Crispy

Perlukah Kita Sumringah Mendengar Pernyataan PM Rutte Akui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945?

  • Pengakuan atas Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 harus dilakukan kepala negara Belanda, yaitu Raja Willem Alexander.
  • Prosesnya, lewat perdebatan di parlemen. Jika parlemen setuju, Raja Willem Alexander membuat pernyataan dan diumumkan.

JERNIH — Jawaban atas pertanyaan di atas hanya satu kata, yaitu tidak.

Alasannya, ya emang nggak perlu. Itu hanya gimik politik moral, agar kita tersenyum saat menyambutnya. Tidak lebih. Alasan lain, seharusnya bukan dia yang membuat pengakuan itu, tapi Raja Willem-Alexander sebagai kepala negara Kerajaan Belanda.

Indonesia itu dijajah Kerajaan Belanda. Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Indonesia berkuasa sebagai wakil Kerajaan Belanda di tanah jajahan. Indonesia tidak diperintah pemerintah Belanda.

Dalam sistem monarki konstitusional demokrasi parlementer, kepala negara Kerajaan Belanda adalah raja. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri.

Jadi, yang harus mengakui kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 adalah Raja Willem Alexander, bukan PM Mark Rutte. Tentu saja semua ini melewati proses di parlemen.

Seluruh kekuatan politik di parlemen membahas soal pengakuan ini. Jika parlemen sepakat mengakui kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, Raja Willem Alexander akan meratifikasi. Hasil ratifikasi itu bisa diumumkan langsung oleh raja, atau dibacakan kepala pemerintahan atas nama Raja Belanda.

Untuk sampai pengakuan resmi seperti itu sangat tidak mudah. Pengaruh veteran KNIL dan KL, Tentara Hindia Belanda dan Angkatan Darat Belanda, keluarga, keturunan mereka, dan semua yang terlibat dalam perang dekolonisasi 1946-1949 masih sangat kuat di parlemen.

Parlemen dan Raja Belanda tidak mungkin mengesampingkan perasaan orang-orang ini. Kekuatan-kekuata politik di parlemen Belanda, meski dulu mendukung dekolonisasi, sulit menerima kenyataan harus mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Penyerahan Kedaulatan dan Ratu Juliana

Sejenak melihat ke belakang, terutama ke Desember 1945 atau di ujung Konferensi Meja Bundar (KMB), Ratu Juliana akhirnya dihadapkan pada kenyataan harus menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).

Banyak cerita menyebutkan bagaimana dia menangis sebelum menandatangani penyerahan kedaulatan itu. Mungkin terbayang di benaknya istilah Indïe verloren, rampspoed geboren, atau Hindia Belanda-Belanda hilang, Kesengsaraan datang.

Akhirnya, Ratu Juliana menandatangani pernyataan penyerahan kedaultan kepada RIS pada 27 Desember 1949. Tanggal penyerahan kedaultan itulah yang diakui Belanda sebagai Kemerdekaan Indonesia. Dalam bahasa lain, Belanda memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.

Jika terjadi perubahan kebijakan politik dan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, bukan kepala pemerintahan yang harus melakukannya, tapi kepala negara Kerajaan Belanda.

Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan Kerajaan Belanda, setidaknya dalam waktu dekat. Sebab, konsekuensi yang ditimbukan akan sangat merugikan.

Kelompok-kelompok anti-Belanda di Indonesia, terdiri dari sejarawan dan aktivis, akan menggugat Kerajaan Belanda atas kejahatan yang dilakukan antara 1946-1949. Banyak pihak mengatakan tidak ada perang dekolonisasi 1946-1949, yang ada adalah invasi Kerajaan Belanda terhadap negara merdeka bernama Republik Indonesia.

Maka, Indonesia berhak menggugat ke pengadilan internasional dan meminta kompensasi atas kejahatan Kerajaan Belanda yang menyebabkan ribuan orang tewas.

Jadi, abaikan saja pernyataan PM Mark Rutte. Nggak usah hura-hura, dan hore-hore, dan membicarakannya. Kerajaan Belanda tahu semua konsekuensi atas pengakuaan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus.

Back to top button