Donald Trump Rupanya Gentar dengan Konvensi Den Haag 1954
Setelah Jendral Qassem Soleiman tewas dalam serangan udara AS, Presiden AS Donald Trump mengeluarkan ancaman akan menghancurkan 52 situs yang sangat penting bagi Iran dan budayanya jika iran membalas kematian pemimpin Garda Revolusi Iran itu.
Pernyataan Trump tersebut dikecam oleh kubu Partai Demokrat karena bukanlah hal yang lajim bila AS menyerang situs budaya. Demikian pula Menteri Pertahanan AS Mark Esper, mengeluarkan pernyataan yang tidak sejalan dengan sesumbar Trump. Mark Esper mengatakan militer AS tidak akan menyerang situs budaya Iran karena melanggar hukum konflik bersenjata.
Jika itu terjadi, maka taktik menghancurkan situs yang dicetuskan Trump hanya merupakan eskalasi paling baru dari sekian banyak kejadian penghancuran situs sejarah dan benda budaya. Sejak masa prasejarah sampai abad modern ini, sejarah banyak mencatat penghancuran bangunan bersejarah dan benda budaya dalam konflik bersenjata. Bebrapa yang terkenal diantaranya adalahpenghancuran dan penjarahan Yerusalem dan Bait Suci oleh Nebukadnezar II diabad 6 SM.
Pada masa Yunani Kuno Perpustakaan Alexandri yang berdiri pada tahun 290 SM di Mesir dibakar Julius Caesar pada tahun 48 SM . Selain itu, tentara Roma sering menjarah benda-benda budaya sebagiai rampasan perang. Mereka memamerkannya di Roma dalam suatu prosesi acara yang disebut Triumph sebagai simbol dan bukti kemenangan perang oleh Imperium Romawi. .
Demikian pula pada saat terjadinya Perang Salib tahun 1204 M, prajurit Perang Salib banyak merusak, menjarah dan menghancurkan benda budaya. Mereka melanggar intruksi dari Paus yang sejak awal melarang perusakan terhadap benda budaya sehingga pada peristiwa penaklukan Kota Konstatinope banyak benda budaya yang dijarah juga dihancurkan oleh para prajurit Perang Salib.
Dalam Perang Dunia I dan II banyak situs dan benda budaya yang hancur. Motif menghancurkan situs budaya mengalami perkembangan. Dalam perang dunia II Angkatan Udara Britania Raya (RAF) melakukan pemboman terhadap kota-kota bersejarah di Jerman. Saat itu, Arthur Harris, Kepala Komando Bomber RAF berpendapat bahwa menghancurkan warisan budaya Jerman akan membuat musuh kehilangan semangat dan menyerah.
Melihat kerusakan terhadap warisan budaya di dunia yang semakin luas, maka dilakukan upaya perlindungan teradap situs bersejarah dan benda warisan budaya dunia. Hal itu setidaknya sudah digaungkan di Washington, 15 April 1935 dalam Perjanjian tentang Perlindungan Lembaga Seni dan Ilmiah dan Monumen Bersejarah (Pakta Roerich). Dengan merujuk kepada Pakta Roerich tersebut, maka tahu selanjutnya disusun konvensi tentang perlindungan benda budaya pada waktu sengketa bersenjata di Den haag, 14 mei 1954.
Adanya konvensi tersebut sedikit banyak menekan kerusakan situs sejarah dan benda budaya. Namun beberapa konflik perang di Timur Tengah masih terjadi sampai abad ini. Kelompok ISIS telah menghancurkan sekurangnya 48 situs ketika menduduki Mosul, Irak dan Suriah. Situs-situs tersebut terdiri dari 23 mesjid-mesjid kuno dan makam sufi, 11 gereja dan biara serta 14 situs kuno yang berusia ribuan tahun.
Hukum Internasional telah menjelaskan bahwa menghancurkan situs adalah kejahatan perang, dan Trump mendukung itu pada 2017. Namun bila Trump ucapan Trump tidak sekedar gertak sambal, maka perintahnya menghancurkan situs-situs budaya di Iran tidak saja merupakan kejahatan perang namun juga kejahatan budaya serta penindasan terhadap hak-hak kekayaan intelektual bangsa.
Pada akhirnya Trump menarik ucapanya. Ia membatalkan nisatnya menghancurkan situs budaya di Iran dan akan mematuhi hukum international mengenai perlindungan terhadap warisa budaya benda maupun tak benda.
“Pikirkan itu, mereka membunuh orang-orang kami, mereka meledakkan orang-orang kami dan kami harus sangat lembut dengan budaya mereka. Tetapi saya baik-baik saja dengan itu,” kata Trump seperti diberitakan dari AFP. “Kamu tahu, jika itu adalah hukumnya, saya suka mematuhi hukum,” imbuhnya. (Pd)