- 5.116 tentara AS bunuh diri dalam tugas.
- Lainnya bunuh diri setelah berstatus veteran.
- Tingkat bunuh diri yang melampaui populasi umum.
- Angka bunuh diri menjadi lebih tinggi jika kecelakaan dalam tugas yang dicurigai tindakan bunuh diri juga dihitung.
- Penyebab bunuh diri beragam, tapi semua prajurit tahu publik AS tak mendukung Perang Melawan Teror
JERNIH — Perang yang dilancarkan AS pasca 9/11, atau setelah teroris menghancurkan menara kembar World Trade Ceter (WTC) New York 2001, hanya menghasilkan lonjakan kasus bunuh diri di kalangan personel militer, demikian laporan hasil studi Brown University, Rhode Island.
Berdasarkan data Departemen Pertahanan, Kementerian Veteran AS (VA), dan sumber-sumber sekunder, peneliti menemukan jumlah tentara yang bunuh diri empat kali lebih banyak dibanding yang tewas dalam pertempuran.
Laporan yang diberi judul Brown University’s Costs of War Project itu memberi wawasan baru tentang apa yang disebut banyak orang sebagai epidemi bunuh di kalangan militer AS.
Sejak Presiden George W Bush meluncurkan Perang Melawan Teror tahun 2001, sebanyak 7.057 tentara tewas dalam operasi militer. Selama periode yang sama, diperkirakan 5.116 personel tugas aktif meninggal karena bunuh diri.
Rincinya, antara 2001-2020 sebanyak 1.193 anggota layanan Garda Nasional dan 1.607 anggota layanan komponen Cadangan juga bunuh diri. Korban tewas bunuh diri di antara veteran perang secara konservatif diperkirakan mencapai 22.261.
Jadi, jumlah keseluruhan kasus bunuh diri 30.177, atau empat kali lebih tinggi dibanding jumlah prajurit yang tewas dalam pertempuran.
Namun, perkiraan jumlah kasus bunuh diri ini minimum karena, menurut laporan itu, tidak ada data statistik tersedia untuk kematian tentara cadangan dan Garda Nasional sebelum 2011.
Selain itu, statistik tidak harus mencakup setiap bunuh diri, karena dalam beberapa kasus atribusi mungkin sulit. Kematian akibat overdosis, insiden salah tembak, atau mungkin kecelakaan tunggal,tidak secara meyakinkan terkait dengan tindakan bunuh diri.
Meski demikian, tingkat bunuh diri yang tercatat di antara anggota dinas aktif dan veteran melonjak, dan secara signifikan melampaui populasi umum.
Angka-angka ini bertentangan dengan tren sejarah. Personel tugas aktif biasanya memiliki tingkat bunuh diri lebih rendah dari masyarkat umum, dan lebih rendah selama perang di setiap konflik sebelum Perang Vietnam.
Menariknya, bunuh diri di kalangan militer juga terus meningkat, bahkans setelah jumlah kematian pertempuran menurun tajam setelah 2007.
Tidak Ada Penyebab Tunggal
Studi juga mengemukakan tidak ada penyebab tunggal lonjakan bunuh diri. Studi hanya menguraikan sejumlah faktor yang tampaknya mendorong tentara mengakhiri hidupnya.
Beberapa di antaranya adalah masalah yang dihadapi anggota konflik bersenjata; paparan trauma fisik dan moral, stress dan kelelahan, budaya militer yang mengharuskan tentara tegar dan menyembunyikan apa yang dianggap sebagai kelemahan, serta kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan sipil.
Faktor-faktor lain, yang khusus untuk jenis perang yang dilakukan AS selama dua dekade terakhir, adalah penggunaan alat peledak improvisasi terhadap pasukan AS menyebabkan peningkatan cedera otak traumatis dan polytrauma.
Pada saat sama, kemajuan ilmu kedokteran dan lama perang memungkinkan tentara untuk hidup dan bertarung di hari lain. Bahkan, mereka harus berurusan dengan rasa sakit kronis dan masalah cedera sebelumnya.
Misal, sepertiga dari tentara terluka akan kembali ke bertugas setidaknya satu penempatan lagi.
Trauma Seksual
Ada juga trauma seksual yang dialami anggota militer, bahkan ketika bertugas di medan perang mana pun. Pengalaman traumatis atau ancaman serangan seksual mempengaruhi 23 persen wanita di militer, demikian studi itu.
Jumlah tersebut kemungkinan kecil, karena sebagian besar insiden tidak dilaporkan dengan berbagai alasan. Pertama, acaman pembalasan dan kecenderungan militer untuk meminimalkannya. Pelecehan seksual juga dialami 55 persen wanita dan 38 persen pria.
Faktor lain, yang juga tidak kalah penting, adalah sebagian besar publik AS tidak peduli dengan perang pasca 9/11 dan tentara yang berperang sangat menyadari ini serta sering berbagi sikap.
Menurut jajak pendaat 2018, hampir 60 persen veteran tidak berpikir AS memiliki tujuan strategis yang jelas di Afghanistan. Bakan mereka lebih percaya perng belum berhasil.
Jajak pendapat lainny, juga pada tahun yang sama, menunjukan sekitar 42 persen pemilik AS tidak menyadari konflik di Timur Tengah atau yakin Perang Melawan Teror telah berakhir.