CrispyVeritas

Bagaimana Orang Belanda Mengenang 27 Desember?

  • Banyak yang tidak kita ketahui tentang Konferensi Meja Bundar (KMB)
  • Sebelum KMB, muncul istilah Indië verloren, rampspoed geboren, atau Hindia-Belanda Hilang, Belanda Menghadapi Bencana.
  • Belanda meminta Indonesia membayar seluruh biaya operasi militer antara 1945-1949.
  • Aliran uang dari bekas tanah jajahan membuat Belanda membangun kembali industrinya.

Hari ini, 27 Desember 1948, Konferensi Meja Bundar (KMB) berakhir. Di Indonesia, sedikit orang mengenang peristiwa ini sebagai Hari Kedaulatan Republik Indonesia, karena pada hari itu Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).

Di Belanda, menurut Lamberg Giebels dalam The Indonesian Injection – De Groene Amsterdammer, hari itu dikenang orang Belanda sebagai saat paling mengenaskan tapi juga menggembirakan.

Yang pertama mengacu pada keputusan Ratu Juliana menandatangani penyerahan kedaulatan Hindia-Belanda kepada Indonesia di alun-alun Dam di Amsterdam. Sejak saat itu Belanda sebagai kekuatan kolonial runtuh. Sebagai gantinya, Belanda tidak lebih dari negara kecil seperti Denmark.

Kedua, Belanda sedikit bernafas lega karena hasil perundingan — yang dilakukan beberapa hari sebelum Ratu Juliana menandatangani penyerahan kedaulatan — menjamin pembangunan kembali Belanda pasca-perang. Indonesia secara tidak langsung membiayai rekonstruksi itu.

Utang Hindia-Belanda dan Papua

Sebelum konferensi, delegasi Indonesia dan Belanda merundingkan masalah utang Hindia-Belanda ke lembaga-lembaga keuangan. Belanda memaksa Indonesia membayar seluruh dari 6,5 miliar gulden utang Hindia-Belanda.

Jumlah sebanyak itu termasuk biaya perang dekolonisasi antara 1945 sampai 1948, termasuk dua agresi militer — Belanda menyebutnya aksi polisionil — ke Yogyakarta. Artinya, Indonesia harus membayar biaya kegagalan Belanda menguasai kembali tanah jajahannya.

Marle Cochran (AS), satu dari tiga anggota United Nations Commission for Indonesia (UNCI), menyebutnya usulan konyol dan berlebihan. Willem Drees, pemimpin Partai Buruh dan PM Belanda saat itu, marah dan meminta Cochrah membujuk perundingan keuangan Belanda untuk menurunkan angka itu.

Dua anggota UNCI lainnya; Thomas Critchley (Australia) dan Raymond Herremans (Belgia), relatif tidak terlibat dalam perundingan ini. Critchley dianggap terlalu berpihak ke Indonesia, dan tidak banyak dilibatkan dalam perundingan-perundingan penting.

Setelah pembicaraan berhari-hari, perunding Belanda setuju menurunkan jumlah utang Hindia-Belanda yang harus dibayar Indonesia menjadi 4,5 miliar gulden. Delegasi Indonesia setuju.

Menurut Giebels, naluri bisnis delegasi Belanda benar-benar membawa keuntungan signifikan. Setelah mendapat jaminan pembayaran utang, Belanda berusaha mendapatkan status mitra dagang istimewa dari delegasi Indonesia.

Entah apa yang terjadi, Belanda mendapatkan status itu. Itu berarti, Belanda akan menikmati sekitar tiga miliar gulden investasi swasta Belanda, yang dapat ditransfer ke Belanda dengan bunga menarik.

Tidak berhenti sampai di situ, Belanda berkeras sikap soal Nugini Barat, kini bernama Papua. Belanda berencana menjadikan Papua sebagai koloni terakhir, tempat orang-orang yang setia kepada Belanda, petani kulit putih Belanda, dan misionaris, bermukim.

Di balik pintu, delegasi Belanda membicarakan soal kekayaan alam papua; bauksit, tembaga, emas, dan minyak. Militer Belanda ingin menjadikan wilayah itu pangkalan AL Belanda untuk kawasan Pasifik.

KBM nyaris menemui jalan buntu. Belanda tak mengubah pendiriannya. Di pihak Indonesia, Presiden Soekarno terlanjur memprokamirkan kemerdekaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Kebuntuan dipecahkan. Ketua UNCI Marle Cochran menghapus Nugini Barat atau Papua dari KMB. Di bawah tekanan waktu, Belanda dan Indonesia, dalam hal ini RIS, berkomitmen untuk berkonsultasi lebih lanjut tentang status Papua dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan.

Inilah bom waktu KMB. Sebab, tahun-tahun berikut terjadi reaksi berantai.

Setelah penyerahan kedaulatan, muncul ketidak-percayaan antara kedua mitra Serikat. Indonesia tidak percaya PM Willem Drees, dan Presiden Soekarno memperlihatkannya dengan mengubah seluruh nama jalan peninggalan Belanda.

Van Heutsz Boulevard menjadi Jl Diponegoro. Oranje Boulevard menjadi Jl Diponegoro. Hampir seluruh jalan di kawasan Menteng, permukiman elite Hindia-Belanda, diganti dengan menggunakan nama-nama pahlawan.

PM Drees juga kecewa dengan keputusan pemerintah Indonesia yang tetap menjadikan 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan, bukan 27 Desember 1949. Drees makin kecewa ketika Soekarno menutup pemerintah federal, dan memproklamasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950.

Belanda melupakan satu hal, tidak ada orang Indonesia menyukai RIS. Bagi setiap pemimpin Indonesia, RIS adalah cara Belanda untuk membentuk negara boneka di tubuh Indonesia.

Ini terlihat ketika Kapten Raymond Westerling, pada Januari 1950, berusaha mengembalikan kekuasaan Belanda di Jawa Barat. Ia mendapat dukungan penuh tentara KNIL. Belakangan, KNIL memproklamirkan kemerdekaan di Ambon.

Namun, isu yang membuat hubungan Indonesia-Belanda benar-benar hancur adalah Papua. Setelah Soekarno membubarkan RIS, politisi Belanda sampai pada keyakinan Papua tidak boleh diserahkan kepada Indonesia.

Indonesia-Belanda kembali berbicara tahun 1950 tapi tidak menghasil apa-apa. PM Drees berargumentasi adalah kewajiban Belanda mengangkat orang Papua dari zaman batu menjadi beradab. Untuk alasan ini Drees mendapat sekutu dari kalangan Katolik Roma, yaitu Joseph Marie Antoine Hubert Luns.

Drees dan Luns tidak percaya misi mulia ini bisa dijalankan Indonesia. Menurut keduanya, Soekarno adalah jenius jahat yang hobi nyaplok wilayah.

Tahun 1956, delegasi Belanda dan Indonesia bertemu di Jenewa untuk membicarakan masalah Papua. Dr Ida Anak Agung Gde Agung, yang di KMB hadir sebagai perwakilan RIS, kini menteri luar negeri dalam NKRI. Delegasi Belanda dipimpin Luns.

Dr Ida Anak Agung Gde Agung, anak Raja Gianyar, memberikan makalah soal Papua kepada Luns. Luns melempar makalah itu ke tong sampah. Konferensi Jenewa berakhir.

Reaksi Berantai

Delegasi Indonesia pulang dengan perasaan putus asa. Kabinet PM Burhanuddin Harahap merespon dengan mengakhiri Uni Indonesia-Belanda pada Februari 1956, dan penghentian kesepakatan finansial dan pembayaran utang.

Di Jakarta, masyarakat kelas atas Belanda berusaha mempertahankan gaya hidup kolonial. Societat de Harmonie masih berdenyut, dengan orang-orang kaya Belanda berkumpul dan dansa-dansi di dalamnya. Marina di Tanjung Priok tidak bisa dimasuki orang Indonesia.

Indonesia telah berdaulat, tapi masih tidak bisa memasuki semua yang diduduki orang Belanda sampai sekian tahun setelah KMB.

PM Ali Sastroamidjojo berusaha menyelesaikan masalah Papua dengan mengajukan resolusi ke PBB. AS, saat itu dipimpin Presiden Dwight Eisenhower dan Menlu John Foster Dulles, tidak mendukung resolusi itu karena Belanda anggota NATO.

Upaya resolusi terus dilakukan sampai empat kali dan gagal. Di Indonesia, rakyat marah. Pekerja Indonesia mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda di seluruh Indonesia. Terjadilah nasionalisasi tanpa kompensasi, dan pemukim Belanda di Indonesia terusir.

Kini, yang tersisa di bekan orang Belanda soal KMB bukan lagi tentang Papua dan nasionalisasi paksa perusahaan-perusahaan Belanda, tapi keputusan Soekarno menghentikan pembayaran utang.

Antara 1950-1956, Indonesia telah membayar utang hampir empat miliar gulden. Sisa utang yang harus dibayar, terhitung saat dihentikan Soekarno, adalah 650 juta gulden. Jadi, Indonesia membayar lebih besar dari yang disepakati dalam KMB.

Apa arti uang sebanyak itu bagi Belanda? Orang Belanda mengabaikannya. Sebab, pembangunan kembali Belanda dibiayai Marshall Plan. Belanda menerima 1.127 miliar dolar antara 1948-1953. Jadi, uang Indonesia nggak ada apa-apanya. Menurut Giebels, kontribusi Indonesia tidak bisa diabaikan.

Aspek lain yang masih tertanam di ingatan orang Belanda adalah nasionalisasi paksa perusahaan-perusahaan para meneer. Orang Belanda mengabaikan capital gain, dana pensiun dan dana tabungan yang ditransfer dari Indonesia ke belanda, yang memberikan kontribusi luar biasa bagi pendapatan nasional selama tahun 1950-an.

Tahun 1950-an dikenal orang Belanda sebagai saat-saat termiskin. Suntikan dana dari Indonesia antara 1950-1957 membuat Belanda mampu membangun kembali industrinya dalam waktu singkat. Masa ini dikenal sebagai le miracle hollandaise, atau keajaiban Belanda.

Jadi, frasa Indië verloren, rampspoed geboren — atau Hindia-Belanda hilang Belanda menghadapi bencana — tidak terjadi. Yang terjadi adalah industri Belanda dibangun kembali oleh aliran uang dari bekas tanah jajahan.

Tiga dekade setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) Suriname memperoleh kemerdekaan, dan Belanda membayar mahar dua miliar gulden. Belanda membangun bekas negara jajahannya di Amerika Latin, tapi tidak sepeser pun memberi ganti rugi kepada Indonesia.

Back to top button