CrispyVeritas

365 Guru Besar Kedokteran Gugat Arah Kebijakan Menkes: “Disrupsi” Tak Bisa Gantikan Proses Bermutu

Dalam Surat Pernyataan Keprihatinan tertanggal 20 Mei 2025, para guru besar menyebut dengan gamblang bahwa kebijakan Menkes cenderung terburu-buru, tidak berbasis proses ilmiah, dan mengandung aroma otoritarianisme yang membungkam suara profesional medis. Salah satu contoh paling kontroversial adalah pemindahan jalur pendidikan dokter spesialis dari universitas ke rumah sakit pemerintah, tanpa akuntabilitas akademik yang memadai.

JERNIH– Gelombang perlawanan akademik terhadap kebijakan Menteri Kesehatan kian menggema. Kali ini, sebanyak 365 guru besar dari berbagai fakultas kedokteran di seluruh Indonesia menyatakan keprihatinan mendalam atas arah kebijakan kesehatan nasional yang dinilai merusak mutu pendidikan kedokteran dan mengancam keselamatan sistem kesehatan bangsa.

Dalam Surat Pernyataan Keprihatinan tertanggal 20 Mei 2025, para guru besar menyebut dengan gamblang bahwa kebijakan Menkes cenderung terburu-buru, tidak berbasis proses ilmiah, dan mengandung aroma otoritarianisme yang membungkam suara profesional medis. Salah satu contoh paling kontroversial adalah pemindahan jalur pendidikan dokter spesialis dari universitas ke rumah sakit pemerintah, tanpa akuntabilitas akademik yang memadai.

“Pendirian jalur pendidikan dokter spesialis di luar universitas bukan solusi kekurangan tenaga medis, tetapi langkah instan yang mengorbankan mutu dan keselamatan,” tulis mereka dalam pernyataan bersama itu.

Tak berhenti di situ, Maklumat Padjadjaran yang disampaikan guru besar Universitas Padjadjaran pada 19 Mei 2025, memperkuat kritik tersebut. Mereka menyebut apa yang tengah terjadi sebagai bentuk “Entzauberung”, istilah dari sosiolog Max Weber, yakni hilangnya kesakralan ilmu dan pengabdian karena rasionalitas instrumentalis yang hanya mengejar hasil instan.

Guru Besar Forensik Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Yoni Fuadah Syukriani, menyoroti dengan tajam bagaimana populisme dan budaya instan menjadi ancaman jangka panjang yang jauh lebih serius ketimbang sekadar kontroversi kebijakan.

“Issue jangka menengah dan panjang yang paling berbahaya menurut saya adalah entzauberung, populisme, dan budaya instan, sehingga kebijakan hanya beresonansi di publik. Ini mengkhawatirkan,” ujar Prof. Yoni dalam Forum Guru Besar FK Nasional.

Ia menambahkan, Menkes tampaknya menyandarkan strategi komunikasi publiknya pada narasi disrupsi. “Menkes akan (atau sudah) memakai diksi disrupsi—seolah-olah kebijakan ini menyingkirkan berbagai kesulitan menuju tujuan kesehatan. Maka siapa pun yang tidak setuju, dicitrakan menghalangi tujuan, dan patut dilawan,” katanya.

Paradigma end result-oriented yang mengabaikan integritas proses, menurut Prof. Yoni, menciptakan jebakan logika yang membahayakan demokrasi akademik. “Bagaimana kita melawan narasi yang tampak simpel tapi berbahaya ini? Masyarakat suka solusi cepat, padahal kesehatan publik bukan urusan slogan,” ujarnya.

Dalam surat pernyataan 365 guru besar tersebut, terdapat pula kritik keras atas intervensi Menkes terhadap kolegium dokter spesialis yang telah berkiprah lebih dari 50 tahun. Mereka menolak pembentukan kolegium versi pemerintah yang dilakukan tanpa melibatkan organisasi profesi dan institusi akademik. “Ini mengancam kedaulatan ilmu kedokteran dan membuka jalan masuk kepentingan politik ke ranah keilmuan,” bunyi poin kelima dari pernyataan itu.

Para guru besar juga menyoroti penggunaan pinjaman luar negeri, termasuk dari Bank Dunia, untuk membangun fasilitas sekunder dan tersier yang mewah, alih-alih memperkuat layanan primer seperti puskesmas di daerah tertinggal. Mereka menegaskan bahwa kesehatan bukan hanya soal gedung, tetapi soal kompetensi, etika, dan kepercayaan.

Lebih menyedihkan lagi, menurut para guru besar, munculnya komunikasi publik Menkes yang menyudutkan tenaga medis dan institusi pendidikan. Stigma dan generalisasi terhadap dokter dan fakultas kedokteran dianggap melemahkan kepercayaan publik dan mendorong masyarakat mencari layanan di luar negeri, sebuah ironi di tengah jargon Asta Cita pemerintahan.

Dalam nada yang lebih tegas, Maklumat Padjadjaran bahkan meminta Presiden RI mengevaluasi Menkes karena dianggap telah “melewati batas kewenangan sektoral dan mengambil alih fungsi pendidikan tinggi.” Mereka menilai, pendidikan profesi medis bukan domain administratif kementerian teknis, melainkan bagian tak terpisahkan dari sistem akademik nasional yang menjunjung tinggi Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Kini, pertanyaan yang mengemuka bukan hanya soal siapa yang memegang kendali, melainkan siapa yang akan menjaga akal sehat kebijakan publik. Sebab, jika suara akademisi dibungkam dan ilmu diganti oleh ambisi, maka kita tidak sedang membangun sistem kesehatan—melainkan sedang merobohkannya.

Sebagaimana yang kerap dikutip dari Albert Einstein: “We cannot solve our problems with the same thinking we used when we created them.” Maka membangun sistem kesehatan bermutu tidak bisa dilakukan dengan logika politik dagang, apalagi dengan slogan-slogan disrupsi yang menafikan nurani dan proses ilmiah.

Surat dan maklumat ini adalah pengingat bahwa profesi kedokteran bukan alat kekuasaan. Ia adalah pengabdian. Dan bila negara terus memaksa menjadikannya instrumen kekuasaan, maka perlawanan etis dari mereka yang memegang sumpah Hippokrates hanyalah awal. Sebab seperti yang mereka tegaskan, “Pernyataan ini kami buat sebagai bentuk tanggung jawab intelektual, moral, dan kemanusiaan kami kepada bangsa dan generasi yang akan datang.”

Dan dalam pertarungan antara suara ilmu dan suara kekuasaan, hanya satu yang layak berpihak: kebenaran. []

Back to top button