandatangani prasasti peresmian IAAI. Bukan oleh menteri. Juga bukan oleh Bu Tien. Namun oleh Presiden Soeharto sendiri! Inilah cerminan kecintaan, penghormatan, sekaligus harapan tinggi dari orang nomor satu di Republik ini saat itu kepada para pemilik masa depan.

Revitalisasi

Di salah satu ruangan IAAI, dipajang berbagai bentuk permainan tradisional. Display sedemikian rupa tak lagi menarik bagi pelancong. Ruangan itu berikut isinya sebatas mengingatkan pengunjung tentang suatu masa ketika anak-anak Indonesia tidak takut hujan, tidak takut kotor bermain di tanah lapang.

Kini, agar suasana IAAI kembali semarak, kompleks tersebut memerlukan revitalisasi. Satu usulan revitalisasi yang sedang saya rancang ialah menjadikan IAAI sebagai ruang display tokoh-tokoh yang memiliki sumbangsih besar bagi anak-anak Indonesia. Sejumlah nama layak mengisi ruangan itu. Misalnya Bu Soed, Pak Kasur dan Bu Kasur, serta Pak Tino Sidin.

Pak Habibie, penginspirasi besar bagi generasi muda untuk menjadi jago-jago teknologi, pun punya nilai istimewa. Begitu pula Pak SBY, pelopor pembentukan kementerian perlindungan anak, Ibu Megawati yang mendorong lahirnya Undang-undang Perlindung­an Anak. Juga Adi Bing Slamet dan Chicha Koeswoyo dari kelompok penyanyi cilik.

Kehadiran mereka dapat diwujudkan melalui pameran karya dan benda koleksi pribadi yang menemani tokoh-tokoh tadi saat berkiprah di dunia masing-masing. Penyajian berbasis multimedia niscaya memberikan nilai tambah. Sebagaimana riset yang menyimpulkan bahwa pameran berformat multimedia lebih bermanfaat bagi dimensi kognitif dan non-kognitif anak-anak. Antara lain, sikap dan motivasi belajar mereka menjadi lebih positif, penyerapan ilmu pengetahuan berlangsung lebih baik, dan penguatan pembentukan keterampilan.

Tulisan ini ingin saya tutup dengan dua aspirasi. Pertama, sungguh bijak andai noktah historis Ibu Tien tidak dihapus dari TMII. Sosok Ibu Tien patut dikukuhkan kehadirannya di TMII. Ini bukan pengultusan, melainkan pandangan objektif bahwa beliau memang memiliki jasa besar di sana. Sebagai bangsa besar dengan peradaban yang tinggi, semua patut berbesar jiwa pula menerima kenyataan itu.

Kedua, di tengah derasnya kecenderungan berpikir untuk menangguk keuntungan sebesar-besarnya, dibutuhkan kesadaran kolektif bahwa TMII tidak didirikan sebagai mesin pengeruk uang. Siapa pun, sepatutnya dapat mempertahankan reputasi TMII sebagai pilihan wisata utama bagi keluarga Indonesia. Pembaruan yang mencabut TMII dari akarnya itu seyogianya tidak akan pernah terjadi.  Semoga. [ ]

* Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

Back to top button