- Uni Soviet membentuk pemerintahan boneka dan melatih pasukan.
- Setelah Uni Soviet keluar, pasukan pemerintah Afghanistan mampu menahan serangan Mujahidin selama dua tahun.
- AS datang dan membentuk pemerintahan dan tentara Afghanistan. AS keluar, pasukan Afghanistan tak mampu menahan Taliban.
- Siapa yang mempersenjatai dan memberi makan Taliban? John Sopko, pejabat auditor AS, mengatakan; “Ya AS.”
- Ujung rantai pasokan uang AS ke Afghanistan adalah Taliban.
JERNIH — Ketika orang terakhir dari garnisun AS mengangkat ransel meninggalkan Afghanistan, ingatan dunia akan melompat ke belakang; ke masa ketika Uni Soviet hengkang dari negara itu lebih 30 tahun lalu.
Namun, kekalahan AS di Afghanistan jauh lebih besar dan buruk.
Desember 1979, Uni Soviet menyerbu Afghanistan untuk mendukung pemerintahan Partai Demokratik Rakyat Afghanistan (PDPA) yang berkuasa. Tak lama kemudian setiap tentara Uni Soviet menemukan diri terjebak dalam perang berdarah melawan gerilyawan Muhahiddin.
Sembilan tahun kemudian Uni Soviet memutuskan keluar. Kontingen terakhir pasukan Uni Soviet melintasi jembatan yang menghubungan kedua negara tahun berikutnya.
Dua belas tahun kemudian pasukan AS tiba untuk memerangi Taliban. AS tidak sendiri, tapi menarik sekutunya di NATO untuk terlibat.
Mereka tinggal lebih lama di Afghanistan dengan harapan tak bernasib seperti Uni Soviet. Kini, setelah 20 tahun, AS dan sekutunya keluar.
Presiden Joe Biden berjanji seluruh pasukan AS akan meninggalkan Afghanistan akhir Agustus 2021. Saat AS mulai menarik diri, lawannya — yang 20 tahun tak pernah bisa dikalahkan — sedang berbaris.
Dalam sepekan, 12 dari 34 kota di Afghanistan, direbut. Terakhir, Taliban merebut Kandahar, kota terbesar kedua. Herat, kota berikutnya, jatuh pada Kamis.
Di beberapa kota, Taliban masuk tanpa perlawanan. Pasukan pemerintah Afghanistan yang dilatih AS seolah enggan bertempur.
Gubernur Propinsi Ghazni menyerahkan kota begitu saja dengan imbalan jalan bebas hambatan meninggalkan kota.
AS seolah tak pernah belajar dari kesalahan di Vietnam, ketika Tentara Republik Vietnam (Selatan) yang dilatihnya tak berkutik menghadapi serangan VietCong dan Tentara Vietnam Utara.
Dalam beberapa kasus, tentara Afghanistan membelot ke Taliban. Semua itu terjadi saat AS belum benar-benar meninggalkan negeri itu.
Singkatnya, perang AS dan NATO di Afghanistan berakhir dengan kegagalan memalukan. Kekalahan mutlak.
Bagaimana kita mencatat semua ini. Sederhana saja, jangan gunakan frasa Perang Afghanistan, tapi Perang AS-NATO. Sama seperti yang dilakukan Vietnam, yang tak pernah menyebut Perang Vietnam tapi Perang AS. Sebab, menurut almarhum Jenderal Vo Nguyen Giap, AS yang memulai perang itu dengan memicu insiden Teluk Tonkin
Uni Soviet Masih Lebih Baik
Uni Soviet juga kalah di Afghanistan, tapi masih bisa bangga pada satu hal. Tentara Afghanistan yang dilatihnya masih mampu menahan serangan Mujahidin, dan bertahan dua tahun.
Serangan Mujahidin terjadi setelah pasukan terakhir Uni Soviet menyeberang Jembatan Persahabatan Uzbekistan-Afghanistan. Saat itu, Republik Uzbekistan masih bagian Uni Soviet.
Mujahidin yakin mampu mengalahkan tentara Afghanistan yang dilatih Uni Soviet dalam waktu singkat. Yang terjadi adalah tidak satu kota pun direbut Mujahidin dalam tahun pertama sejak kepergian Uni Soviet.
Uni Soviet runtuh 1991. Tanggung jawab penyaluran dana bantuan ke Afghanistan dibebankan kepada Republik Federasi Rusia. Boris Yeltsin, presiden Rusia saat itu, memotong dana ke Afghanistan. Tak lama kemudian rejim bentukan Uni Soviet jatuh.
Moral Pasukan
Apakah Uni Soviet melatih tentara pemerintah boneka Afghanistan lebih baik, dan AS sangat buruk?
Paul Robinson, profesor di Universitas Ottawa, punya analisis menarik. Menurutnya, masalah bukan pada metode latihan dan banyaknya peti senapan, tapi moral.
Tentara Afghanistan saat ini lebih banyak dari jumlah Taliban. Mereka menerima pasokan senjata modern, dan dilatih oleh tentara berpengalaman. Namun, tentara Afghanistan menolak rela mati membela pemerintah mereka.
PDPA, pemerintahan Afghanistan bentukan Uni Soviet, punya reputasi korupsi, ketidakmampuan, pertikaian antarfaksi, kebijakan dogmatis, ideologi Marxis yang antiagama dan ditolak rakyat Afghanistan, dan antikapitalisme.
Mujahidin, pendahulu Taliban, menikmati dukungan senjata dan dana dari AS. Salah satu senjata yang terkenal saat itu adalah rudal Stinger.
Orang Afghanistan sebenarnya menghormati pemerintah saat ini, alias rejim bentukan AS, ketimbang PDPA bentukan Uni Soviet. Namun, terlalu lama AS dan NATO bercokol di Afghanistan membuat rakyat marah.
Mengapa pula AS dan NATO berlama-lama di Afghanisatan? Jawabannya, menurut Paul Robinson, adalah prestise. AS dan NATO melihat reputasi mereka berkaitan dengan kelangsungan pemerintahan Afghanistan bentukan mereka.
Jadi, AS dan NATO menolak meninggalkan apa yang telah dibangun, meski pemerintahan Afghanistan menjadi tidak layak didukung. Kekejaman pemerintah Afghanistan saat ini banyak disebabkan kebijakan yang diambil negara-negara Barat dan AS.
Taliban Kejam, Musuh Taliban Lebih Kejam
Setelah Najibullah — boneka terakhir Uni Soviet — digulingkan tahun 1992, Afghanistan terjerumus ke dalam perang saudara yang kejam. Para panglima perang yang menjalankan bisnis narkoba bersaing memperoleh kekuasaan, dan melakukan semua kekajaman pada rakyat Afghanistan.
Taliban datang menawarkan keadilan kejam tapi tidak dapat dikorupsi. Banyak orang Afghanistan menarik nafas lega dan memberi dukungan.
Jenderal Kanada Rick Hiller terkenal dengan pernyataan bahwa Taliban adalah pembunuh dan bajingan menjijikan. Namun, Hiller gagal memperhatikan bahwa musuh-musuh Taliban jauh lebih kejam.
Ketika AS dan sekutunya masuk ke Afghanistan, musuh-musuh Taliban pulang ke rumah masing-masing dan melanjutkan cara kriminal mereka pada rakyat Afghanistan. Jadi, jangan heran jika penduduk Afghanistan tidak terkesan.
AS dan Barat membanjiri Afghanistan dengan uang tanpa kontrol. Konsekuensinya, korupsi massal merjalela.
Koruspsi mendeligitimasi pemerintah Afghanistan. Seperti yang dikatakan John Sopko, pejabat yang bertanggung jawab mengaudit pengeluaran AS di Afghanistan, akhir dari rantai pasokan AS di Afghanistan adalah Taliban.
“Jika Anda ingin tahu siapa yang mempersenjatai dan membayar Taliban, jawabannya adalah Amerika Serikat,” kata Sopko.
Uni Soviet percaya ideologi dan tenaga kerja bisa mengubah gelombang perang. Barat membayangkan mereka bisa menang dengan mengucurkan uang dan sumber daya.
Padahal, mereka telah gagal di Vietnam ketika mengucurkan bantuan kepada rejim Presiden Ngo Dhin Diem, dan memperbaiki keadaan dengan membentuk pemerintah baru pimpinan Nguyen Van Thieu.
AS dan NATO lupa pada nasehat Napoleon Bonaparte, bahwa moral dan fisik adalah tiga berbading satu.