Ini Kata Peneliti BRIN Terkait Melambungnya Harga Beras
Kelangkaan pasokan dan tingginya harga beras di pasaran dipengaruhi sejumlah faktor, di antaranya alih fungsi lahan secara massif, perubahan iklim, demografi seperti usia petani di atas 55 tahun, serta harga pupuk yang tinggi.
JERNIH-Dalam beberapa minggu ini masyarakat disibukkan dengan kesulitan mendapatkan beras dan kalaupun ada harga beras melambung tinggi.
Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Yanu Endar Prasetyo menyebut jika kelangkaan pasokan dan tingginya harga beras di pasaran dipengaruhi sejumlah faktor, di antaranya alih fungsi lahan secara massif, perubahan iklim, demografi seperti usia petani di atas 55 tahun, serta harga pupuk yang tinggi.
“Faktor-faktor itu menjadi ancaman produktivitas pertanian, termasuk beras,” kata Yanu di Jakarta, pada Selasa (27/2/2024).
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), ia menjelaskan bahwa pada tahun 2022, sekitar 98,35 persen penduduk Indonesia mengonsumsi beras. Fakta ini menunjukkan, beras berperan vital pada pola makan masyarakat Indonesia.
“Pada bulan September 2023, rata-rata konsumsi beras per kapita di Indonesia sebesar 6,81 kg per bulan,”
Selanjutnya Yanu menyebut adanya penurunan produktivitas beras yang ditandai banyak penggilingan padi baik skala kecil maupun besar yang berhenti beroperasi. Selama ini penggilingan padi berperan krusial dalam menjalankan fungsi penyimpanan dan distribusi beras, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Dijelaskan Yanu, pada periode 2012-2020, populasi usaha penggilingan padi nasional merosot cukup signifikan dari 182.199unit menjadi 169.789 unit, atau turun 6,81 persen. Sementara itu, pada periode yang sama, usaha penggilingan padi skala besar menurun hingga 49,11 persen dari 2.075unit usaha menjadi 1.056unit.
“Akibatnya, muncul ketidakpastian stok beras, baik dari produksi dalam negeri maupun impor, serta penurunan produksi secara keseluruhan yang disebabkan kombinasi permasalahan hulu dan hilir,”.
Yanu juga menyebut tentang perbedaan dalam pola konsumsi antara masyarakat perkotaan dan perdesaan. Dimana untuk masyarakat perkotaan pada umumnya mengonsumsi rata-rata 6,37 kg per bulan, sementara masyarakat pedesaan mengonsumsi rata-rata 7,41 kg per bulan.
“Perbedaan ini mungkin dipengaruhi faktor aksesibilitas, kebiasaan makan, dan preferensi lokal,”.(tvl)