Crispy
Trending

Dari Gitar ke Orasi: Pestapora 2025 Menolak Diam atas Ketidakadilan

Musik, dalam konteks ini, menjadi bahasa perlawanan sipil—tempat merayakan kreativitas sekaligus mempertanyakan struktur kekuasaan dan tanggung jawab kolektif.

JERNIH –  Pestapora 2025 membuktikan bahwa festival musik tidak hanya soal hiburan. Ketika sponsor memunculkan dilema moral, festival ini menjadi panggung pertarungan ide: keputusan musisi, protes artistik, dan reaksi publik membawa isu politik dan sosial ke tengah kerumunan ribuan orang.

Pestapora adalah festival musik tahunan yang tahun ini menginjak edisi keempat, digelar pada 5–7 September 2025 di JIExpo Kemayoran, Jakarta. Sebagai selebrasi musik lintas genre, festival ini menyuguhkan konsep unik “Tukar Lagu” — di mana musisi membawakan karya teman mereka, menciptakan kolaborasi antargenerasi yang segar dan inovatif.

Tidak seperti galibnya sebuah festival musik yang penuh suka cita tanpa makna. Pestapora kali ini justru sarat dengan berbagai “agenda” yang diserukan oleh para musisi bahkan pula oleh penonton. Ketika masih terasa hangat peristiwa demo dan kerusuhan di bumi nusantara akhir Agustus hingga awal September silam, menyusup ke kalbu Pestapora. Tak heran jika angka “17&8” dengan warna-warni pink dan hijau yang memenuhi panggung dan berbagai tempat.

Sejumlah musisi tampil tidak sekadar menyuarakan karya ciptanya, namun juga menggalang massa untuk mengingat tidak hanya peristiwa. Tetapi memohon doa bagi para korban kerusuhan tempo hari baik oleh aparat maupun pihak lain.

Festival ini sendiri direncanakan menghadirkan 270 musisi lintas genre, termasuk musisi solo, grup band, serta stand-up comedian di total 17 panggung selama tiga hari pelaksanaan. Namun tiba-tiba lebih dari 30 penampil mengundurkan diri. Kontroversi muncul ketika ternyata PT Freeport Indonesia menjadi salah satu sponsor pada hari pertama festival. Penemuan ini memicu protes dari sejumlah musisi. Band seperti Sukatani, The Jeblogs, Negativa, Leipzig, Kelelawar Malam, Rebellion Rose, Rekah, Xin Lie, Ornament, dan Centra menyatakan batal tampil karena menolak keterlibatan perusahaan tambang tersebut dalam festival musik.

Menanggapi gelombang protes, pada hari kedua (6 September 2025), penyelenggara mengumumkan pemutusan hubungan sponsor dengan PT Freeport Indonesia. Festival memastikan bahwa penyelenggaraan pada hari kedua dan ketiga tidak lagi terkait dengan perusahaan tersebut.

Beberapa musisi mengekspresikan penolakan mereka lebih dari sekadar mundur. Rapper Yacko tetap tampil, tapi menyumbangkan seluruh honorarium kepada WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), menyoroti isu lingkungan dan HAM di Papua.

Sementara Rebellion Rose, meski membatalkan penampilannya secara resmi, hadir di panggung untuk berorasi dan menyampaikan sikap mereka secara langsung kepada penonton — menyuarakan protes dengan kehadiran aktif.

Pangung Musik ke Panggung Sosial

Dalam dunia pertunjukkan festival musik, seringkali lalu berubah menjadi panggung sosial bahkan politik. Di festival internasional macam Glastonbury yang digelar di Inggris beberapa bulan silam muncul aksi perlawanan kepada Israel. Adalah duo punk-rap Inggris bernama Bob Vylan yang melakukan reaksi paling kontroversial dengan yel-yel “Free, Free Palestine” dan “Death, Death to the IDF” saat tampil di panggung West Holts, yang kemudian memicu penyelidikan polisi karena potensi ujaran kebencian.

Ingat Woodstock paling legendaris di tahun 1969. Dikenal sebagai festival musik legendaris era hippie. Banyak musisi, seperti Joan Baez dan Jimi Hendrix, menyuarakan pesan damai dan protes perang Vietnam. Hendrix bahkan memainkan versi “The Star-Spangled Banner” dengan distorsi gitar yang dianggap simbol perlawanan terhadap militerisme Amerika.

Karenanya soal sponsorship bisa jadi isu sensitif. Sponsorship bukan hanya soal pendanaan, sponsor juga menyimbolkan dukungan politik dan nilai. Jika sponsor seperti Freeport yang berkaitan dengan isu lingkungan dan HAM, kehadirannya bisa dinilai kontradiktif terhadap pesan festival atau idealisme musisi, hingga memicu reaksi kolektif.

Dalam sebuah festival begitu banyak musisi yang memegang teguh idealisme. Mereka berani karena memiliki tanggung jawab sosial. Ketika musisi membatalkan pertunjukan atau mendonasikan honorarium, mereka menggunakan platform musik untuk menyuarakan penolakan nyata atas ketidakadilan—sebuah bentuk aktivisme yang memiliki resonansi kuat dengan publik.

Pestapora 2025 telah pula menjadi ruang dialog. Pestapora, dengan konsep “Tukar Lagu,” bukan hanya arena musik tapi tempat berbagi narasi: kolaborasi antar musisi, desakan pada penyelenggara, maupun respons cepat terhadap kontroversi. Festival menjadi ruang masyarakat bergerak kolektif, menyampaikan aspirasi, bahkan menuntut perubahan.

Dan harap ingat, sebuah festival yang menghimpun ribuan atau bahkan jutaan kepala sebenarnya tengah mengarusutamakan kesadaran publik. Reaksi publik — termasuk penonton, media, dan komunitas — terhadap kontroversi ini menciptakan kesadaran lebih luas tentang isu sponsor etis dan pertanggungjawaban penyelenggara. Musik tak lagi netral—ia menjadi medium kesadaran kritis dan diskusi sipil. Termasuk isu-isu ketidakadilan yang terus menguak di ranah publik.

Maka tidak heran ketika massa penonton –yang masih sebal dengan tingkah laku politikus- lalu mengolok-olok membuat sebuah koor berjamaah, “S****ni A****ng!” (*)

BACA JUGA: Film Perang Gaza ‘The Voice of Hind Rajab’ Raih Silver Lion di Festival Film Venesia

Back to top button