Di sisi lain, Anies terus melaju. Dengan dukungan publik, tanpa banyak bicara, ia datangi kota-kota di berbagai penjuru Indonesia, satu demi satu. Seolah, semua hal yang potensial menyerimpung langkahnya menuju pencalonan di Pilpres itu justru membawa hikmah, membuatnya melaju deras laksana air bah. Apa yang terjadi buatnya ibarat mengejawantahkan kata-kata Friedrich Nietzsche, filsuf kiri luar Jerman, “Apa yang tak bisa membunuhmu, akan menguatkanmu.”
Oleh : Widdi Aswindi*
JERNIH—Barangkali, hanya pada mitologi Yunani dan kisah wayang India, manusia bisa berjaya menundukkan kehendak para dewa. Dari mitos Yunani kita mengenal Perseus, yang meski dicemburui para dewa dekaden pimpinan Zeus yang bertahta di Olimpus, manusia bumi itu tak pernah bisa dikalahkan para monster suruhan. Di dalam wayang, ada nama Prabu Niwatakawaca (Nivatakavaca—Hindu) yang pernah menyerang dan menguasai Jonggring Salaka, negeri persemayaman para dewa.
Dari sedikitnya cerita pemberontakan manusia kepada dewa selama sejarah panjang manusia, ada kesan kuat yang merata di seluruh dunia. Tanpa sadar manusia bersepakat bahwa melawan kemauan Penguasa Iradah, Sang Maha Berkehendak, adalah perbuatan sia-sia. Setidaknya, menjauhkan kita dari berkah.
Sebaliknya, fisikawan terkemuka Indonesia, Yohanes Surya, punya istilah yang kemudian viral digunakan banyak orang pada pertengahan 2000-an lalu: “mestakung”. Sebagaimana konsep sederhana fisika tentang benda, ketika berada dalam kondisi kritis namun kita terus melangkah maju dengan tekun, maka kita akan melihat “mestakung”, semesta mendukung kita menemukan solusinya. Hal itu kongruen dengan keyakinan Paulo Coelho, dalam novelnya yang mendunia “O Alquimista (The Alchemist)”. “Dan, ketika Anda menginginkan sesuatu, seluruh alam semesta berkonspirasi untuk membantu Anda meraihnya,”tulis Coelho.
Tampaknya semua itulah yang membuat Anies Baswedan–setelah semua peristiwa yang kita saksikan dialaminya–seolah dinding karang, yang tegar tak roboh diterjang gelombang. Ia tetap melaju, dengan nama yang ibarat balon, semakin ditekan ditenggelamkan justru kian mumbul tanpa harus melawan. Si balon hanya melaksanakan fitrah, sementara pikiran dan hati tangan-tangan kuat yang hendak membuatnya terkapar di dasar, buta tertutup nafsu keji dan rasa benci.
Bayangkan, dan mungkin list di bawah ini kurang panjang dibanding senarai yang Anda buat, daftar tentang apa saja yang telah terjadi, atau dibuat ada untuk membelenggu Anies maupun sekadar guna menyerimpungnya.
Banyak pengamat bilang, beberapa peristiwa politik yang terjadi di Tanah Air dalam sekitar satu tahun berselang, tidak bisa sepenuhnya dilepaskan dari konteks (untuk membenamkan) Anies. Bisa jadi itu datang dari benak yang telah pepak dengan teori konspirasi. Tetapi munculnya wacana yang kental bernuansa teori konspirasi itu juga tak bisa dilepaskan dari pekatnya aroma konspirasi dalan setiap momen politik di Tanah Air belakangan ini.
Misalnya, mulai saja dengan wacana penundaan Pemilu, yang bergaung kuat beberapa waktu lalu. Konon itu datang sebagai upaya buying time, menunggu tergelincirnya Anies di satu sisi—apapun sebabnya–, sementara di sisi lain menunggu datangnya waktu yang tepat bagi pihak-pihak tertentu untuk mencalonkan figur pengganti kepemimpinan saat ini.
Wacana tersebut, berdasarkan jejak digital yang ada, bermula dari lontaran Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, Januari 2022. Ia kembali berhasil menggaungkannya pada Maret tahun lalu, dan mencapai puncaknya pada bulan September, dengan endorsement beberapa orang menteri dalam kabinet Jokowi. Namun, kuatnya nalar jernih yang datang dari sekian banyak warga negara, membuat wacana tersebut layu sebelum terlalu mekar berkembang.
Wacana lainnya, perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi, juga melekat erat pada isu penundaan Pemilu. Agak sukar untuk dipilah isu mana yang lebih dulu.
Dengan respons penolakan publik yang marak serta sangat beragam atas narasi-narasi ganjil yang muncul tersebut, teori konspirasi pun berkembang liar. Cukup wajar bila kemudian hal-hal yang bersangkutan dengan Anies—langsung atau pun tidak—pun dilihat dalam kacamata teori konspirasi itu. Salahkah? Sayangnya tidak. Karena kalau harus saya ulangi, narasi-narasi yang muncul massif sehingga mengesankan tertata secara isu dan waktu itu pun pekat dengan aroma konspirasi. Jadi, yang ada kemudian adalah lingkaran setan teori konspirasi, yang bisa diibaratkan teka-teki ayam-telur.
Lihat saja manakala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan semangat 45 mengangkat kembali urusan Formula E—saya memakai kata úrusan’ dan bukan ‘kasus’ untuk menghindari interpretasi bahwa soal itu telah menjadi kasus hukum—masyarakat segera merespons hal itu sebagai ‘pesanan’. Artinya, urusan ini di publik telah berkembang menjadi social distrust.
Bahkan, hal yang sama terjadi ketika berkembang berita tentang pemeriksaan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Mengapa? Karena saat itu pun berkembang usaha percomblangan politik untuk menyandingkan Anies dan Khofifah dalam satu paket.
Hal itu jelas tak hanya membuat Ketua KPK, Firli Bahuri, mumet bin pusing, tetapi sudah membangkitkan geram—setidaknya begitu media massa menulis, paling tidak situs Warta Ekonomi, misalnya. “KPK (melakukan) penyelidikan perkara korupsi Formula E dibilang Firli menjegal Anies. Sekarang KPK geledah kantor Gubernur Jatim juga dibilang ada hubungan dengan Anies. Jadi apa-apa yang dilakukan KPK untuk menjegal Anies,” kata Firli dalam keterangan yang dikutip media massa, Senin, 26 Desember 2022.
Begitu kesan pula yang muncul di publik di saat terjadinya penyatuan Partai Golkar, PPP dan Partai Amanat Nasional (PAN) dalam satu koalisi, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
Lihat pula respons publik atas perkembangan politik mutakhir, yakni Ketika Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengetok palu untuk penundaan Pemilu. Saya ambil satu komentar saja dari sekian banyak pernyataan yang bergaung merespons putusan tersebut. Bagi Manager Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, putusan PN Jakpus itu tak lebih sebagai sebuah bagian dari skenario yang matang dan terstruktur.
“Menurut saya bukan suatu hal yang tiba-tiba. Saya menduga putusan ini adalah bagian dari skenario yang terus-menerus dilakukan oleh sekelompok orang untuk menunda penyelenggaraan Pemilu 2024,” kata Fadli, dalam konferensi pers virtual yang ia gelar, Ahad (5/3/2023). Ketika siapa saja tokoh yang ditengarai masyarakat rajin bicara soal penundaan Pemilu dan penambahan masa jabatan presiden, mau tak mau sorot mata masyarakat kembali terpacak ke Istana.
Anies sih jalan terus
Di sisi lain, Anies terus melaju. Dengan dukungan publik, tanpa banyak bicara, ia datangi kota-kota di berbagai penjuru Indonesia, satu demi satu. Seolah, semua hal yang potensial menyerimpung langkahnya menuju pencalonan di Pilpres itu justru membawa hikmah, membuatnya melaju deras laksana air bah. Apa yang terjadi buatnya ibarat mengejawantahkan kata-kata Friedrich Nietzsche, filsuf kiri luar Jerman, “Apa yang tak bisa membunuhmu, akan menguatkanmu.”
Mungkin, ibarat meminjam kalimat-kalimat cendikiawan sejak muda, Yudi Latif, Anies mempercayai bahwa pada setiap gumpalan awan hitam, selalu ada pendar cahaya keperakan. Every cloud has a silver lining. Di jalan kehidupan, manakala satu pintu tertutup, masih ada pintu lain yang terbuka. Tragedi memberi pelajaran hidup bersahaja: hidup dengan optimisme realistis– bukan optimisme buta; bukan pula pesimisme mati pengharapan.
Anies, tampaknya punya, mengutip kalimat Yudi Latif, “kemampuan tinggi untuk berdamai dengan tragedi dan misteri, yang membuat kehidupannya tak pernah menjadi mandul, kering dan keras tanpa sensitivitas-kontemplatif, conscious-intimacy, daya-daya kuratif serta hubungan-hubungan transformatif dengan yang suci dan yang profan.” Anies, seperti kata penyair John Keats, penyair era romantis Inggris yang disebut Jorge Luis Borges “memiliki gaya yang sangat sarat dengan sensualitas”, punya negative capability, yakni kesanggupan untuk berdamai dengan ketidakpastian, misteri dan keraguan dalam hidup. Sebab tanpa itu, orang akan kehilangan kemanusiaannya.
Maka benar sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, “Perkara setiap mukmin itu menakjubkan. Sesungguhnya, setiap urusan mereka adalah kebaikan. Hal ini tidak terjadi kepada seorang pun kecuali bagi orang mukmin. Apabila ia mendapat kebahagiaan, maka ia bersyukur, maka itu baik baginya, dan apabila ia mendapatkan keburukan, maka ia bersabar, dan itu pun baik baginya.” (HR. Muslim no. 2999). [ ]
* Widdi Aswindi, praktisi dan pegiat survei publik