SolilokuiVeritas

Tak Ada Tangis untuk Aktivis, Anies!

Dalam potret seperti itulah, saya melihat keberadaan seorang Anies Baswedan. Ibarat lomba atletik, Anies sudah menjadi peserta dari lomba lari halang rintang sepanjang hidupnya. Tentu, bukan di ranah privat. Ia dihadang. Ia melompati hadangan. Ia menyenggol halangan dan rintangan. Kaki luka, tapi tak patah. Adakalanya menang, tapi juga merasakan kekalahan. Sesuatu yang terbiasa dalam iklim student government. Ada kalanya ia mendongakan kepala, menggeleng. Tetapi sering juga menatap tajam, mengangguk.

Oleh     : Indra J. Piliang

JERNIH–Angkatan mahasiswa 1966 dikenal sebagai kaum demonstran yang berafiliasi dengan militer. Selama pemerintahan Presiden Soeharto, mereka berkiprah di pemerintahan, parlemen, dan bisnis. Yang jarang, menjadi diplomat. Namun sedikit sekali yang secara terbuka menunjukan diri sebagai afiliator dari Partai Sosialis Indonesia (PSI). PSI, salah-salah, adalah kiri. Dan kiri berarti anti nasionalis. Kiri, adalah pemberontak. Bisa-bisa dinilai lebih dekat kepada komunis.

Peristiwa Malari 1974 kian menjauhkan kelompok mahasiswa sosialis ini dari loyalis Presiden Soeharto. Sekalipun Soemitro Djojohadikusumo, salah satu eksponen penting PSI, menjadi disainer ekonomi. Jenderal Soemitro–jenderal terakhir yang diasosiasikan sosialis—kalah pamor dibanding Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. Bukan saja perantara dari pelemparan produk asal Jepang, Amerika Serikat, dan negara industri lain ke Indonesia, bahkan modal asing yang masuk Indonesia di sektor pertambangan, minyak dan gas, dikomandani kalangan ini.

Adagium Sosialis Kiri (Soski) dan Sosialis Kanan (Soska) muncul dalam masa ini. Namun mereka tak selantang, sebut saja, salah satu menteri dalam kabinet Presi-den Joko Widodo yang pro kendaraan listrik, misalnya.

Rezim Orde Baru yang saat itu menjadi satu dari sedikit kelompok (dan negara) yang dijadikan tujuan investasi (modal) asing, tidak sampai masuk ke dalam organi-sasi intra kampus yang dikenal sebagai pemerintahan mahasiswa (student govern-ment), baik Senat Mahasiswa atau Dewan Mahasiswa. Masing-masing student government itu diikat oleh statuta tersendiri. Pertemuan ratusan pimpinan maha-siswa di Istana Bogor tahun 1970 dengan Presiden Soeharto berhasil memper-tahankan kemandirian ini. Wibawa dan marwah mahasiswa sangat terbaca dalam dokumen pertemuan tersebut.

Dengan basis student government itulah mahasiswa kembali bergerak pada tahun 1977/1978. Pamflet dan selebaran anti modal asing kembali berkumandang. Gerakan yang berakhir dengan penangkapan pimpinan mahasiswa yang tercatat terbesar dan terbanyak sepanjang sejarah Indonesia, bahkan dibandingkan era Hindia Belanda.  Kampus Kuning adalah istilah yang dipakai untuk satu garnizun militer yang khusus digunakan untuk menahan pimpinan dewan-dewan mahasiswa.

Ujung dari seluruh kejadian itu, selain puluhan pledoi bermutu yang ditulis para pimpinan dewan mahasiswa, adalah pembekuan student government dalam bentuk Normalisasi Kehidupan Kampus–Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK–BKK). Walau ditolak, NKK-BKK efektif berlaku selama dekade 1980-an.

Atas prakarsa Kementerian  Pendidikan dan Kebudayaan RI, awal tahun 1990-an hadir Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Mayoritas mahasiswa kampus tak menjalankan. Sebagian eksponen mahasiswa menerima. Universitas Gajah Mada, Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, dan Universitas Brawijaya termasuk kampus yang menerima keberadaan SMPT. Institut Teknologi Bandung berada pada barisan paling depan yang menolak SMPT.

Airlangga Hartarto, ketua umum DPP Partai Golkar, dan Hasto Kristiyanto, sekretaris jenderal DPP PDI Perjuangan, lahir dari organisasi Senat Mahasiswa Fakultas Teknik di UGM, pada dekade 1980-an yang dikerangkeng NKK-BKK. Yusril Ihza Mahendra yang lebih senior, sempat merasakan eksistensi student govern-ment dengan menulis spanduk “Nama Dua Nabi, Kelakuan Dua Iblis” dalam aksi jalanan (tampaknya merujuk mendiang Daoed Joesoef—red.).

Anies Baswedan (UGM), Chandra M Hamzah (UI), Arif Satria (IPB), Andi Soebijakto (Unibraw), Ubeidillah Badrun (UNJ), Syamsul Hidayat (Universitas Sriwijaya), Adi Prayitno (Universitas Diponegoro), dan ratusan nama lain, lahir dari kebijakan SMPT. Tak sepenuhnya dikerangkeng kakinya, tetapi juga sekaligus tak dilakban mulutnya.

Terjadi sinergi antara kelompok studi dan organisasi kemahiswaan intra kampus, misalnya anggota KSM UI Eka Prasetya banyak yang menjadi ketua Senat Fakultas atau ketua Badan Perwakilan Mahasiswaan Fakultas di lingkungan UI. Atau berlatar belakang pers kampus dan mahasiswa pencinta alam di perguruan tinggi lain. Ciri lain, kebanyakan aktivis mahasiswa ‘berasal dari daerah’ alias mahasiswa perantauan.

UI salah satu yang ‘selamat’ dari persaingan organisasi ekstra kampus, terutama sejak kampus dipindahkan ke Depok Jawa Barat tahun 1987. Organisasi ekstra kampus bermuara kepada persaingan di lingkungan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang sudah dianggap sebagai organisasi korporatisme negara. Para aktvis mahasiswa ‘tulen’ tak ingin punya merek di punggung, apalagi di kening dan pikiran mereka.

                                                 ***

Apa yang terjadi dalam kurikulum  pendidikan perwira militer ketika kampus-kampus menghadapi era bergejolak hingga pembonsaian itu?

Tulisan ini tidak akan menyinggung lebih dalam. Yang jelas, akademi militer tak sepenuhnya diburu calon-calon perwira yang berada dalam jalinan iklan: ‘Anak Buruh Tani Nelayan’. Tentu terdapat juga anak-anak dari kalangan berpangkat tinggi. Anak-anak gedongan. Penekanan terpenting, bukan perguruan tinggi yang jauh dari politik dengan normalisasi, tetapi justru  pendidikan perwira militer. Para mahasiswa sering merasa ‘aneh’ dengan perawakan dan penampilan teman-teman sekolah menengah atas mereka, ketika berkumpul dalam reuni sekolah atau pulang kampung dalam saat liburan sekolah. Termasuk–dan terutama sekali-–pikiran-pikiran yang mereka bawa dari ‘kawah candradimuka’ tempat mereka dilatih. Feodalisme mendapatkan lahan tumbuh yang subur.

Pikiran-pikiran yang demokratis, sebagai contoh, berada di lingkungan kampus. Sementara pikiran-pikiran yang doktriner berada di akademi militer dan kepolisian, termasuk sekolah-sekolah kedinasan. Padahal upaya itu tak lain dari langkah sangat serius guna menjadikan tentara Indonesia sebagai tentara profesional.

Patut diingat bahwa militer punya hak memilih dalam pemilu ultra liberal 1955. Bisa dibayangkan dalam satu kesatuan militer setingkat peleton, jangankan batalyon, terdapat afiliator-afiliator partai politik. Pilot dan co-pilot bisa berbeda partai politik, padahal berada di pesawat pemburu yang sama di ketinggian cakrawala.

Paling tidak keadaan ‘tanpa politik’ itu berlangsung selama dua puluh tahun, sejak pertengahan 1970-an sampai pertengahan 1990-an. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang terawasi, sumber informasi tunggal dari media pemerintah yang berciri Bapakisme, hingga penangkapan atas kelompok kritis yang berbeda pandangan–seperti Petisi 50-–berkelindan dengan pertumbuhan ekonomi atas nama pembangunanisme yang menelan korban.

Sampai, kemudian, terjadi krisis ekonomi yang dimulai oleh krisis nilai tukar Bath Thailand terhadap US Dollar Amerika Serikat. Thailand, Malaysia, Indonesia, dan China adalah empat negara di Asia yang menjadi tujuan investasi modal di atas 1 Milyar US Dollar, bersama Argentina dan Mexico, sejak dekade 1990an. Mayoritas negara-negara dunia ketiga sama sekali tak dilirik oleh modal yang datang dari Eropa dan Amerika Serikat, serta Jepang.

Transisi demokrasi dimulai di Indonesia. Tentu dengan didikte oleh International Monetary Fund.

                                                         ***

Manakala ada upaya sejumlah pimpinan partai politik untuk menghadang proses pencalonan Anies Baswedan sebagai Gubernur Daerah Khusus  Jakarta, apa yang bisa dijelaskan?

Mereka bukan saja ada yang berasal dari kampus yang sama dengan Anies, yakni UGM, namun sekaligus bukan pula dari era student government. Betul, ketika Anies terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa UGM, sama sekali belum lewat mekanisme pemilihan raya oleh mahasiswa. Tetapi setidaknya Anies sudah mulai menghidupkan kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik dalam bentuk organisasi kemahasiswaan, bersama sejumlah pimpinan mahasiswa di kampus lain. Kelompok peretas guna mengubah iklim kampus yang otoriter.

Gerakan mahasiswa (student movement) 1998, didahului oleh eksistensi SMPT yang berubah menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa lewat pemilihan raya di sejumlah kampus. Student government sama sekali belum tampil utuh. Sebab, sama sekali belum memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang menjadi statuta atau konstitusi tertinggi Ikatan keluarga Mahasiswa masing-masing kampus.

Bolehlah, bakal muncul kalimat-kalimat sengak dan sengau, “Kenapa melihat sejarah terus, Kamerad?”

Ilmuwan sejarah dengan dingin bakal menunjukan betapa sejarah itu bukanlah pengetahuan tentang masa lalu, tetapi metode merangkai peristiwa, pola, hingga sistem di masa lalu yang bisa saja dikonversi menjadi proyeksi atas masa depan. Sejarah adalah proyektor guna melihat bayangan apa yang, sebut saja, mau dipungut tahun 2045, misalnya. Aksi, reaksi. Tesa, antitesa, sintesa. Materialisme, dialektika, logika.

Dalam potret seperti itulah, saya melihat keberadaan seorang Anies Baswedan. Ibarat lomba atletik, Anies sudah menjadi peserta dari lomba lari halang rintang sepanjang hidupnya. Tentu, bukan di ranah privat. Ia dihadang. Ia melompati hadangan. Ia menyenggol halangan dan rintangan. Kaki luka, tapi tak patah. Adakalanya menang, tapi juga merasakan kekalahan. Sesuatu yang terbiasa dalam iklim student government. Ada kalanya ia mendongakkan kepala, menggeleng. Tetapi sering juga menatap tajam, mengangguk.

Ketika ada sejumlah partai politik mengusung Anies menjadi Calon Gubernur Daerah Khusus  Jakarta, bagi saya bukan berarti Anies sedang menapak periode kedua sebagai gubernur Jakarta. Bagaimana bisa disebut periode kedua, kalau aturan yang dipakai baru pertama kali dijalankan, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta?

Betul, dasar keterpilihan dalam putaran pertama tak berubah, yakni 50 persen tambah 1, tetapi seluruh nomenklatur pemerintahan lain sudah diatur dengan rinci. Siapapun yang dipilih rakyat Jakarta nanti, bakal menjalankan pemerintahan yang sama sekali berbeda dibandingkan gubernur dan wakil gubernur  Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang sudah dikuburkan itu. UU Nomor 2/2024 adalah halang rintang yang bakal dihadapi gubernur dan wakil gubernur DKJ nanti. Siapapun yang punya pengetahuan, pengalaman, dan passion guna menyelesaikan setiap klausul dalam UU itu, layak diusulkan partai-partai politik. Kombinasi partai yang mengusung, sudah pasti tak sama dan seirama dengan pemilu nasional yang sudah berjalan 12 Februari 2024 lalu. Seperti pengalaman  DKI tempo doeloe.

Anies, dan Basuki Tjahaya Purnama, tidak perlu mulai dari awal guna blusukan ke seantero  Jakarta. Semakin lama partai-partai politik menetapkan calon gubernur DKJ, bakal memberikan keunggulan psikologi kepada Anies dan Ahok. Daripada sibuk mematikan obor orang lain, lebih baik lilin sendiri dinyalakan. Biar  Jakarta makin bercahaya.

Dirgahayu Daerah Khusus Jakarta Raya!  [dsy]

*Pemikir merdeka, kader Paryai Golkar

Check Also
Close
Back to top button