Solilokui

Lemahnya Mempertahankan 20 Mei Sebagai Harkitnas

Cucu dr Soetomo sendiri, Savitri Prastiti Scherer, melalui sebuah tesis sejarah yang ditulis untuk Universitas Cornell, Amerika Serikat, pada tahun 1975, menolak anggapan berdirinya BO sebagai momen kebangkitan nasional. Apalagi BO kemudian selalu dipimpin para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang selalu membungkuk-bungkuk kepada pemerintah kolonial Belanda.

Oleh    :  Darmawan  Sepriyossa

JERNIH–Di tengah hiruk-pikuk polemik sains yang dimulai pada pertengahan 2020, pada saat mencekamnya Pandemi COVID-19, Goenawan Mohamad (GM) pernah menulis, bahwa “Ilmu pengetahuan selalu menjanjikan jawab yang meyakinkan, tapi bersamaan dengan itu juga hidup dari pertanyaan dan perdebatan.” Berangkat dari sikap tersebut, GM mengutip pendapat Prof. Karl Popper, filsuf terbesar abad 20 dalam filsafat ilmu, yang memandang bahwa teori ilmiah harus selalu berada dalam keadaan “belum dibantah”. Penemuan ilmu, kata Popper,  selalu bersifat “provisional”, dan kepastian pun bukanlah tujuan. “Tujuan ilmu adalah kebenaran, bukan kepastian,” kata Popper.

Sejarah, selain merupakan kesepakatan, ia pun kita akui merupakan ilmu. Dan karena ilmu, maka ia pun tercakup dalam “keyakinan” Popper. Kesepakatan sejarah alias hal-hal yang sudah “ditetapkan” sebelumnya pun, masih relevan untuk kita anggap senantiasa dalam kondisi “belum dibantah” tadi. Ia ajek selama belum menemukan bantahan, apalagi dengan dalil, hujjah dan data yang meyakinkan. Sejarawan Prof Asvi Warman Adam, menurut penulis telah menunaikan tugasnya dengan senantiasa mengajak kita untuk mengkaji ulang sejarah. Melalui buku-buku beliau atau yang beliau sunting, misalnya : “Pemahaman Sejarah Indonesia” (2005), atau “Pelurusan Sejarah Indonesia” (2009)–sebagai contoh dari banyak karangan beliau yang sejenis–, kita senantiasa diajak untuk bersikap skeptis. Lebih-lebih mengingat pemeo bahwa “history written by the victors” alias—konon–sejarah  lebih banyak ditulis oleh para “pemenang’’.

20 Mei dan mitos kebangkitan nasional

Jika kita memang adil kepada sejarah, seharusnya ada yang dipertanyakan setiap kali menapak 20 Mei. Layakkah tanggal pendirian organisasi Boedi Oetomo itu dianggap sebagai awal kebangkitan nasional bangsa Indonesia?

Bila kita cukup kritis dan tak hanya menerima semua warisan kaum tua sebagai sesuatu yang taken for granted, barangkali kita layak berkata “Tidak!”. Penolakan itu bahkan telah lama diajukan cucu dr Soetomo sendiri. Melalui sebuah tesis sejarah yang ditulis untuk Universitas Cornell, Amerika Serikat, pada tahun 1975 Savitri Prastiti Scherer menolak anggapan tersebut.

Tulisan yang kemudian diterjemahkan menjadi sebuah buku “Keselarasan dan Kejanggalan”, yang awalnya diterbitkan Cornell University Press 1975, diterbitkan Penerbit Sinar Harapan pada 1985, itu menggambarkan Boedi Oetomo pada intinya hanyalah gerakan sosial yang mengartikulasikan kepentingan kelompok priyayi non birokrat yang lokal saja sifatnya.

Savitri menulis, berdirinya BO tak lain karena adanya disharmoni antara priyayi birokrat dengan priyayi profesional, khususnya para dokter Jawa. Savitri mengungkapkan bahwa priyayi-priyayi Jawa, terutama priyayi birokratis yang menerima pejabat-pejabat kesehatan dengan rasa permusuhan. Achmad Jayadiningrat, regent (bupati) Serang mengungkapkan, “Dokter-dokter itu diperlakukan seolah-olah mereka adalah mantri irigasi” Sang Regent juga mengakui betapa buruknya ia memperlakukan seorang dokter yang datang ke rumahnya untuk menolong istrinya yang sedang sakit.

Jadi, kemunculan Boedi Oetomo sebenarnya lebih karena keinginan untuk menolong diri sendiri yang berada dalam posisi rendah dibanding priyayi birokratis. “Kalau kita tidak menolong diri kita sendiri tidak akan ada orang lain yang menolong kita, dan tolonglah diri kalian sendiri” kata Goenawan Mangoenkoesoemo tentang alasan mahasiswa STOVIA mendirikan BO, sebagaimana tertulis dalam buku Paul W van der veur, ed., “Kenang-kenangan Dokter Soetomo”.

Dalam konteks yang sama, Savitri mengungkapkan, aspirasi utama perjuangan Boedi Oetomo ialah keserasian di kalangan masyarakat Jawa. Sewaktu Soewarno diangkat menjadi sekretaris BO cabang Batavia, ia mengeluarkan edaran yang menjelaskan maksud dan tujuan berdirinya BO yakni merintis terciptanya Persatuan Jawa Umum (Algemeene Javaansche Bond).

Lihatlah pidato dr Wahidin Soedirohoesodo dalam kongres pertama BO di Yogyakarta, 3-5 Oktober 1908. Wahidin membuka kongres dengan pidato yang mengagungkan sejarah Jawa dan menekankan pentingnya pendidikan barat bagi kemajuan Jawa, khususnya bagi priyayi Jawa, bukan pendidikan bagi rakyat desa secara umum. Memang ada Goenawan, tokoh muda BO. Ia dan kakaknya, dr Tjipto dengan keras mengemukakan pentingnya pendidikan yang bukan hanya untuk priyayi dan Jawa, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Hindia Belanda.

Sayang ide-ide mereka mentok. Savitri menulis, usulan Goenawan-Tjipto itu lenyap dalam perdebatan panas, segera setelah ia selesai berbicara. Kongres menolak usulan Tjipto untuk menjadikan BO sebagai organisasi politik dan memperluas keanggotaannya bagi seluruh penduduk Hindia Belanda.

Sejalan dengan itu, dalam pasal 2 anggaran dasar BO kemudian tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerja sama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis”. Itulah tujuan BO, yang kacamatanya hanya melihat cakrawala sebatas Jawa-Madura.

Karena itu pula, wajar bila perkumpulan BO dipimpin para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia dan selalu membungkuk-bungkuk kepada pemerintah kolonial Belanda. Usai kongres, BO diketuai Raden T. Tirtokusumo, bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta, seorang yang digaji Belanda dan karena itu sangat setia dan patuh pada induk semangnya.

Yang lebih parah adalah hubungan BO dengan Islam, agama mayoritas pejuang kemerdekaan, juga buruk. Seorang tokoh Masyumi dan mantan ketua majelis Syuro Syarikat Islam, KH. Firdaus AN, dalam “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa”, menulis bahwa sejatinya organisasi pertama yang berdasarkan paham kebangsaan adalah Syarikat Dagang Islam, yang kemudian menjadi Syarikat Islam. KH Firdaus mengungkapkan, adanya indikasi kebencian terhadap Islam di kalangan tokoh-tokoh BO.

Noto Soeroto, salah seorang tokoh Boedi Oetomo, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereninging berkata: “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.”

Tokoh Persatuan Islam yang sempat berkorespondensi dengan Bung Karno selama pembuangan sang Proklamator di Flores, A Hassan, menuliskan di majalah Persis Al Lisan seraya mengutip sebuah artikel di Suara Umum, sebuah media massa milik BO. Menurut A Hassan, di majalah BO itu terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Kabah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (dari Al-Lisan nomor 24, 1938). Sebenarnya, banyak lagi contoh lain seputar itu.

Lalu mengapa dipilih 20 Mei 1908, bukan hari lahir Syarikat Dagang Islam yang terbentuk 16 Oktober 1905 untuk menjadi penanda kebangkitan nasional? Padahal, SDI yang kemudian jadi SI itulah yang sejak awal didirikan untuk menentang masuknya pedagang asing untuk menguasai ekonomi Indonesia saat itu?

Prof Deliar Noer sendiri, lewat bukunya “Gerakan Modern Islam di Indonesia”, menulis,”Nasionalisme Indonesia dimulai sebenarnya dengan nasionalisme Islam. Mereka yang bergerak di bawah panji-panji yang bukan Islam kebanyakannya terdiri dari mereka yang telah meninggalkan tempat buaian mereka semula, tempat mereka mula-mula sekali mengecap asam garam pergerakan.”

Istilah kebangkitan nasional pertama kali dikemukakan Perdana Menteri Hatta pada tahun 1948. Selain situasi politik dalam negeri diwarnai perang kemerdekaan, ada pula gerakan mantan Perdana Menteri Amir Sjarifudin yang pada bulan Februari 1948 membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Ia melakukan berbagai provokasi yang memancing reaksi dari partai lain, seperti Masyumi.

Melihat kondisi negara yang begitu mengkhawatirkan, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantoro) dan dr. Radjiman Wediodiningrat mengusulkan kepada Presiden Soekarno, Perdana Menteri Hatta, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mr Ali Sastroamidjojo agar memperingati peristiwa berdirinya Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, sebagai pengingat semua orang bahwa persatuan kebangsaan itu sudah diperjuangkan begitu lama.

Usulan itu disetujui pemerintah RI. Maka dilaksanakanlah peringatan “Kebangunan Nasional” yang ke-40 pada tahun 1948 itu.

Tetapi memang ada catatan tersendiri tentang Ki Hajar. Dalam “Tapak-tapak Pejuang: dari Reformis ke Revisionis”, yang didasarkan atas tulisan Savitri, A Suryana Sudrajat menulis, selepas dari penjara Ki Hajar memang berubah.

Ia mendirikan Taman Siswa, yang menurut Ruth McVey,”Jawaban abangan kepada sekolah Muhammadiyahnya golongan santri.”

Praktis setelah itu Ki Hajar berhenti dari kegiatan politik. Ia mengganti pandangan pembaruan sosialnya yang radikal dengan kegiatan yang menjurus pengagungan budaya Jawa. Pandangannya pun menjadi sangat elitis. Ia cenderung menjadi pembela status quo.

Tak heran, bila pada 1931, saat HUT ke-25 pemerintahan Paku Alam VII, Ki Hajar menyambutnya dengan tulisan-tulisan yang membanggakan prestasi kebudayaan keluarganya.

Lihatlah, wajar bila Ki Hajar mengusulkan Boedi Oetomo untuk penanda kebangkitan nasional. Boedi Oetomo yang Jawa sentris. Bukan yang lain.

Sementara, peneliti Robert Van Niels dalam “Munculnya Elit Modern Indonesia” justru menulis, “Tanggal berdirinya Budi utomo sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja. Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi. Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat. Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukkan wajah barat.” [Inilah.com]

Check Also
Close
Back to top button