Bang Ali, Pasar Gambir, dan Djakarta Fair
- Gubernur Ali Sadikin menginginkan sebuah pasar malam untuk memberi hiburan murah kepada rakyat.
- Djakarta Fair hadir di lokasi yang pernah menjadi Pasar Gambir era kolonial.
JERNIH — Gubernur Ali Sadikin tidak pernah ke Pasar Gambir, tapi banyak mendengar pesta rakyat tahunan era kolonial itu dari saudara-saudaranya. Ia membaca Java Bode, salah satu koran beken Hindia-Belanda tahun 1930-an, yang sering menulis laporan tentang Pasar Gambir.
Memori tentang Pasar Gambir tentu saja dengan segala kemeriahan yang digambarkan saudara-saudaranya dan Java Bode tertanam dalam benaknya.
Suatu hari akhir Januari 1968, saat sedang berkeliling memeriksa kebersihan Monas bersama Rio Tambunan dan Djumatidjin, Bang Ali tiba-tiba mengemukakan gagasan menghidupkan kembali Pasar Gambir.
Ia secara serius membicarakan gagasan ini dan cara mewujudkannya kepada semua orang dekatnya di pemerintahan Daerah Chusus Ibu Kota (DCI) Jakarta. Ia memberikan gambaran umum sebuah pasar malam yang mirip Pasar Gambir, menyajikan hiburan murah untuk masyarakat ibu kota dan sarana promosi industri dalam negeri.
Bang Ali menginginkan pasar malam bentukannya bernilai komersil tinggi agar Pemerintah DCI Jakarta memiliki sumber pendapatan baru. Secara rinci, tujuan pasar malam yang diinginkan bang Ali tertuang dalam Perda No 8 Tahun 1968.
Pertama, mendorong dan memberikan kesempatan promosi bagi usaha-usaha perdagangan, perindustrian, penanaman modal asing, kerajinan rakyat, jasa-jasa, serta kegiatan perekonomian lainnya.
Kedua, sebagai wadah yang mendorong kreasi seni dan budaya yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Ketiga, mendorong dan mengembangkan industri pariwisata.
Keempat, memberikan rekreasi dan hiburan yang sehat kepada masyarakat. Kelima, mendorong dan mengembangkan kegiatan usaha edukatif dan informatif yang mengarah ke peningkatan kehidupan spiritual masyarakat.
Bang Ali seperti dikejar waktu. Ia ingin Djakarta Fair, demikian dia menyebut pasar malam pertama yang dibangunnya, terselenggara tahun itu juga. Akhir Februari 1968, Bang Ali secara resmi menunjuk Kamar Dagang dan Industri Nasional (Kadin) Jaya sebagai penyelenggara Djakarta Fair pertama.
Bang Ali melihat Kadin Jaya adalah satu-satunya organisasi pengusaha yang diakui pemerintah setelah pembubaran Badan Musyawarah Pengusaha Nasional Swasta (Bamunas) tahun 1967.
Kadin Jaya bersama Pemerintah DCI Jakarta membentuk kepanitian dan menunjuk Syamsudin Mangan sebagai ketua. Brigjen Usman Ismail menjadi wakilnya. Keduanya merangkul banyak unsur ke dalam kepanitiaan untuk memuluskan kerja cepat mewujudkan gagasan sang gubernur.
Bang Ali memberi target Djakarta Fair harus dibuka pada 15 Juni atau sepekan sebelum ulang tahun Jakarta. Jadi, panitia hanya mempunyai waktu empat bulan untuk merancang arena, menghimpun partisipan dari kalangan pengusaha besar dan kecil, perusahaan multinasional, pemerintahan provinsi di luar Jakarta, dan perwakilan negara-negara sahabat.
Sampai dua bulan pertama, persiapan tidak ada masalah. Pada 13 April 1968 muncul masalah serius, yakni Syamsudin Mangan meninggal dunia. Dua hari setelah pemakaman sang raja tekstil, panitia Djakarta Fair menggelar rapat untuk menunjuk Brigjen Usman Ismail sebagai ketua baru.
Untuk mengenang jasa Syamsudin Mangan, Bang Ali memberi gelar warga kehormatan dan membangun plaza di Djakarta Fair. Plaza juga berfungsi sebagai pintu masuk arena Djakarta Fair.
Djakarta Fair, kemudian dikenal publik Jakarta dengan singkatan DF, dibuka Presiden Soeharto pada 15 Juni di lokasi yang pernah menjadi Pasar Gambir. Ribuan warga Jakarta yang relatif masih dihantui kengerian Peristiwa 1966 tumplek di Monas.
Dalam pidato sambutannya, Bang Ali mengatakan semoga DF menjadi sumbangan kecil jelang Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) 1969-1974. Jakarta, demikian kata Bang Ali, adalah kota berpenduduk 4,5 juta yang kian haus hiburan dan sedang bergerak menjadi kota industri dan perdagangan.
DF pertama diikuti 200 peserta, terdiri atas swasta nasional, departemen, pemerintah provinsi Sumatra Barat dan DCI Jakarta, serta perwakilan dagang negara sahabat, seperti Jerman Barat, Jepang, India, Malaysia, dan Amerika Serikat (AS). DF tidak hanya sarat hiburan, tapi juga kegiatan promosi perdagangan, jasa, pariwisata, dan lainnya.
Namun, DF pertama bukan tanpa kritik. Sejumlah koran menyebut DF pertama adalah gambaran suramnya perekonomian dalam negeri. Tidak satu pun perusahaan tekstil membuka stan, menyusul ambruknya industri tekstil dalam negeri akibat serbuan produk impor.
Industri keramik Indonesia saat itu juga kembang-kempis, menyusul masuknya keramik dari negara-negara Eropa. Di sisi lain, dua perusahaan swasta nasional, PT Gobel dan Tjawang Concern—perakit alat-alat elektronik rumah tangga dan alat-alat pertanian—gencar mempromosikan produknya.
Tidak mudah meyakinkan swasta nasional untuk berpartisipasi dalam event pertama ini. Sejumlah perusahaan ragu-ragu dan memutuskan tidak ikut serta pada perhelatan DF pertama.
Bang Ali memenuhi janjinya; memberikan hiburan murah kepada masyarakat. Panitia DF mematok harga tiket semurah mungkin, yaitu Rp 25. Jika datang dalam rombongan besar, tiket dipangkas menjadi Rp 10 per orang. Arena DF disesaki berbagai panggung hiburan, mulai dari kesenian tradisional hampir semua etnis yang ada di Jakarta sampai pergelaran musim paling digemari saat itu, yaitu orkes melayu.
Hiburan lainnya adalah pertunjukan adu gulat, karate, dan pencak silat. Ada pula stan ketangkasan dan judi. Anak-anak dimanjakan oleh berbagai komidi putar, arena bermain, dan go kart. Untuk yang suka dansa, ada arena tari a go go dan varia.
Seperti Pasar Gambir di era kolonial, DF diisi sejumlah restoran yang menyajikan makanan-makanan khas nusantara. Masyarakat juga dimanjakan dengan tersedianya bus nonpermanen yang menjangkau hampir seluruh wilayah pinggir Jakarta.
Pertanyaannya, dari mana DCI Jakarta membiayai semua itu? Dalam konferensi pers di Balai Kota, bang Ali secara terbuka mengatakan, DCI Jakarta mengeluarkan Rp 5 juta untuk mewujudkan DF. Uang sebanyak itu diperoleh dari penyelenggaraan judi hwa hwe. Selain itu, DCI Jakarta juga mengeluarkan Rp 10 juta untuk membangun stan-stan.
Sampai 1977 atau masa akhir kekuasaan bang Ali, DF mengalami sekian banyak perbaikan. Investasi yang digelontorkan DCI Jakarta juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Di sisi lain, Bang Ali juga menekankan aspek bisnis dalam perhelatan ini.
Tahun 1969, misalnya, DF berlangsung 71 hari dengan rata-rata pengujung di atas 42 ribu. Ini dimaksudkan untuk menggandakan pemasukan kas daerah yang akan digunakan untuk perbaikan pada tahun berikutnya.
Jika pada DF pertama hanya ada satu stan provinsi, yaitu Sumatra Barat, pada tahun berikutnya sebelas provinsi membuka stan promosi pariwisata. Tahun 1970 DF kian menekankan aspek ekonomi, dengan diberlakukannya Hari Niaga — sebuah acara pertemuan para pengusaha yang mendirikan stan.
Semula Hari Niaga berlangsung lima hari. Pada tahun-tahun berikutnya, Hari Niaga menjadi 15 hari. Hari Niaga memberi kesempatan kepada partisipan mengadakan transaksi dan hubungan bisnis di arena DF yang kemudian dipublikasikan media massa.
Panitia DF hanya memfasilitasi dan tidak nimbrung dalam negosiasi bisnis. Pun, tidak setiap transaksi dipublikasikan karena tidak setiap pengusaha menginginkan kegiatan usahanya diketahui publik.
Tidak ada laporan seberapa efektif Hari Niaga bagi perkembangan ekonomi Jakarta. Yang pasti, Hari Niaga mempertegas tujuan DF untuk memajukan perdagangan dan industri di Jakarta, tapi tidak mengesampingkan fungsinya sebagai arena hiburan masyarakat.
Satu hal yang menarik adalah Hari Niaga lebih mengedepankan transaksi produk dalam negeri meski tidak mengabaikan produk luar. Namun, pada kenyataannya DF belum kehilangan misinya sebagai acara yang diharapkan membantu pertumbuhan industri dalam negeri.
Perkembangan paling signifikan terjadi tahun 1974, ketika DF menjadi anggota Union des Foires atau perhimpunan pekan-pekan internasional di Paris.
Pada perkembangan berikutnya, Bang Ali tidak sekadar mewujudkan obsesi menghadirkan kembali Pasar Gambir. Ia menjadikan DF sebagai salah satu penggerak perekonomian Jakarta dan tambang uang penghasilan daerah. Kantor Sensus dan Statistik DKI Jakarta mencatat pendapatan regional Jakarta tahun 1969 sebesar Rp 214.946.000, tahun 1977 menjadi Rp 1.652.556.000.
Dari segi sosial budaya, Bang Ali memberikan satu stan penjualan kerak telor — makanan khas Betawi — di dalam arena DF. Ia juga mengisi sebanyak mungkin panggung hiburan dengan kesenian Jakarta. Bang Ali menjadikan budaya Jakarta sebagai tuan rumah di DF tanpa mengabaikan kehadiran kesenian lain milik masyarakat pendatang di Jakarta.