Veritas

Tentang Marga Han dan Kutukan yang Melegenda: Begini Kejadiannya

  • Han Siong Kong punya lima putra. Dua putra tertua menetap di Lasem dan gagal jadi orang kaya.
  • Maka kutukan itu dipercaya dan melegenda.

JERNIH — Mungkin Anda pernah dengar tentang makam pendiri Keluarga Han dari Lasem dan kutukannya yang melegenda?

Kutukan itu, demikian cerita yang beredar di masyarakat, dilontarkan Han Wee Sing dari dalam kuburnya. Isi kutukan; marga Han yang tinggal di Lasem, kini masuk Kabupaten Rembang, akan mendapatkan kesialan; jika berbisnis bangkrut dan perempuan tak punya keturunan.

Masih menurut si empunya cerita, dan ditulis di sejumlah media online, kutukan itu mempengaruhi semua orang Tionghoa bermarga Han. Mereka tidak berani menetap di Lasem, bahkan sekedar lewat darat dan udara.

Namun, tidak ada cerita bagaimana kutukan itu dipercaya, dan apakah benar tidak ada keturunan Han Wee Sing yang menetap di Lasem pasca kutukan itu keluar?

Han Wee Sing yang dimaksud adalah Han Siong Kong, saudagar kelahiran Tianbao, Fujian, Cina, 1673. Ia meninggalkan tanah kelahirannya tahun 1700, menetap di Lasem dan sukses membangun usaha. Ia meninggal di Rajegwesi, kini Bojonegoro, tahun 1743 dan dimakamkan di Binangun, dekat Lasem.

Alkisah, saat pemakaman Han Siong Kong terjadi hujan deras dan badai petir. Seluruh pengantar dan anak-anak Han Siong Kong meninggalkan peti jenazah tak jauh dari liang lahat dan mencari perlindungan.

Saat hujan reda, pengantar dan anak-anak Han Siong Kong kembali ke pemakaman dan tidak menemukan lagi peti jenazah. Yang ada adalah sebuah makam. Jadi, jenazah Han Siong Kong dimakamkan kekuatan misterius.

Cerita tutur yang beredar di masyarakat menyebutkan Han Siong Kong mengeluarkan kutukan untuk anak-anaknya. Versi Claudine Lombard-Salmon menyebutkan kutukan itu adalah anak-anak Marga Han yang menetap di Lasem akan bakrut jika berbisnis, dan yang perempuan tidak dapat jodoh.

Kutukan atau Durhaka

Keluaga Han di Lasem adalah aristokrat Tionghoa. Dalam bahasa saat itu, Keluarga Han adalah masyarakat cabang atas, dengan semua tradisinya.

Dalam tradisi Tionghoa, anak-anak harus mengikuti prosesi pemakaman orang tua yang meninggal. Mulai dari bersembahyang di depan jenazah, mengantar jenazah ke pemakaman, dan memakamkannya.

Semua proses itu dharus dijalankan dengan ketat. Tidak boleh ada satu anak pun melewati prosesi ini. Jika itu dilakukan, seorang anak akan disebut puthaw, atau anak durhaka. Jika sebaliknya, seorang anak akan disebut berbakti (unhaw).

Dalam kasus pemakaman Han Siong Kong, anak-anak juragan Lasem itu melakukan tindakan durhaka, yaitu meninggalkan peti jenazah orang tua di tengah hujan deras dan badai petir dan sibuk mencari perlindungan.

Ada dua pertanyaan menarik. Pertama, apakah ada kutukan untuk anak-anak durhaka? Kedua, apakah anak-anak Han Siong Kong meninggalkan Lasem karena merasa terkutuk?

Silsilah yang dibaca Claudine Salmon dan ditulis dalam The Han Family of East Java. Entrepreneurship and Politics (18th-19th Centuries), menyebutkan Han Siong Kong memiliki lima putra dan empat putri, tapi nama istri sang aristokrat bisnis itu tak tertera. Artinya, istri Han Siong Kong adalah wanita lokal yang tak dinikahi secara resmi.

Lima anak Han Siong Kong adalah Han Tjoe Kong, Han Kien Kong, Han Bwee Kong, Han Hing Kong, dan Han Tjien Kong.

Dua putra Han Siong Kong, yaitu Han Tjoe Kong dan Han Kien Kong, menetap di Lasem. Han Bwee Kong, putra ketiga, hijrah ke Surabaya.

Han Hing Kong, putra keempat, menetap di Besuki. Han Tjien Kong, putra kelima, memeluk Islam, ganti nama jadi Soero Pernollo, menikah dengan wanita pribumi, dan menetap di Besuki.

Empat putri Han Siong Kong tak diketahui rimbanya; apakah menetap di Lasem atau menyebar ke kota-kota lain di Jawa Timur.

Kutukan Dipercaya

Dua putra tertua Han Siong Kong yang menetap di Lasem; Han Tjoe Kong dan Han Kien Kong, tak diketahui kabarnya. Jika keduanya, atau salah satunya, sukses dalam bisnis pasti telah jadi petinggi dalam hirarki masyarakat Tionghoa era Hindia-Belanda.

Mereka akan tercatat sebagai pemilik properti; misal tanah partikelir, perkebunan, membuka bisnis perdagangan, atau apa pun. Jika sangat kaya, salah satu dari mereka pasti menjadi lieutnan der Chineezen, bahkan kapitein der Chineezen.

Han Bwee Kong, putra ketiga yang hijrah ke Surabaya, menjadi pengusaha sukses. Ia menyewa tanah Besuki dan Panarukan, menyulapnya jadi perkebunan dan membuka bisnis lainnya. Puncaknya, Han Bwee Kong diangkat sebagai kapiten der Chineezen Surabaya.

Han Hing Hong, putra keempat yang menetap di Besuki, juga tidak diketahui kabarnya. Han Tjin Kong, putra kelima yang menjadi mualaf, menurunkan anak-anak yang berkarier di pemerintahan lokal Jawa Timur era kolonial.

Kegagalan dua putra Han Siong Kong yang menetap di Lasem, yaitu Han Tjoe Kong dan Han Kien Kong, membuat kutukan itu dipercaya. Mungkin, dari sinilah kutukan itu melegenda dan menjadi buah bibir.

Dua Silsilah Marga Han

Han Bwee Kong, putra ketiga Han Siong Kong, memiliki 12 putra dan dua putri. Ia meninggal tahun 1778 dan mewariskan sewa tanah Besuki dan Panarukan ke Han Chan Piet, putra ketiganya. Han Chan Piet naik pangkat dari lieutnan der Chineezen menjadi kapiten der Chineezen.

Tahun 1810, Gubernur Jenderal William Daendels menjual Kecamatan Besuki dan Panarukan kepada Han Chan Piet, dengan kepemilikan seumur hidup. Tuan Guntur, julukan Daendels, juga menaikan pangkat Han Chan Piet menjadi majoor der Chineezen.

Han Kik Ko, putra kelima Han Bwee Kong, mungkin yang paling sukses tapi bernasib tragis. Ia menjadi orang pertama yang menanam tebu dan membuka pabrik gula di Pasuruan. Ia juga menjabat kapiten der Chineezen Pasuruan.

Untuk mengatasi krisis keuangan, Daendels menjual Kabupaten Probolinggo kepada Han Kik Ko. Jadilah orang Marga Han satu ini majoor der Chineezen Probolinggo, yang pelantikannya sedemikan megah. Ia juga tinggal di kediaman bupati.

Han Kik Ko juga membeli tanah di Besuki, dengan belasan desa di dalamnya. Seluruh penduduk desa otomatis menjadi budak yang bekerja di tanah pertaniannya. Han Kik Ko menjadi sangat berkuasa.

Satu hal yang dilupakan Han Kik Ko lupa, yaitu kerabat bupati lama masih berada di tempatnya tapi tanpa desa dan kuasa. Mereka mengintip peluang menghimpun massa dan melakukan pemberontakan.

Tahun 1813, sebelum pasukan Inggris datang, Han Kik Ko terbunuh dalam pemberontakan yang dipimpin Kyai Mas — demang dari selatan Probolinggo. Keluarga Han Kik Ko dilarikan ke Pasuruan.

Tiga putra Han Bwee Kong lainnya relatif sukses dengan menjadi kapten der Chineezen di Juwana, Gresik, dan Pasuruan. Sedangkan Han Swie Kong, putra terakhir Han Bwee Kong, memeluk Islam, menikah dengan perempuan Jawa dan tinggal di Prajekan.

Dua anak Han Tjien Kong, adik Han Bwee Kong, meniti karier di birokrat lokal era kolonial dan sukses menjadi pembesar. Han Sam Kong, anak sulung Han Tjien Kong, memulai karier sebagai Ronggo di Besuki dan berganti nama menjadi Soemodiwirjo.

Ia diangkat sebagai Tumenggung Bangil dengan gelar Ngabehi Soerowidjojo, mendapat gelar adipati dan berubah nama menjadi Adipati Soeroadinegoro. Ia diangkat menjadi bupati pertama di Malang dan Sidayu, dan mengakhiri karier sebagai bupati di Tuban.

Han Mi Djoen, putra kedua Han Tjien Kong, menjadi Ronggo Besuki, Ronggo di Besuki, Tumenggung di Puger dan Bondowoso, dan terakhir Bupati Tegal.

Dari dua anak Han Tjien Kong inilah kemudian lahir anak-anak yang menjadi pemimpin di pemerintahan lokal era kolonial di sekujur Jawa Timur. Keturunan Han Tjien Kong membuat silsilahnya sendiri.

Jadi ada dua silsilah Keluarga Han di Jawa Timur. Silsilah yang bermula dari Han Bwee Kong yang sukses dengan kerajaan bisnisnya, dan silsilah yang bermula dari Han Tjien Kong yang sukses sebagai pemimpin pribumi dalam hirarki birokrat kolonial.

Han di Batavia

Kisah Marga Han di Batavia tak banyak diketahui. Jika melihat Staat der Particulaire Landerijen — termuat dalam Regering Almanak voor Nederlandsche-Indie — kita hanya menemukan Han Keng Long sebagai tanah partikelir Djapan, lokasinya dekat Palmerah saat ini.

Han Keng Long mewariskan tanahnya ke Han Tian Kit, putranya. Setelah pemerintah Hindia-Belanda membeli kembali tanah-tanah partikelir, Marga Han di Batavia tak terdengar lagi.

Yang tidak diketahui adalah apakah marga Han di Batavia memiliki kaitan dengan Keluarga Han van Lasem. 

Back to top button