Masjid Isa dan Masjid Perawan Maria
Begitu pengurus Gereja Holy Trinity mengabarkan info penjualan, mereka mendapat dua penawaran. Dari seorang pengusaha bar dan dari komunitas Muslim Syracuse. Pengusaha bar memasukkan harga beli tiga kali lebih tinggi. Namun pengurus gereja memilih menjual kepada komunitas Muslim. “Supaya nama Tuhan tetap dimuliakan di dalam bangunan itu,” ujar pengurus Holy Trinity.
Oleh : Akmal Nasery Basral
JERNIH—Kisah tentang aktivitas Masjid Holland Park, Brisbane, Australia, dari film dokumenter “The Mosque Next Door” yang saya posting tiga hari lalu (Minggu, 10 April), mengundang sejumlah respons positif.
Salah satunya dari Ardy Muawin, Master Administrasi Bisnis dari Universitas Michigan, yang sempat menjadi jamaah Masjid Holland Park ketika tinggal di Australia. “Saya pernah ngobrol dengan Imam Uzair Johnson. Imam yang luar biasa. Brisbane penuh kenangan meski saya hanya dua tahun di sana. Anak bontot lahir di sana,” tulisnya dalam pesan japri kepada saya.
Beberapa komentar pembaca lain meminta saya menulis lagi kisah masjid dengan angle khas. Untuk mengapreasi permintaan itu, topik SKEMA (Sketsa Ramadhan) hari ini saya ulas lima masjid dengan nama istimewa yang—sependek pengetahuan saya—belum pernah digunakan oleh masjid-masjid yang ada di tanah air.
Nama masjid biasanya mengambil salah satu cara ini, entah dari khazanah Asmaul Husna (99 nama Allah), nama para nabi, nama salah seorang sahabat Nabi Muhammad s.a.w., nama lokasi tempat masjid berdiri, nama pembangun masjid (atau nama orang tua sang pendiri jika dia sungkan namanya dipakai), atau nama-nama bagus dan bermakna lainnya dalam bahasa Arab.
Sehingga, jika sampai ada nama masjid yang nyeleneh seperti Masjid Desa Temu Jodoh, di daerah Chaah Segamat, Johor Darul Takzim, Malaysia, itu benar-benar salah satu ‘keajaiban dunia’ meski bukan hil yang mustahal. Sebab kalau memang ada kesepakatan antara pengelola dan jamaah soal nama, mau diberi nama apapun oke saja sepanjang tidak bermakna negatif. Soal apakah jamaah Masjid Temu Jodoh benar-benar menemukan soulmate mereka di sana atau tidak, itu adalah soal lain.
Fokus tulisan ini tentang nama istimewa dari dua sosok teladan dan disucikan dalam Islam yakni Isa Putra Maryam dan sang ibunda mulia Maryam Putri Imran. Kelima masjid itu adalah Virgin Mary Masjid (Melbourne, Australia), The Mosque of Jesus Christ (Madaba, Jordan), The Isa ibn Maryam Mosque (Syracuse, New York City), The Mosque of Jesus Christ Son Mary (Kisumu, Kenya) dan Mary The Mother of Jesus Mosque (Abu Dhabi, UAE).
Virgin Mary Masjid—dalam bahasa Indonesia berarti “Masjid Perawan Maria”—berada di Hoppers Crossing, sekitar 32 km barat daya dari pusat kota Melbourne. Pada plang putih di tepi jalan yang bertuliskan nama masjid dalam huruf kapital warna biru tua, di bagian bawahnya disertakan Surat Ali Imran ayat 42 dengan terjemahan bahasa Inggris dalam warna hijau pekat. Terjemahan ayat itu dalam bahasa Indonesia adalah “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).”
Masjid Perawan Maria dipimpin Syekh Isse Musse (Indonesia: Isa Musa) sebagai imam dan khatib utama. Syekh Isse yang buta sejak kecil meninggalkan negerinya Somalia yang dicabik perang saudara di tahun 1990-an. Dia mendalami agama Islam di Arab Saudi sebelum hijrah ke Benua Kanguru pada 1997. “Ketika itu masjid sedang dibangun oleh komunitas muslim setempat. Saat akan diberi nama, saya ingin sebuah nama masjid yang tidak tradisional dan menghormati perempuan. Maka saya usulkan nama Masjid Perawan Maria,” ungkapnya.
Usulan itu tak langsung disetujui jamaah yang sebagian tercengang. Bahkan ada yang protes karena terdengar seperti nama Gereja Katolik. “Lalu saya jelaskan bahwa Perawan Maria itu sebutan yang digunakan oleh Al Qur’an. Jadi tidak ada yang keliru dengan nama itu. Akhirnya seluruh jamaah setuju,” lanjut Syekh.
Meski sebagian jamaah berdarah Bangladesh, namun tak kurang dari 17 kebangsaan lainnya terdata sebagai jamaah masjid termasuk warga asli Australia. Agar masjid tak dikuasai satu kelompok, maka dewan pengurus dibuat dengan meracik sebanyak mungkin perwakilan etnik. Termasuk seorang Muslimah bernama Saima Azhar sebagai satu-satunya wakil jamaah perempuan.
Tiga pekan sebelum masuk Ramadan tahun ini–pada 13 Maret 2022–Masjid Perawan Maria membuat Open Day yang bisa dikunjungi siapa saja. Selain acara keagamaan (ceramah dan pengislaman mualaf) di ruang utama masjid, juga berlangsung bazaar aneka makanan dan permainan anak-anak yang berlangsung meriah di halaman rumah ibadah.
Dari Melbourne kita pindah ke Madaba—sekitar 32,5 km di selatan ibu kota Amman, Yordania, untuk melihat The Mosque of Jesus Christ (Masjid Yesus Kristus) seluas 1.000 meter persegi yang dibangun pada 2008. Madaba adalah sebuah kota kuno yang pada abad ke-6 pernah menjadi tanah suci bagi Gereja Ortodoks Yunani St. George. Saat ini jumlah umat Kristiani di Madaba hanya sekitar 10 persen dari 60.000 jiwa.
“Untuk mengenang keunikan sejarah kota ini dan sekaligus menghormati Nabi Isa alaihissalam maka saya usulkan agar nama masjid menggunakan nama beliau bukan dalam bahasa Arab namun dalam bahasa Inggris yang lebih dipahami dunia internasional,” ujar Imam Jamal Al Sufrati yang mengelola masjid. Dinding masjid dihias dengan kaligrafi rancak dari ayat-ayat Al Qur’an tentang umat Nasrani seperti nukilan dari Surat Al Hadid (57) ayat 27 sebagai berikut, “Kemudian Kami susulkan rasul-rasul Kami mengikuti jejak mereka dan Kami susulkan (pula) Isa putra Maryam; Dan Kami berikan Injil kepadanya dan Kami jadikan rasa santun dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya.”
Berbeda dengan respons jamaah di Melbourne yang sempat terbelalak dengan usulan Imam Isse Musse, usulan Imam Al Sufrati langsung bisa diterima komunitas Muslim Madaba yang punya rekaman interaksi antara kedua agama lebih lama. Bahkan di bulan Ramadan, saat masuk salat maghrib dan iftar (buka puasa) ditandai dengan bunyi genta gereja yang berdentam-dentam menyelimuti kota. Sebagian umat Nasrani yang tinggal di sekitar masjid pun bergabung dan ikut buka puasa bersama saudara-saudara Muslim mereka.
Pindah ke benua Amerika, di Syracuse New York City berdiri Masjid Isa ibn Maryam (The Mosque of Jesus, Son of Mary) yang beroperasi sejak 2014. Sebelumnya tempat ini adalah Gereja Holy Trinity Katolik Roma yang dijual pengurus gereja karena jemaat yang terus menurun drastis sehingga acara kebaktian lebih sering lengang ketimbang berdesak. Sementara biaya pemeliharaan gedung di kota semahal NYC sangat tinggi.
Begitu pengurus Holy Trinity mengabarkan info penjualan, mereka mendapat dua penawaran. Dari seorang pengusaha bar dan dari komunitas Muslim Syracuse. Pengusaha bar memasukkan harga beli tiga kali lebih tinggi. Namun pengurus gereja memilih menjual kepada komunitas Muslim. “Supaya nama Tuhan tetap dimuliakan di dalam bangunan itu,” ujar pengurus Holy Trinity.
Maka interior luar tak diubah sama sekali, tetap seperti gereja yang dikenal masyarakat setempat. Hanya plang nama diganti dan salib baja di pucuk menara diturunkan, diganti dengan bulan sabit. Interior dalam mengeluarkan semua bangku gereja dan mengganti dengan karpet sajadah tempat sujud. Sementara lukisan-lukisan orang suci Nasrani di dalam (bekas) gereja diubah menjadi kaligrafi ayat-ayat suci.
Kaligrafi terbesar yang langsung dilihat jamaah begitu melewati pintu masuk adalah nukilan ayat Surat Az Zumar (39) ayat 53 yang berbunyi. “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dr. Yusuf Noale yang mengurusi pembelian masjid dan lebih bersifat sebagai ‘manager masjid’ menyatakan pada awal beroperasi Masjid Isa ibn Maryam pun hanya beberapa gelintir jamaah saja. “Sebagian komunitas Muslim di kawasan ini ragu untuk salat di bekas gereja. Apalagi baik eksterior dan interior juga masih seperti gereja pada umumnya. Alhamdulillah perlahan-lahan jamaah mulai banyak yang datang,” ujarnya mengisahkan perjuangan memakmurkan masjid bernuansa gereja itu.
Berbeda dengan sistem pengelolaan masjid pada umumnya yang memiliki khatib, imam dan muazin tetap, pada Masjid Isa ibn Maryam hal itu tak diterapkan. “Masjid ini buat semua orang. Siapa saja boleh jadi imam dan muazin, juga khatib,” ujar Dr. Noale. Salah seorang muazin ‘cabutan’ yang agak sering mengumandangkan azan adalah Sajad Sameer, seorang remaja pengungsi Afghanistan. (Kalau Anda punya kualifikasi sebagai imam dan khatib, serta fasih berbahasa Inggris dan siap dakwah di NYC, silakan coba peruntungan di masjid ini).
Di benua Afrika ada juga masjid bernama The Mosque of Jesus Christ Son of Mary (Masjid Yesus Kristus Putra Maria) yang berdiri di Kisumu—sekitar 340 km di barat laut Nairobi, ibu kota Kenya. Sejarah berdirinya masjid ini berliku-liku. Kendati lokasi sudah diincar komunitas Muslim sejak 1985, namun izin untuk mendirikan masjid tak kunjung turun sampai dekade pertama tahun 2000.
Alih-alih tambah mudah, pada 2010 justru muncul lagi masalah. Gereja Advent Hari Ketujuh mengincar lokasi yang sama untuk rumah ibadah mereka. Akibat tak ditemukan kesepakatan, permasalahan menggelinding ke pengadilan dan memakan waktu sepuluh tahun perdebatan. Keputusan akhir pengadilan muncul pada Oktober 2020 dengan memberikan hak kepada komunitas Muslim Kisumu untuk membangun masjid.
Tanpa buang waktu, kurang dari satu tahun masjid sudah berdiri. Pada peresmian di bulan Juli 2021 lalu Imam Syekh Musa Ismail memberikan nama Masjid Yesus Kristus Putra Maria itu untuk meredakan ketegangan dengan umat Kristiani di Kisumu. “Nabi Isa adalah satu dari 25 nabi yang wajib diimani oleh umat Islam. Jadi bukan masalah,” ujar Syekh Ismail. “Keberatan justru datang dari segelintir orang Kristen yang tidak tahu bahwa Nabi Isa dimuliakan dalam Islam. Tetapi setelah mereka dijelaskan dan ditunjukkan ayat-ayat Al Qur’annya mereka bisa menerima.” Alhamdulillah. Kini masjid itu sudah berjalan normal dengan Ramadan ini sebagai bulan puasa pertama mereka.
Kisah terakhir datang dari negara kaya raya Uni Emirat Arab tempat masjid Mary The Mother of Jesus Mosque (Masjid Maryam Umm ‘Isa) atau “Masjid Maria Bunda Isa” yang berada di distrik Al Mushrif, Abu Dhabi. Saat didirikan pada 1989 nama yang diberikan adalah Masjid Mohammed bin Zayed, yang dinisbatkan dari nama Pangeran Mahkota Mohammed bin Zayed Al Nahyan.
Pada tahun 2017 sang pangeran mengganti nama masjid itu dengan nama sekarang. “Bunda Maria adalah sosok penting di dalam Nasrani dan Islam, sehingga dengan menggunakan namanya sebagai masjid ini saya harapkan semakin memperkuat ikatan persaudaraan kedua umat di negeri ini,” ujarnya.
Agama resmi UAE adalah Islam namun konstitusi mereka menjamin kebebasan beragama dan menjalankan ibadah bagi non-Muslim. Hal itu terlihat dari berdirinya sejumlah gereja dan katedral di dekat Masjid Maria Bunda Isa seperti Katedral St. Joseph, Gereja St. Anthony dan Gereja St. Andrew. Begitu juga rumah ibadah BAPS (Bochasanwasi Akshar Purushottam Swaminarayan) Shri Swaminarayan Mandir—populer disebut Hindu Mandir Abu Dhabi—bagi penganut Hindu. Bangunan megah itu menempati lahan sebuah 55.000 meter persegi.
Kisah singkat dari lima masjid di seantero dunia yang menggunakan nama Nabi Isa dan ibunya Maryam—bagi pembaca yang belum tahu, satu-satunya nama surat di dalam Al Quran yang menggunakan nama perempuan dari 114 surat adalah Surat Maryam yang merupakan surat ke-19—menunjukkan bagaimana umat Islam bisa mengabadikan penghormatan yang patut kepada kedua sosok mulia.
Ini patut dipelajari dan direnungkan oleh para Islamophobist yang selalu bersyakwasangka bahwa umat Islam selalu memusuhi umat Kristen dengan mengedepankan radikalisme dan intoleransi, serta bagi umat Islam sendiri untuk membuka wawasan lebih luas dalam penamaan masjid mereka—terutama yang sedang dan akan dibangun.
Untuk wilayah dengan populasi umat Islam dan Kristen hampir seimbang, penamaan masjid dengan menggunakan nama seperti “Masjid Nabi Isa Alaihissalam” atau “Masjid Maryam binti Imran” bisa jadi alternatif yang patut dipertimbangkan karena akan memancarkan pesan kerukunan dan keharmonisan selain mengingatkan kedua umat untuk terus memperdalam pengetahuan tentang dua sosok istimewa dalam sejarah peradaban umat manusia. [ ]
*Sosiolog, penulis 24 buku. Penerima penghargaan National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena.