Tersesat di Kerajaan Jin Rawa Onom [5]
Namun setelah rombongan hampir tiba, di tengah jalan yang dirindangi pepohonan lebat, mereka bertemu dengan rombongan lain. Mereka adalah pejalan kaki berjumlah delapan orang dan semuanya berpakaian serba-hitam. Bercelana sontog hitam, berpakaian rompi hitam dengan dada terbuka dan memakai ikat kepala hitam. Wajah mereka biasa-biasa saja bahkan terkesan ramah. Namun enam ekor anjing nampak gelisah, mendengus dan melenguh.
Oleh : Aan Merdeka Permana
JERNIH– Ketika kesadaran Lendra telah benar-benar pulih, Lendra tergopoh-gopoh menghadap majikannya dan langsung mengatakan agar rencana mengeringkan Rawa Onom dibatalkan saja.
“Siapa yang akan mengeringkan Rawa Onom? Esok subuh aku hanya akan berburu saja,”tutur Bendara Wedana.
“Berburu ke Pulo Majeti lagi?”
“Tidak. Kita kali ini menuju Rancabingung.”
“Rancabingung …?”
“Ya. Aku belum pernah ke sana.”
Kata Mang Sajum, “Siapa pun belum pernah ke sana …”
“Itulah sebabnya. Aku sebagai penguasa wilayah Rancah, musti tahu seluruh pelosok negeri. Makanya sambil mengontrol wilayah, kita cari hiburan berburu,” tutur Bendara Wedana.
Lendra hanya melamun, mencoba membayangkan hal-hal yang dia pun tak tahu akan seperti apa. Dan walau pun kesehatannya belum pulih benar, Lendra memaksa untuk ikut rombongan. Bendara Wedana tak mencoba mencegah, kecuali tak memberinya beban terlalu berat kepada pemuda itu. Kali ini yang menerima beban berat adalah Jang Dayat. Dari mulai memanggul beberapa batang tombak, hingga beberapa gondewa bahkan cikrak dan cangkalak, Jang Dayatlah yang memanggulnya. Mang Sajum kebagian memikul bekal makanan seperti nasi timbel, air minum di lodong dan beberapa keperluan lain. Sementara Lendra hanya memanggul beberapa kantung pakaian pengganti bagi majikannya.
Sesudah matahari menyingsing dan burung-burung di dahan bernyanyi, maka rombongan mulai berangkat. Bendara Wedana berkuda paling depan. Sementara di belakangnya ada tiga ekor kuda yang masing-masing ditunggangi oleh Camat Cisaga, Kuwu Cibeurih dan Upas Karta. Di belakangnya ada belasan pegawai berjalan kaki dengan masing-masing beban mereka.
Juga terdapat enam ekor anjing. Mereka dibawa serta untuk membantu perburuan. Perjalanan ini makan waktu lama sebab rombongan berkuda tak mau memacu kuda cepat-cepat. Para ponggawa yang hanya berjalan kaki tak boleh lelah atau bahkan ketinggalan jauh. Namun setelah rombongan hampir tiba, di tengah jalan yang dirindangi pepohonan lebat, mereka bertemu dengan rombongan lain. Mereka adalah pejalan kaki berjumlah delapan orang dan semuanya berpakaian serba-hitam. Bercelana sontog hitam, berpakaian rompi hitam dengan dada terbuka dan memakai ikat kepala hitam. Wajah mereka biasa-biasa saja bahkan terkesan ramah. Namun enam ekor anjing nampak gelisah, mendengus dan melenguh. “Rombongan dari mana dan akan menuju ke manakah ini?” tanya Bendara Wedana menahan tali kekang sehingga kuda berhenti mendadak.
“Kami dari Kampung Handiwung akan menjemput Bendara Wedana,” tutur salah seorang dari mereka.
“Dari Kampung Handiwung mau menjemput aku? Ada perlu apakah?” tanya Bendara Wedana berkerut keningnya lantaran curiga.
“Oh, jadi inikah Juragan Wedana?” tanya seorang berkumis agak tebal dan beralis mata tebal membungkuk hormat.
“Betul. Beliau adalah Bendara Wedana. Tapi kalian dari Kampung Handiwung, mau apakah?” tanya Camat Cisaga ikut berkerut alisnya. Maka pemimpin rombongan berpakaian hitam itu mengutarakan maksudnya bahwa mereka diutus Tua Kampung Handiwung untuk mengundang Bendara Wedana beserta aparat. Di tempat itu malam ini akan ada pesta dalam rangka menyambut sukses panen tahunan.
“Mengapa begitu mendadak?” tanya Kuwu Cibeurih.
“Tidak mendadak, sebab Tua Kampung sudah memberi pesan jauh sebelumnya kepada Kuwu Ciminyak. Entah kami tidak tahu, apakah Kuwu Ciminyak menyampaikannya atau tidak, “tutur pemimpin rombongan.
Bendara Wedana mengangguk-angguk dan mengabarkan bahwa undangan belum diterima.
“Mungkin Kuwu Ciminyak tak sempat mengirimkan utusannya sebab dia keburu menderita sakit,” tutur Bendara Wedana.
“Jadi, bagaimana kita kini?” tanya Camat Cisaga.
“Kita terima saja undangan ini. Aku tak mau kecewakan rakyat apalagi kami belum pernah bersua. Lagi pula aku ingin tahu keberadaan Kampung Handiwung. Serasa baru dengar akan nama kampung itu,” kata Bendara Wedana.
“Lantas bagaimana rencana berburu kita?” tanya Upas Karta.
“Berburu bisa kapan saja. Tapi pesta belum tentu datang tiap sebulan sekali,” jawab Sang Bendara Wedana tersenyum.
Semuanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Semuanya tak menyalahkan sikap Bendara Wedana yang mendadak mengubah arah perjalanan. Toh pada intinya sudah dikemukakan, bahwa berburu hanya sebatas hiburan, sementara tujuan utama adalah mengadakan pengenalan lapangan. Bahkan kata bendara Wedana, menerima undangan dari kampung yang belum beliau kenal, merupakan sebuah kunjungan kerja yang pas. Maka Bendara Wedana siap dibawa rombongan berbaju hitam untuk mengunjungi pesta di Kampung Handiwung.
Namun ketika rombongan mulai berjalan, enam ekor anjing tetap gelisah. Mereka melenguh sambil menggapit-gapitkan ekornya. Pada suatu tikungan jalan yang berada di tengah belantara, giliran tiga ekor kuda yang memberikan reaksi aneh. Mereka sesekali berbunyi keras dan mengacungkan kaki depannya ke atas. Di sebuah dusun kecil sebelum tiba di Kampung Handiwung, pemimpin rombongan menyarankan agar anjing dan kuda dititipkan saja di kampung itu kalau binatang-binatang itu kelelahan. Entah mengapa, tidak seorang pun yang mencoba menolak anjuran ini. Maka untuk selanjutnya, perjalanan dilakukan dengan jalan kaki sebab kata utusan, Kampung Handiwung sudah dekat.
Benar saja, kampung yang dimaksud tidak terlalu jauh. Bendara Wedana bahkan amat terkesan dengan keasrian wilayah ini. Jalan yang semula berupa tanah berdebu, ketika memasuki lawang kori (pintu gerbang) berubah menjadi jalan berbatu koral sehingga bila hujan jatuh tak akan membuat kubangan lumpur.
Perumahan pun berderet dengan tertata rapi. Kendati semua beratap rumbia dan rumah bamboo berpanggung, namun kesejahteraan warga nampak nyata. Di setiap halaman rumah tersedia lumbung padi dan isinya padat. Di bagian lain juga terdapat kandang ternak. Dari kerbau hingga kambing, dari ayam hingga itik, semua ada.
Di sisi lainnya, hampir semua rumah punya kolam dan ikan-ikannya terlihat besar-besar. Sungguh membuat Bendara Wedana iri, sebab di pusat pemerintahannya saja, yaitu di Rancah, suasana seperti itu tidak didapat, kecuali di beberapa penduduk kaya saja.
Kampung itu semarak, di sepanjang jalan banyak dipasang umbul-umbul. Kampung itu memang tengah menyambut pesta.
Suasana persiapan pesta nampak nyata. Di sudut alun-alun ada panggung dikelilingi damar sewu atau penerangan minyak tanah berjumlah seribu. Mungkin akan digunakan tempat pertunjukan. Bahkan sudah nampak jajaran para pedagang di sana. Manakala tiba di halaman kediaman tua kampung, membikin Bendara Wedana terbengong-bengong. Di sana sudah banyak orang, tua-muda besar-kecil, pria dan wanita. Rombongan tamu dari Rancah berjumlah belasan orang itu nampak terkesiap sebab di kampung itu banyak wanita muda yang cantik dan ranum. Para gadis tersenyum dikulum dengan mata mengerling manakala menatap rombongan. Kepala Jang Dayat beberapa kali musti menengok ke belakang sebab ada gadis cantik-manis mengedipkan mata padanya.
Bendara Wedana menerima penghormatan berlebih manakala disambut tua kampung. Seorang tua berwajah ramah dengan alis tebal berwarna putih keperak-perakan, membimbingnya duduk di sebuah bale-bale yang sudah ditilami beludru halus. Sesuatu yang jarang didapat di kampung lain kala itu. Mereka segera disuguhi makan minum. Jenis penganan sebetulnya biasa saja, namun dengan kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan di tempat lain. Kalau Bendara Wedana mencicipi buah salak, maka buah salak yang berdaging montok itu terasa manis legit. Kalau Bendara Wedana mencicipi nasi ketan, maka nasi ketan itu berbau harum dan membuat selera bertambah untuk makan banyak-banyak. Minum air buah kelapa pun terasa amat menyegarkan sebab air kelapa itu legit dan manis pula, serasa manisnya air madu. Para aparatnya makan banyak-banyak, tak terkecuali Camat, Kuwu dan Upas. Mereka ketiduran karena kekenyangan, hingga malam tiba. [Bersambung]