Tersesat di Kerajaan Jin Rawa Onom [3]
Mang Sajum kembali mengabarkan peristiwa sepuluh hari lalu. Ya, sepuluh hari lalu Lendra yang hilang di sekitar Rawa Onom, ditemukan di pinggir rawa, tertelungkup dan hampir terbenam.
“Namun kau sudah tak bernyawa. Sore itu juga di tengah hujan lebat kau dimakamkan. Namun aneh, di saat peringatan ke tujuh hari, kau muncul …” tutur Mang Sajum.
Oleh : Aan Merdeka Permana
JERNIH– Lendra masih penasaran. Dia coba berkeliling ke areal lebih luas lagi. Kalau-kalau pertempuran agak jauh dari tempat dia sembunyi. Namun semakin jauh memeriksa, semakin gelap dan lebat hutan di sini. Bahkan beberapa tempat tak bisa dilalui sebab tanahnya amat lembek dan sebagian lagi berupa rawa yang amat dalam.
Lendra terpaksa mundur lagi dan mencari jalan pulang secara diraba-raba. Sampai suatu saat, dia tiba di tepi hutan lebat itu. Di sana masih ada rawa, namun di sisi-sisinya tanah sudah cukup kering dan bisa dipijak.
Akhirnya pemuda itu merasa lega manakala tiba di sebuah tanah agak lapang dan banyak bekas tapak kaki kuda. Melihat sebuah pohon beringin tua yang berjanggut lebat menggayut ke tanah, Lendra hapal, di tempat itulah kemarin siang dia berdiri dan memperhatikan majikannya melepas batang anak-panah. Ke semak sebelah kiri sanalah gadis cantik bernama Nyi Indangwati melarikan diri dengan luka panah di bahunya.
“Alhamdulillah … akhirnya aku temukan jalan pulang,” katanya seorang diri. Di tempat itu suasana amat sunyi.
Rombongan mungkin sudah kembali sejak sore kemarin. Dengan demikian, Lendra harus bergegas pulang sendirian.
Lendra pulang kembali ke Rancah di saat selepas isya. Dia terlambat pulang sebab selain haus dan lapar yang tak tertahankan, juga lantaran sepasang kakinya bengkak-bengkak. Dia tak bisa berjalan cepat oleh sebab itu pulang ke Rancah menghabiskan waktu seharian lebih.
Yang membuat dia heran, manakala tiba di kediaman Bendara Wedana, di ruangan paseban terdengar dan terlihat sekumpulan orang lagi melantunan doa-doa dan membacakan ayat suci.
“Mereka sedang bertahlil. Tapi siapakah yang meninggal di kediaman Bendara ini?” tutur hatinya risau.
Takut bahwa majikannya yang terkena musibah, maka dia bergegas menuju beranda paseban bahkan langsung masuk mendekati kumpulan orang yang lagi bertahlil. Namun, begitu orang melihat kehadirannya, hampir semuanya memperhatikan dirinya dengan heran dan kaget, bahkan beberapa perempuan yang duduk di belakang tak urung menjerit takut. Beberapa lagi malah sudah lintang-pukang lari menjauh dari tempat itu.
Hanya beberapa pemuka agama yang tegar menghadapi kehadiran pemuda itu dengan cukup berani walaupun tak bisa menutupi perasaan hatinya yang tegang.
“Siapakah engkau?” tanya seorang tua bersorban.
“Saya … Saya Lendra,” jawab Lendra gagap dan bingung.
“Bukankah … bukankah engkau sudah dimakamkan seminggu lalu?”
Lendra ternganga kaget mendengar ucapan orang tua itu.
“Seminggu lalu? Mana, katakan, siapa yang meninggal di sini? Mana Bendara? Apakah beliau sehat?”
Belum habis ucapan Lendra, Bendara Wedana sudah menghampirnya karena mendengar ribut-ribut di halaman paseban.
“Apakah engkau Lendra?” tanya beliau ternganga pula.
“Betul, Bendara. Maafkan saya terlambat pulang. Saya tersesat di Rancabingung …” tutur Lendra.
“Kau tersesat selama seminggu ini?” tanya Bendara Wedana heran.
“Seminggu? Saya hanya tersesat semalam saja, Bendara …” jawab Lendra gagap karena bingung.
Semua orang terdiam sejenak.
“Lendra telah mati. Jasadnya ditemukan di relung rawa. Kalau kau dedemit Rancabingung atau dari Pulo Majeti bahkan dari Rawa Onom, silakan pergi jangan ganggu kami!” kata seseorang sambil seterusnya membacakan ayat-ayat suci pengusir setan.
Lendra tersentak mendengarnya. Kepalanya mendadak pusing, kemudian tubuhnya lunglai dan jatuh terjerembab. Entah berapa lamanya dia pingsan. Namun ketika dia siuman, di sekelilingnya telah berkumpul pula sekumpulan orang-orang. Banyak di antaranya yang membacakan ayat-ayat suci. Ketika Lendra siuman, semuanya menghentikan kegiatannya dan menatap wajah pemuda itu.
“Apa yang terjadi?” katanya melihat ke kiri dan ke kanan.
“Syukur kau siuman …” tutur Juragan Istri gembira.
“Tapi, apa yang terjadi, Juragan?”
“Ya, justru itu yang kami pertanyakan. Apa sebenarnya telah terjadi hari-hari belakangan ini,” gumam Bendara Wedana seperti melamun. Dengan perasaan heran tak terhingga, Lendra menerima berita, bahwa sebenarnya dia sudah mati seminggu lalu. Ketika Bendara Wedana menyuruhnya menyusul buruan menjangan yang terluka, ternyata Lendra tak kembali.
Belakangan setelah lama dicari, ternyata jasadnya ditemukan tenggelam di rawa-rawa Rancabingung. Di sana ditemukan pula bangkai menjangan yang terluka di bahunya oleh panah Bendara Wedana dan sama tenggelam di rawa yang sama. Itu berlangsung seminggu lalu.
“Dan malam ini adalah malam tahlil ke tujuh hari,” kata Bendara Wedana.
Mendengar cerita ini, maka untuk yang kedua kalinya Lendra kembali pingsan dan tak sadarkan diri. Namun pingsan dan tak sadarkan diri ini hanyalah ukuran orang lain. Sebab untuk dirinya sendiri, sebenarnya dia tetap memiliki kesadaran. Yang sebenarnya terjadi, dia waktu itu tengah telentang di atas hamparan permadani. Lendra mengenal permadani bagus yang terhampar di ruangan tengah kediaman Bendara Wedana. Namun hamparan permadani yang ini jauh lebih halus dan jauh lebih tebal. Kalau Lendra pernah dengar ada permadani terbaik buatan Negri Parasi (Persia), maka barangkali inilah permadaninya.
Kepala Lendra pun beralaskan bantal empuk dengan sarung bantal terbuat dari kain sutera paling halus berwarna biru tua. Sementara permadani tebal dan empuk itu berwarna merah dengan paduan warna-warna semarak lainnya.
“Di manakah aku?” gumamnya meneliti ke langit-langit yang berwarna biru muda dan menyegarkan pandangan mata.
“Engkau berada di kediaman Nyi Indangwati …” terdengar jawaban suara halus seorang perempuan. Dengan terkejut Lendra pun melirik ke arah datangnya suara. Memang benar, yang barusan menjawab pertanyaannya itu adalah seorang perempuan cantik dengan mata bening, hidung mancung kecil dan bibir tipis. Perempuan muda usia sekitar 17 itu memakai kain kebaya warna nila, begitu pun bagian bawahnya, sama berwarna nila hanya memiliki corak batik.
“Siapakah engkau, Nyai?” tanya Lendra hendak bangkit, namun badannya terasa lemah tak bertenaga.
“Saya Naimah, pelayan Nyi Indangwati, Kakang …” sahut gadis mungil itu.
“Nyi Indangwati?” Lendra mengingat-ingat. O, ya. Diakah gadis manis di hutan asing itu,pikir Lendra. “Mengapa saya ada di sini? Bukankah tadi saya ada di rumah majikan saya?” tanya Lendra bingung.
“Ah, apalah artinya sebuah tempat. Hidup kita ini sebenarnya tak memiliki sekat-sekat. Hanya lantaran keterbatasan diri kita saja maka sepertinya hidup kita dibatasi oleh ruang dan waktu,” kata gadis itu membuat Lendra bingung menyimaknya.
“Bisakah Nyai terangkan, mengapa saya ada di sini kini?” tanya lagi Lendra.
“Itu lantaran jasa Kakang terhadap Nyi Indangwati. Hanya jasa Kakang saja yang menyebabkan majikan saya selamat tiba di kediamannya,” tutur gadis itu.
Lendra teringat kembali peristiwa beberapa hari lalu. Betapa dia telah menolong merawat luka panah yang diderita Nyi Indangwati.
“O, ya … saya sudah kenal dengan Nyi Indangwati,” gumam Lendra membayangkan gadis berkulit langsat berlesung pipit itu. Dan manakala ingat Nyi Indangwati, maka dada Lendra bergetar aneh.
“Siapakah sebetulnya Nyi Indangwati itu?” gumamnya lagi. Namun kali ini hanya dibalas dengan tawa cekikikan dari gadis yang menjaga di sampingnya. Sudah barang tentu Lendra menoleh. Mengapa pertanyaannya dirasa lucu bagi gadis itu?
“Bagaimana tidak lucu, Kakang. Tadi Kakang katakan sudah kenal Nyi Indangwati. Tapi kini malah tanya lagi?” kata gadis itu kembali tersenyum renyah sambil menutupi mulutnya dengan punggung tangannya yang mulus.
“Saya hanya tahu namanya saja. Sementara, hal-hal lainnya saya tak tahu …” gumam Lendra.
“Nyi Indangwati itu putri tunggalnya Sang Prabu Selang Kuning …” kata gadis bernama Naimah ini.
Lendra terkejut mendengarnya.
“Maksudmu, Nyi Indangwati itu putri seorang raja?” tanya Lendra melirik kembali pada Naimah. Naimah pun mengangguk mengiyakan.
“Heran, seingat saya di zaman ini jabatan paling tinggi di daerah hanyalah bupati. Ke atasnya ya Gubernur Jenderal di Batavia sana….” gumam lagi Lendra.
“Ah … apalah artinya sebuah zaman. Sudah saya katakan, untuk hal-hal tertentu, kehidupan ini tak dibatasi ruang dan waktu. Di sini tak ada bupati atau gubernur jenderal. Sebab yang ada hanyalah penguasa tunggal Kerajaan Pulo Majeti bernama Prabu Selang Kuning,” tutur Naimah.
“Pulo Majeti? Seingat saya, itu hanyalah sebuah gugusan pulau kecil di tengah rawa, Rawa Onom namanya …”
“Ssst … Jangan bilang Onom. Juragan Selang Kuning adalah Prabu Anom. Jangan mengganti kata Anom dengan Onom, ya?” cegah Naimah menempelkan telunjuk ke depan mulutnya yang tipis manis.
“Anom dan bukan Onom, ya?” tanya Lendra.
“Iya, sebab Onom adalah kata-kata lecehan dari orang Kerajaan Galuh terhadap kami,” kata Naimah.
Lendra mendadak terkejut. Dia teringat kembali pertempuran di sebuah hutan lebat berawa hari-hari belakangan. Ada teriakan-teriakan prajurit yang ingin membunuh Prabu Selang Kuning.
“Apakah Kerajaan Pulo Majeti pernah diserbu Pasukan Kerajaan Galuh?” Lendra mendadak mengajukan pertanyaan seperti itu.
“Ya, bahkan kerajaan kami kerap diserbu pasukan-pasukan kecil dari Galuh. Secara diam-diam, mereka inginkan nyawa Sang Prabu. Minggu lalu sudah terjadi lagi penyerbuan dan Nyi Indangwati yang tengah bermain di taman terkena serangan anak-panah orang Galuh,” kata Naimah mengepal tinju seperti marah.
Lendra terkejut namun dia hanya berdiam diri saja. Bahu Nyi Indangwati bukan terkena serangan anak-panah prajurit Galuh tapi oleh anak-panah milik Bendara Wedana dan bukan di sebuah pertempuran. Ini aneh. Tapi tentu Lendra tak mau mendebatnya.
“Apa yang Nyi Indangwati inginkan dari saya, Nyai?” tanya Lendra memindahkan perbincangan.
“Ya, seperti saya katakan tadi. Dia inginkan memberikan tanda terima-kasih.”
“Seperti apa?”
“Ah, masa saya harus mendahului apa yang akan dikerjakan majikan saya?” potong Nyi Naimah.
Lendra terdiam.
“Tidurlah Kakang sebab kau tentu memerlukan istirahat yang baik,” tutur Nyi Naimah. Dan Lendra kembali tertidur sebab matanya mendadak mengantuk. Ketika isuman, Lendra menyebut-nyebut nama Nyi Naimah.
“Naimah… Naimah …” gumamnya. Kerongkongannya terasa kering dan maksudnya mau minta minum pada Nyi Naimah. Namun yang jawab hanya suara lelaki parau.
“Hai, siapakah Naimah itu, Lendra?” tanya suara parau itu. Manakala Lendra membuka matanya, yang nampak adalah wajah Mang Sajum, sesama pegawai di Kewedanaan Rancah.
“Minum … Minum …” keluh Lendra sebab kerongkongannya serasa tercekik saking keringnya.
Mang Sajum menyodorkan air putih yang barusan dituangkannya dari sebuah kendi tanah liat.
Lendra minum dengan tergesa-gesa sebab tak sabar akan haus dan dahaga. Namun ketika air masuk, perutnya terasa pedih dan sakit.
“Pelan-pelan, sebab kau lebih dari seminggu tak makan dan tak minum,” kata Mang Sajum.
“Aneh sekali Lendra, ketika kuburmu digali, tak ada jasad kamu,” sambung Mang Sajum.
Lendra terkejut dan tersinggung.
“Saya kan belum mati. Mengapa musti ada kubur saya, Mang Sajum?” katanya mengerutkan dahi.
“Itulah yang menggemparkan semua orang. Tidak saja di sekitar Rancah sini, tapi pun sampai ke Kota Ciamis sana …” tutur Mang Sajum bingung.
“Sepuluh hari lalu kau ditemukan tewas …”
“Katanya seminggu lalu?”
“Ya. Tapi tiga hari lalu begitu bangun kau pingsan lagi, tiga hari lamanya …” potong Mang Sajum.
“Tiga hari? Saya hanya beberapa saat saja bercakap-cakap dengan Nyi Naimah.”
“Nyi Naimah? Siapa dia? Ketika bergumam dalam pingsan, kau memang ada menyebut-nyebut Naimah, Naimah, gitu. Aneh …” gumam Mang Sajum.
“Sudahlah. Itu nanti saja. Yang perlu saya ketahui, mengapa saya dikhabarkan telah mati?”potong Lendra tak sabar.
Maka Mang Sajum kembali mengabarkan peristiwa sepuluh hari lalu. Ya, sepuluh hari lalu Lendra yang hilang di sekitar Rawa Onom, ditemukan di pinggir rawa, tertelungkup dan hampir terbenam.
“Namun kau sudah tak bernyawa. Sore itu juga di tengah hujan lebat kau dimakamkan. Namun aneh, di saat peringatan ke tujuh hari, kau muncul …” tutur Mang Sajum.
“Saya memang tak mati dan tak merasa pernah dikuburkan. Saya juga tak merasa hilang selama seminggu. Paling hanya satu hari saja bersua dengan Nyi Indangwati …” tutur Lendra.
“Nyi Indangwati? Siapa dia?” tanya Mang Sajum heran.”Dia adalah putri Prabu Selang Kuning …”
“Masya Allah … Menurut orang tua di sini, Prabu Selang Kuning adalah penguasa Pulo Majeti!” cetus Mang Sajum.
“Begitu juga yang dikatakan Nyi Naimah …”
“Ya, siapa pula Nyi Naimah?”
“Dia hanya pembantu biasa Nyi Indangwati. Tapi cantiknya sungguh memukau …” Lendra berdecak sendirian.
“Sudahlah. Ucapanmu membuat bulu-kudukku berdiri, Lendra …” kata Mang Sajum mengusap-usap tengkuknya sendiri. “Tapi kau diamlah, Lendra. Maksudku, jangan banyak bicarakan hal aneh ini. Sungguh tak baik. Penghuni Rawa Onom tak baik banyak diceritakan,” kata Mang Sajum namun bulu kuduknya masih terasa bergidik juga. [Bersambung]