80 Tahun Perang Dunia II: Mengapa Eropa tak Pernah Akui Kontribusi Prajurit Afrika?

- Setelah perang usai, serdadu kulit putih pulang dengan medali, prajurit kulit hitam berpakaian compang-camping.
- Namun, perang melawan Jerman mengajarkan orang Afrika bahwa kulit putih bukan dewa, dan bisa dilawan.
JERNIH — Setiap tahun, Eropa, AS, dan Rusia, menggelar parade kemenangan Perang Dunia II, tapi prajurit Afrika selalu terlupakan. Hampir tidak pernah ada pembahasan tentang peran mereka di medan dari Eropa, Timur Tengah, India, dan Myanmar.
Dari sudut pandang Barat, dalam kaitan dengan Perang Dunia II, Afrika berada di pinggir sejarah, kecuali kampanye Afrika Utara. Sebab, narasi arus utama perang berfokus pada Eropa dan Pasifik. Perspektif seperti ini bisa dimengerti, tapi menyesatan.
Lebih satu juta orang kulit hitam Afrika terlibat dalam Perang Dunia II dalam setiap kapasitas, sebagai prajurit tempur atau bukan. Mereka terlibat mendalam di setiap wilayah, dan banyak dari mereka harus membayar dengan harga tinggi, yaitu kematian. Sayangnya, karena kulit putih dan berasal dari negeri terjajah, peran mereka tak pernah diakui.
Tanah Jajahan
Ketika Perang Dunia II dimulai, Afrika — kecuali beberapa sebagai pengecualian — adalah tanah jajahan. Sepertiga Afrika diperintah Kekaisaran Inggris dalam berbagai bentuk; koloni, serikat, dan wilayah dependent. Status ini mengharuskan mereka berada di pihak sekutu. Inggris menguasai lebih 10 juta kilometer persegi wilayah Afrika.
Di tempat kedua ada Prancis, yang menguasai sembilan juta kilometer persegi wilayah Afrika, meliputi Afrika Barat, Tengah, dan Madagaskar. Tahun 1940, lebih separuh wilayah metropolitan Afrika diduduki pasukan Jerman, sisanya berada di Bawah pemeirntah kolaborator Vichy.
Secara teknis, Afrika Prancis — atau wilayah Afrika jajahan Prancis — menjadi sekutu Poros. Namun, Sebagian besar koloni itu menyatakan kesetiaan pada pemeirntah Prancis di pengasingan pimpinan Charles de Gaulle.
Di Eropa, Belgia jatuh ke tangan Jerman. Secara teknis, Kongo — jajahan Belgia di Afrika — menjadi bagian Jerman. Namun, Kongo menyatakan setia kepada orang yang menjajahnya yang saat itu mengungsi ke London, Inggris. Angola dan Mozambique patuh kepada rezim Salazar di Portugal, dengan menyatakan tidak memihak.
Dua wilayah Afrika lainnya; Tripolitania (Libya) dan Afrika Oriental (Somalia, Eritrea, dan Ethiopia), berada di bawah pendudukan Italia.
Di medan tempur Eropa, kekuatan colonial menghadapi kekurangan manusia dan sangat membutuhkan tenaga dari negeri jajahan. Belanda juga kekurangan manusia dan merekrut pelajar dari tanah jajahan untuk bertempur. Jika Jepang tidak menduduki Hindia Belanda, bukan tidak mungkin Belanda merekrut tenaga tempur tanah jajahannya di Nusantara.
Prancis dan Inggris merekrut orang-orang Afrika menjadi prajurit. Ironis. Lebih ironis lagi ketika banyak prajurit kulit hitam Afrika bertanya; Bagaimana mungkin kami membela tuan penjajah negeri kami.
Prajurit Afrika terlibat dalam pertempuran besar. Tugas mereka memindahkan amunisi dan perbelakan ke medan perang dan lokasi lain. Mereka juga membantu menyelamatkan yang terluka, membangun pangkalan, benteng, landasan udara, jalan, dan menjaganya.
Tentara untuk Inggris Si Penjajah
Di Afrika Barat, Inggris memperluas Royal West African Frontier (RWAFF), dari 18 ribu prajurit tahun 1939 menjadi 150 ribu pada 1945, yang menghasilkan 28 battalion tempur dan dua divisi yang bertugas di Afrika Timur dan Timur Jauh.
Untuk kali pertama prajurit dari Nigeria, Ghana, Sierra Leone, dan Gambia, keluar dari tanah kelahirannya ke bagian lain Afrika dan dunia. Semua itu membawa pengalaman tak ternilai kepada setiap individu. Mereka melihat orang-orang dengan warna kulit selain hitam dan putih. Mereka melihat yang lain dari teropong senapan, sebagai kawan atau lawan. Mereka menyaksikan kawan dan lawan mati dengan cara yang sama, dan darah mereka sama; merah.
Di Afrika Timur, Resimen Senapan Afrika Raja (KAR) berfungsi sebagai unit inti. RWAFF menciptakan berbagai macam pasukan selama Perang Dunia II, dengan lebih dari 40 batalyon infanteri dan layanan khusus seperti transportasi, sinyal, dan logistic.
Orang Afrika hanya jadi prajurit. Perwiranya adalah kulit putih yang diperbantuka. Prajurit berpangkat dan bintara adalah orang Afrika dari Tanzania, Kenya, Uganda, dan Nyasaland atau Malawi.
Kempanye Afrika Timur
Tahun 1940-1941 tantara Afrika memainkan peran penting dalam Kampanye Afrika Timur, atau pembebasan negara-negara tanduk Afrika dari pendudukan fasis Italia. Sebanyak 19 ribu dari 88.500, atau 22 persen tantara Sekutu asal Afrika Timur dan Barat, terlibat dalam pertempuran besar, bahu membahu dengan saudara seperjuangan dari Uni Afrika Selatan, Inggris, India, Australia, dan Selandia Baru.
Brigade Nigeria berperan besar dalam perebutan Mogadishu, ibu kota Somalia, pada Mei 1941. Pasukan Italia tak berkutik, pilihan mereka adalah menyerah atau mati, saat berusaha mempertahankan Ethiopia, Eritrea, dan Somaliland. Di Italia, Benito Mussolini terpukul hebat.
Perjuangan untuk Burma
Desember 1941, Jepang menyerbu Burma (sekarang Myanmar) yang saat itu koloni Inggris. Asia Tenggar ternyata bukan medan perang yang sulit, tapi sangat ekstrem. Pasukan sekutu bertempur di medan mengerikan, cuaca tidak bersahabat, dan penyakit tropis.
Komandan Tinggi Inggris hanya punya satu pilihan untuk menghadapi situasi ini, yaitu mengerahkan tantara Afrika. Saat itu, Inggris memiliki satu juga tantara. Sebanyak 120 ribu berasal dari Afrika.
Inggris menurunkan pasukan Afrika bertempur di sebelah barat Burma, wilayah penting secara strategis untuk mengendalikan pasokan Utama. Sebagian besar pasukan Afrika adalah infanteri, tapi banyak yang berada di unit zeni.
Orang Afrika mengankut perbekalan. Setiap orang membawa 40 kilogram di atas kepala di jalanan hutan sepanjang 400 kilometer. Harapan Inggris bahwa orang Afrika akan bertahan di iklim Burma ternyata benar. Hanya sedikit di antara mereka jatuh sakit dibanding orang India dan Eropa.
Singkat cerita, ketahanan fisik luar biasa pasukan Afrika berkontribusi penting bagi kemenangan Inggris atas Jepang di Burma.
Kontribusi Rhodesia
Yang juga patut dikenang adalah kontribusi dua negara; Rhoesia Selatan (kini Bernama Zimbabwe) dan Uni Afrika Selatan.
Selama Perang Dunia II, Rhodesia menyediakan lebih banyak serdadu; kulit hitam dan putih, dibanding negara lain. Bahkan, jumlah pasukan yang mereka sumbangkan jauh di atas Inggris.
Orang Rhodesia kulit putih bertempur di AU Kerajaan Inggris di Eropa dan sebagai prajurit pengintai LRDG di Afrika Utara. Tidak seperti di Afrika Selatan, ketegangan rasial di Rhodesia relative kecil, yang membuat kulit hitam dan putih tidak keberatan membentu unit tempur yang dipimpin perwira kulit putih.
Kulit hitam Rhodesia membentuk resimen Rhodesian African Riffles, yang turut bertempur di Burma melawan Jepang. Seorang perwira Inggris mengatakan; “Tindakan orang Afrika, yang Sebagian besar belum pernah mengalami tembakan musuh, layak mendapat penghormatan abadi.”
Hanya Kulit Putih
Di Afrika Selatan, kebijakan apartheid belum diperkenalkan secara resmi api secara de facto berlaku. Kebijakan negara dalam soal militer sangat jelas. Slegs Wit Weermag! atau hanya tantara kulit putih. Akibatnya, tidak ada orang kulit hitam dapat direkrut sebagai prajurit tempur. Namun, muncul masalah.
Afrika Selatan tak kenal wajib militer, dan Union Defense Force — sebutan untuk Angkatan Darat Afrika Selatan saat itu — adalah sukarelawan dan jumlahnya relative kecil, yaitu hanya 5000 orang pada 1939. De Afrikaner Volk, sebutan untuk penduduk kulit putih keturunan Belanda, Prancis, dan Jerman, sangat menentang perang dengan Jerman dan hanya sedikit yang memutuskan bergabung dengan UDF.
Menghadapi kekurangan pasukan dengan unit tambahan, pemerintah Afsel mengizinkan pendaftaran orang kulit berwarna — sebutan resmi untuk mereka yang emmiliki garis keturunan campuran — dan orang-orang India. Mereka yang direkrut ditugaskan sebagai pengemudi dan teknisi.
UDF juga butuh pekerka, sehingga Korps Militer Pribumi dibentuk. Unit ini terdiri dari orang-orang kulit hitam Afsel. Semula mereka ditugaskan sebagai buruh dan penjaga, tapi kemudian dipekerjakan sebagai pengemudi, operator, petugas medis, dan juru tulis.
Orang Afsel bertempur dengan sangat berani. Merka memainkan peran penting dalam kampanye Afrika Timur melawan Italia. Mereka membebaskan Madagascar dari pendudukan Prancis Vichy. Unit Afsel juga terlibat dalam petempuran di Afrika Utara dan di Italia.
Tentara kulit hitam Afsel bertempur bersama rekan-rekan kulit putih mereka. Beberapa menjadi tawanan perang, lainnya tewas. Dari 330 ribu orang Afsel yang bertugas, 77 ribu orang berkulit hitam.
Penembak Jitu Senegal
Prancis juga memiliki korps infateri colonial sejak Kekaisaran Kedua atau pertengahan bad ke-1i9. Meski prajurit berpangkat tinggi dating dari sekujur jajahan Prancis di Afrika, mereka sepakat mengadopsi nama Tirailleur Senegal atau Penembak Jitu Senegal.
Ketika Perang Dunia II meletus, beberapa resimen Tirailleur ditempatkan di daratan prancis dan menghadapi serangan Wehrmacht. Orang Jerman marah, karena sebagai bangsa Arya harus menghadapi ras kulit hitam yang pada masa Reich Ketiga dianggap untermenschen atau submanusia.
Tentara Jerman tidak ingin menawan prajurit Senegal yang menyerah, tapi membunuhnya. Namun, orang Jerman berperilaku aneh terhadap prajurit kulit hitam yang bertempur untuk Inggris. Alasan orang Jerman, kulit hitam yang ikut Inggris adalah budak jadi tidak berbahaya. Alasan lain, orang Jerman punya rasa hormat terhadap orang yang bisa Bahasa Inggris.
Setelah Prancis jatuh di genggaman Adolf Hitler, Tirailleur terus bertempur di berbagai medan. Jenderal Jacques Leclrec dengan 10 ribu tantara di Chad berbaris di padang pasir untuk menyerang posisi Italia di selatan Libya, dan bergerak lebih jauh ke utara untuk bertemu pasukan sekutu di Tripoli.
Kampanye utama Tirailleur adalah pebebasan Prancis dengan Angkatan Darat ke-1 Prancis. Mereka menaklukan Elba, mendarat di selatan Prancis, dan bergerak menuju Alsace.
Ketika Jerman merebut Belgia, otoritas kolonialnya bergabung dengan sekutu dan pasukan colonial Force Publique berada di pihak itu. Mereka berperang melawan Italia di Ethiopia, menjaga Nigeria dari kemungkinan invasi Poros dan bertugas di Mesir sebagai cadangan stragegis.
Ketika Perang Usai
Perang Dunia II usai, Inggris dan Prancis medemobilisasi pasukan. Prajurit kulit putih pulang dengan dada berhias medali, dan disambut teriak kemenangan. Prajurit Afrika pulang dengan pakain compang-camping, tanpa medali di dada, dan beruntung tidak terluka.
Prancis dan Belgia membiarkan prajurit ‘noir’ (hitam) pergi dengan uang pensiun yang sedikit dibanding yang diperoleh prajurit kulit putih. Mereka dilepas tanpa upacara penghormatan dan pidato-pidato.
Mereka berpikir Eropa berutang banyak kepada Afrika. Ada perasaan kecewa ketika pengorbanan mereka tak dihargai, dan benih-benih perlawanan untuk lepas dari penjajahan muncul. Orang Afrika juga mulai mendefinisi ulang pandangan rasial merka.
Sebelum perang, orang Afrika mendewakan kulit putih. Saat perang, ketika mereka harus menembak tentara Jerman yang kulit putih, mereka menemukan orang kulit putih hanya manusia dengan otot, darah, dan tulang yang sama. Mitos dewa orang Eropa hancur total.
Kesadaran politik orang Afrika terbangun, karena makin banyak orang kulit putih yang belajar membaca dan menulis saat bertugas selama Perang Dunia II. Mereka membaca koran untuk tahu urusan di Eropa akan mempengaruhi hidup mereka.
Mereka mulai menceritakan pengamatan mereka kepada teman, tetangga, dan membentuk kelompok diskusi. Mereka mengajarkan anak-anak di tempat mereka tinggal membaca dan menulis. Mereka mengajukan pertanyaan retoris kepada setiap orang; Jika orang Jerman salah memerintah Prancis, mengapa orang Eropa boleh memerintah orang Afrika? Apakah kita seburuk dan sebodoh itu, dan tak bisa memerintah negara kita sendiri, atau apakah alasannya sama sekali berbeda?
Cerita berikutnya adalah perjuangan Afrika melepaskan dari kolonialisme, dengan penggeraknya adalah prajurit yang mati-matian membela tuan penjajah mereka pada Perang Dunia II.