Antara Natal di Saudi Arabia dan Putra Mahkota Yang Kontroversial
Selain terkait kasus pembunuhan Jamal Kashoggi, Muhammad bin Salman juga tengah menghadapi tudingan sebagai salah satu pihak paling bertanggung jawab atas kematian ribuan warga sipil di Yaman. Sebab agresi militer yang dilancarkan Saudi Arabia pada 2015 lalu sebagai upaya melawan Houthi, diyakini berasal dari perintahnya sebagai Menteri Pertahanan sebelum disepakati sebagai pewaris tahta kerajaan
JERNIH- Segala hal yang tadinya tak mungkin, kini menjadi sangat mungkin dilakukan di Saudi Arabia. Jauh sebelum revolusi budaya, ketika Wahabi masih menjadi satu-satunya nafas ideologi kerajaan tersebut, apapun yang tak terkait dengan tradisi, jika dilakukan di sana sudah barang tentu dianggap sebagai penistaan. Polisi agama pun sudah sangat siap bertindak dan memenjarakan siapa saja yang dianggap melangar.
Saudi Arabia menjadi lebih liberal yang bagi sebagian rakyatnya, sangat toleran setelah Muhammad bin Salman, anak laki-laki Raja Salman diangkat sebagai Putra Mahkota Baru pada Rabu 21 Juni 2017 lalu.
Ketika disahkan sebagai pewaris tahta, usianya terbilang masih sangat muda. 31 tahun. Berkat keputusannya menggelar revolusi budaya di seluruh kerajaan, Muhammad menjadi idola baru bagi para muda-mudi.
Betapa tidak, peragaan busana, festival film bahkan perayaan Natal, sangat diperbolehkan digelar di seluruh wilayah kerajaan. Riyadh pun, sebagai wilayah pusat pemerintahan, mengubah wajahnya yang sebelumnya cenderung keras kepala, kini menjadi sangat toleran.
Keceriaan Natal, seperti diberitakan The Wall Street Journal, merayap di antero Arab Saudi. Terutama setelah pembatasan sosial akibat pandemi dilonggarkan di bawah komando Muhammad. Dia ingin, Orang Saudi bersenang-senang dan menghabiskan lebih banyak uang serta mengundang orang asing masuk ke sana tanpa harus membidik bisnis minyak saja. Betul, Putra Mahkota ingin industri lain juga dikembangkan melalui revolusi budaya.
Tak bisa dipungkiri, bagi kalangan konservatif, Natal dipandang sebagai bagian dari kolonialisme budaya barat. Ketika ideologi Wahabi masih diberlakukan secara ketat di Saudi, rakyat yang berlatar belakang Nasrani, cuma boleh merayakan Natal tidak di muka umum.
Sekarang sungguh jauh berbeda. Supermarket, sudah penuh dengan pohon cemara. Sebagian ruas jalan, tepiannya pun diberi kosmetik khas Natal. Hanya Sinterklas saja yang belum diperbolehkan beroperasi di sana guna membagi-bagikan hadiah.
Tak cuma bagi Natal. Saudi sedang membuka pintu lebar-lebar bagi kebudayaan barat yang tadinya jangan pernah harap bisa masuk ke sana. Bulan lalu saja, Justin Bieber menggebrak panggung di Jeddah berbarengan dengan peragaan busana yang dilakukan model Alessandra Ambrosio dan Sara Sampaio.
Tak sampai situ, Festival Film Laut Merah juga dihajatkan di sana dengan memutar banyak film dari negara-negara lain termasuk Iran, musuh bebuyutannya. Sebuah kado besar bagi umat Nasrani di Saudi Arabia yang juga mengizinkan film Father Christmas is Back diputar di bioskop-bioskop di seluruh wilayah kerajaan.
Sisi Kontroversial Putra Mahkota
Soal liberalisasi dalam hal gaya hidup hingga penggunaan simbol-simbol agama lain termasuk perayaan non muslim, sepak terjang Muhammad bin Salman memang patut diacungi jempol. Namun ketika dia begitu gencar merangkul budaya global, dunia barat masih mengintainya dengan sejumlah tuduhan pelanggaran hak azasi manusia.
Apakah pengadopsian budaya global memang menjadi agenda politik dalam upayanya memodernisasi Saudi Arabia atau cuma kosmetik belaka? Barat belum mempercayai sang Putra Mahkota bahkan terus-terusan mencurigainya.
Yang jelas, pembunuhan wartawan Jamal Kashogi yang tak pernah diketahui keberadaan jasadnya, masih terngiang-ngiang dan dengan cepat menjadi skandal internasional. Belum lagi sejumlah tuduhan lain yang masih bertalian dengan pelanggaran HAM.
Meski soal pembunuhan Jamal dibantah pemerintah Arab Saudi, dunia barat melalui badan intelijennya yakin betul kalau Muhammad bin Salman terlibat atau setidaknya mengetahui rencana pembungkaman Kashogi. Bahkan CIA, menuding bahwa dialah yang memerintahkan operasi itu.
Pandangan dunia internasional makin tajam ketika dalam sebuah wawancara dengan stasiun CBS pada 29 September 2019 lalu, pangeran mengatakan bertanggung jawab penuh atas apa yang terjadi dan di bawah pengawasannya.
Namun, pernyataan itu tak bisa dianggap sebagai pengakuan bersalah yang Muhammad beserta pemerintah Saudi masih terus menyangkalnya. Sebab menurut pandangan Frank Gardner, koresponden bidang keamanan BBC, kunci dari seluruh misteri pembunuhan Jamal adalah Saud al-Qahtani, mantan penasehat terdekat Muhammad yang juga bekas anggota angkatan udara Saudi Arabia.
Saud, disebut-sebut mengelola strategi pengawasan siber yang memantau warga Saudi Arabia baik di dalam maupun di luar negeri. Dengan alat yang dimiliki, dia dapat mengubah ponsel seseorang menjadi penyadap tanpa disadari pemiliknya.
Sebelum dihabisi, Jamal sudah menyadari kalau dirinya dalam bahaya. Sebab bermodal 1,6 juta pengikut di akun twitternya, Kashogi yang dianggap sebagai wartawan paling terkemuka di Timur Tengah, memang berencana meluncurkan gerakan kebebasan berpendapat di dunia Arab.
Kemudian, pada musim panas 2017, penulis blog, aktivis demokrasi, pegiat HAM, ditangkapi lantaran melontarkan kritik tajam. Segera, setelah Muhammad bin Salman naik sebagai Putra Mahkota, Kashogi menyingkir ke Amerika Serikat.
Di AS, kritik makin tajam dilontarkan Jamal saat menulis kolom di Washington Post. Tentu saja tulisan-tulisannya dialamatkan kepada Muhammad yang sudah pasti makin jengkel.
Riyadh pun mendesak Jamal agar segera kembali ke Saudi sambil menjanjikan perjalanan aman beserta sebuah jabatan di pemerintahan yang sudah menunggunya. Hanya saja, dia tak mempercayainya dan segera memberi tahu teman-temannya termasuk Frank Gardner bahwa tim Saud al-Qahtani telah meretas ponselnya.
Meski Muhammad membantah bahwa Kashoggi merupakan ancaman yang nyata, dan tak satu pun bukti kuat berhasil ditemukan dalam rangka menuduhnya sebagai pihak yang benar-benar bertanggung jawab, CIA dan sejumlah agen mata-mata barat lainnya seperti diurai BBC, mengaku telah mendengarkan rekaman mengerikan yang secara diam-diam direkam intelijen Turki dari dalam gedung Konsulat Arab Saudi.
Sementara ketika AS mengeluarkan sanksi terhadap 17 orang yang diduga kuat terlibat dalam pembunuhan Jamal, nama Saud al-Qahtani berada di pucuk daftar itu. Belum lagi, sebuah informasi rahasia CIA yang didapat Wall Street Journal menunjukkan ada 11 pesan singkat yang dikirim Muhammad sebelum, ketika dan sesudah Jamal dihabisi.
Begitu juga dengan cuitan Saud al-Qahtani di akun twitternya. Dia bilang : “Apa Anda pikir saya membuat keputusan tanpa arahan? Saya adalah pegawai dan pelaksana perintah Raja dan Putra Mahkota.”
Terkait kasus kematian Jamal Kashoggi, pemerintah Saudi telah mengadili 11 orang yang diduga terlibat kasus tersebut. Persidangan dimulai sejak Januari 2019 dan pada September 2020 menjatuhkan hukuman antara tujuh dan 20 tahun penjara kepada delapan orang yang dinilai terbukti bersalah.
Di lain pihak, demi menjaga agar kasus ini tak hilang ditelan bumi, Turki juga menggelar persidangan in absentia pada Juli di tahun yang sama, dengan mengadili 26 warga Saudi meski dianggap tak transparan lantaran tidak membeberkan nama tersangka.
Meski laporan intelijen AS yang dirilis Maret 2021 mengatakan kalau putra Mahkota terlibat dengan menyetujui operasi pembunuhan Kashoggi, Pemerintah Saudi masih dengan tegas membantah adanya campur tangan Muhammad bin Salman.
Keraguan di Dalam dan Luar Negeri
Meski penunjukkan Muhammad sebagai pewaris tahta nomor satu sudah disetujui oleh 31 dari 34 anggota dewan, beberapa pejabat setempat mengatakan, kalau yang dia lakukan dalam revolusi budaya merupakan reformasi ekonomi lantaran Saudi tak bisa lagi menggantungkan dirinya kepada minyak yang terus menurun jumlah produksinya.
Namun, keputusan menggulirkan revolusi tersebut malah menimbulkan pertentangan di kalangan konservatif. Ulama garis keras yang tentu sudah sangat mempengaruhi karakter Arab Saudi, telah menunjukkan penolakan terhadap reformasi kerajaan.
Sebab revolusi budaya, dianggap bukan hal baru jika bertentangan dengan nilai-nilai tradisional dan budaya sejak berdirinya kerajaan Saudi Arabia.
Selain terkait kasus pembunuhan Jamal Kashoggi, Muhammad bin Salman juga tengah menghadapi tudingan sebagai salah satu pihak paling bertanggung jawab atas kematian ribuan warga sipil di Yaman. Sebab agresi militer yang dilancarkan Saudi Arabia pada 2015 lalu sebagai upaya melawan Houthi, diyakini berasal dari perintahnya sebagai Menteri Pertahanan Saudi sebelum disepakati sebagai pewaris tahta kerajaan.[]