Akhirnya Dua Pulau di Sumatera Selatan Jadi Juga Tengggelam
PALEMBANG– Setelah sekitar tiga bulan lalu diprediksi, akhirnya dua pulau di Sumatera Selatan jadi juga tenggelam. Tanpa gunting pita, pecah kendi atau bahkan mengucap sayonara, dua pulau yang memang tak berpenghuni itu ditelan permukaan air laut yang naik.
Jangan salah, dua pulau lainnya diperkirakan akan segera menyusul. Moody’s Investors Service telah memperingatkan jauh-jauh hari bahwa hilangnya pulau-pulau itu dapat berdampak negatif pada profil kredit negara.
Kini Pulau Betet dan Pulau Gundul hanya bisa menyelam sekitar satu sampai tiga meter di bawah permukaan laut. Kedua pulau itu sejak lama diprediksi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) akan tenggelam. WALHI juga memperingatkan pulau-pulau dataran rendah lainnya di Indonesia mungkin akan segera menyusul.
Menurut analis risiko dari Moody’s, Anushka Shah, implikasi dari kenaikan permukaan laut terhadap peringkat kredit negara yang terkena dampak memang tergantung pada frekuensi dan tingkat keparahan yang terjadi serta kapasitas adaptif untuk mengatasinya. Namun ia bisa memastikan kebanyakan berdampak buruk.
“Sejauh ini, kami tidak menilai peristiwa seperti itu memiliki dampak material pada profil kredit negara Indonesia, sebagian karena mereka diimbangi dengan aspek mitigasi dan kekuatan kredit lainnya,” ujar Shah. Namun ia menambahkan, peristiwa seperti itu jika terus terulang pasti akan merugikan.
Peringatan Moody’s tersebut muncul seiring lembaga pemeringkat itu mulai memberikan penekanan lebih besar pada masalah lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam penilaian kualitas kredit dan keputusan investasi. Peringatan itu juga disambut baik para pakar lingkungan Indonesia seperti Dharsono Hartono, salah satu pendiri Rimba Makmur Utama, perusahaan yang menjalankan proyek eko-restorasi dan pelestarian.
“Ini bisa menjadi awal dari (pergeseran) paradigma penting di antara masyarakat ekonomi dunia menuju pola pikir baru yang restoratif dan berpusat pada ekologi,” ujar Dharsono sebagaimana dikutip South China Morning Post. Menurut dia, beberapa perusahaan dan investor kini benar-benar memahami risiko jangka menengah yang nyata dari perubahan iklim.
Analisis Moody’s juga menegaskan, pihaknya akan terus menilai kembali peringkat negara-negara dan dapat merevisi penilaian tersebut seiring berlanjutnya perubahan iklim serta perkembangan ilmu iklim.
Hairul Sobri, direktur eksekutif Walhi Sumatera Selatan menyatakan hilangnya pulau-pulau di Sumatera tersebut adalah hasil dari akumulasi kerusakan lingkungan yang disebabkan kebakaran hutan, buruknya konversi penggunaan lahan dan rakusnya industri-industri besar, seperti pertambangan, industri kehutanan, dan perkebunan.
Intan Suci Nurhati, peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Sumsel, sebagaimana dikutip SCMP juga mengatakan, Sumsel yang merupakan lokasi sejumlah perkebunan dan tambang, sering mengalami kebakaran hutan besar-besaran yang menghasilkan kabut asap berbahaya. Ketergantungan provinsi itu pada industri minyak dan gas juga telah berkontribusi pada perubahan iklim, yang menjadi penyebab naiknya permukaan laut.
Bukan hanya Sumatra Selatan, bagian lain dari Indonesia, seperti daerah pantai dengan dataran rendah di utara Jawa, Kalimantan Selatan, dan Dolok di Papua selatan, mungkin juga berisiko tenggelam karena naiknya permukaan laut, kata Intan. Intan menambahkan, perubahan iklim juga berpotensi mengancam ekosistem dan budaya setempat jika sumber daya daratan dan pesisir akan hilang secara bertahap. Namun menurut dia, detil kehilangan itu masih memerlukan studi lebih lanjut.
Dia menganjurkan rencana pembangunan rendah karbon, pencegahan kebakaran hutan yang lebih baik, dan perlindungan lahan gambut yang menyerap karbon, hutan bakau, dan lamun untuk mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia secara keseluruhan.
Sementara Dharsono–yang perusahaannya memiliki 150 ribu hektare lahan gambut di Kalimantan Tengah yang digunakannya untuk menjual ‘kredit karbon’ kepada perusahaan sehingga mereka dapat mengimbangi emisi karbon, menegaskan perlunya regulasi yang lebih kuat dan pengembangan lebih lanjut dari pasar perdagangan karbon.
“Para penghasil emisi di bagian lain dunia dapat membeli offset mereka dari (kami) dan, pada akhirnya itu juga membantu masyarakat setempat beralih dari kegiatan berkarbon tinggi, seperti pertanian tebang-bakar, kepada kegiatan yang lebih berkelanjutan, seperti usaha gula kelapa,” kata Dharsono. Ia berkeyakinan, sebenarnya pemerintah Indonesia telah berhasil memerangi kebakaran hutan sejak membentuk Badan Restorasi Lahan Gambut pada 2016, dan bahwa emisi gas rumah kaca Indonesia telah cenderung turun sejak puncaknya pada 2015.
Sementara itu WALHI telah meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali konsesi hutan yang diberikannya kepada para pengusaha, dan menyerukan upaya yang lebih serius untuk merehabilitasi ekosistem, jika negara ingin mengimbangi ancaman perubahan iklim yang terus berkembang. [SouthChinaMorningPost]