Ateng juga menyoroti keterkaitan antara mafia tanah dengan Proyek Strategis Nasional (PSN). Menurutnya, proyek-proyek infrastruktur yang membutuhkan pembebasan lahan skala besar sering kali menjadi peluang bagi mafia tanah untuk mencari keuntungan. “Banyak kasus di mana mafia tanah membeli lahan rakyat dengan harga murah, lalu menjualnya kembali kepada pemerintah dengan harga tinggi. Ini ironi yang harus diatasi,” ujar Ateng.
JERNIH– Bagi masyarakat Indonesia, tanah memiliki arti yang lebih dari sekadar properti; ia adalah sumber kehidupan dan simbol keadilan sosial. Namun, tanah juga kerap menjadi lahan perebutan oleh mafia tanah, yang memanfaatkan celah hukum dan lemahnya pengawasan negara. Hal tersebut disampaikan Ateng Sutisna, anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dalam pembicaraan dengan para wartawan berbagai media, akhir pekan ini.
Ateng menyoroti pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, yang menegaskan komitmen untuk memberantas mafia tanah. Menteri Nusron bahkan menyatakan akan mengambil langkah tegas, termasuk memiskinkan para pelaku. Namun, menurut Ateng, janji tersebut harus didukung dengan langkah konkret.
“Langkah memiskinkan mafia tanah adalah wacana positif. Tetapi keberhasilan ini memerlukan keberanian politik, kerangka hukum yang kuat, dan tindakan nyata di lapangan,” kata Ateng, yang mewakili pemilih dari Kabupaten Sumedang, Majalengka dan Subang tersebut.
Ia menambahkan bahwa mafia tanah sering kali memiliki jaringan kuat, termasuk dengan pejabat pemerintah dan aparat keamanan. Tanpa keberanian untuk menindak pihak-pihak yang terlibat, pemberantasan mafia tanah sulit diwujudkan.
Tantangan Proyek Strategis Nasional (PSN)
Ateng juga menyoroti keterkaitan antara mafia tanah dengan Proyek Strategis Nasional (PSN). Menurutnya, proyek-proyek infrastruktur yang membutuhkan pembebasan lahan skala besar sering kali menjadi peluang bagi mafia tanah untuk mencari keuntungan.
“Banyak kasus di mana mafia tanah membeli lahan rakyat dengan harga murah, lalu menjualnya kembali kepada pemerintah dengan harga tinggi. Ini ironi yang harus diatasi,” ujar Ateng.
Ia juga mengkritik kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja, yang dinilainya membuka celah baru bagi mafia tanah. Perubahan aturan terkait alih fungsi lahan dinilai mempermudah pihak-pihak tertentu untuk menguasai tanah secara ilegal. “Pemerintah harus memastikan kebijakan ini tidak mengorbankan hak rakyat kecil,” tegasnya.
Untuk itu Ateng menyarankan agar Indonesia belajar dari pengalaman negara lain, seperti Brazil dan Rwanda, dalam memberantas mafia tanah. Di Brazil, reforma agraria dijalankan melalui lembaga khusus yang memastikan lahan produktif dan didistribusikan secara adil. Rwanda, di sisi lain, telah menerapkan sistem pendaftaran tanah berbasis digital yang transparan, sehingga meminimalkan celah manipulasi.
“Digitalisasi sistem pertanahan di Indonesia harus segera dipercepat. Ini adalah langkah kunci untuk menutup ruang bagi praktik mafia tanah,” tambahnya.
Tidak sekadar mengkritik, secara konkret Ateng mengusulkan beberapa langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah, di antaranya:
-Memperkuat regulasi penyitaan aset mafia tanah dan redistribusi lahan kepada rakyat kecil.
-Mempercepat digitalisasi sistem pertanahan untuk menutup celah manipulasi dokumen.
-Memastikan keberpihakan pada masyarakat adat dan petani kecil melalui reforma agraria.
-Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang hak atas tanah. “Tanpa keberanian untuk menindak mafia tanah dan aparat yang terlibat, komitmen ini hanya akan menjadi wacana,” katanya.
Di akhir obrolan Ateng menegaskan, pemberantasan mafia tanah bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal keadilan sosial. “Jika pemerintah serius, ini bisa menjadi awal yang baik untuk menciptakan sistem pertanahan yang lebih adil. Namun, jika hanya berhenti sebagai janji, rakyat kecil yang akan kembali menjadi korban,” kata dia. [rls]