De Tjamat en De Mandoer
- De Tjamat berbeda dengan Camat saat ini. De Tjamat adalah bagian dari struktur pemerintahan tanah partikelir.
- Di Cengkareng ada mandor terakhir era tanah partikelir. Meski status itu telah dicabut, gelar mandor masih dikenakan.
JERNIH — Foto ini saya temukan di situs digitalcollections.universiteitleiden.nl, dan merupakan koleksi KITLV. Judul foto; De tjamat met zijn mandoers. Artinya, camat bertemu mandor-mandornya.
Tahun dan tempat pembuatan tak diketahui. Kemungkinannya, foto dibuat di Tasikmalaya tahun 1860.
De Tjamat bukan Camat yang kita kenal saat ini. Di era Hindia-Belanda, de tjamat adalah bagian struktur ‘pemerintahan’ tuan tanah (landheer). Di Batavia, nama lain de tjamat adalah tjutak.
Sebagai informasi, tuan tanah atau landheer, memiliki hak yang dipertuan (heerlijkerechten) dan hak bernegara (overheidrechten) di atas tanah miliknya. Para tuan menyusun struktur pemerintahan, dengan huurders sebagai orang nomor satu dalam pengoperasian. Di bawahnya ada camat, mandor, dan pasukan pengaman.
Tugas de tjamat adalah mengumpulkan belasting, pajak yang dibebankan kepada petani penggarap di atas tanah partikelir, dan mengatur kompenian atau kerja wajib bagi petani penggarap di lahan yang dikelola langsung tuan tanah, biasanya berupa perkebunan.
De tjamat memimpin sejumlah de mandoer , atau mandor. Kata lain de mandoer adalah de opzichter dan voorman, yang artinya pengawas. Jumlah de mandoer sangat tergantung luas tanah tanah partikelir milik sang tuan. Semakin luas, dengan blok-blok permukiman dan perkebunan sedemikian banyak, semakin banyak mandornya.
Di hampir semua tanah partikelir, de tjamat adalah posisi yang dipercayaan kepada pribumi, demikian pula de mandoer. Sebagai penarik belasting dan pengatur kerja kompenian, de tjamat menjadi sasaran pertama kebencian petani penggarap.
Prestasi de tjamat dinilai dari seberapa mampu memenuhi target belasting, dan mengatur kerja kompenian. Akibatnya, penagihan belasting kerap diwarnai tindak kekerasan. De tjamat memiliki kewenangan mengerahkan pengaman dan mandoer.
De tjamat menjadi figur pertama paling dibenci petani penggarap. Sedangkan pengelola (huurder) dan eigenaar (pemilik) terlindungi dari kemungkinan menjadi sasaran serangan petani penggarap.
Ini terlihat dalam Pemberontakan Petani Ciomas 1886. Pemberontakan dimulai dengan pembunuhan De Tjamat Abdurrakhim. Sebagai pengumpul belasting, Abdurrakhim nggak mau tahu petani sedang mengalami kesulitan luar biasa tak bisa mengolah tanah karena ternak mereka; terutama sapi dan kerbau, mati akibat wabah penyakit hewan.
Bagi de tjamat seperti Abdurrakhim, target harus terpenuhi atau kehilangan posisi yang membuatnya lebih makmur dibanding petani penggarap. Ia senantiasa dikelilingi centeng dan mandor, tapi kemarahan petani Ciomas membuatnya tak luput dari kematian.
De laatste Mandoer van Cengkareng
Tanah partikelir Senayan memiliki sembilan de mandoer alias mandor. Setiap mandor diberi rumah dinas terbuat dari gedek, dan tanah untuk digarap. Kawasan tempat mandor-mandor itu bermukim kini bernama Kemandoran, dengan Jl Kemandoran I sampai 9 di Kelurahan Grogol Utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Di Cengkareng, terutama di Rawa Bengkel, mandor yang saya kenal sampai 1980-an adalah Yahya. Dipanggil Mandor Yahya. Padahal, status mandor seharusnya hilang setelah tanah-tanah partikelir dinasionalisasi pemerintah republik Indonesia menurut UU Agraria No 5 tahun 1960.
Yang saya nggak tahu adalah siapa tuan tanah yang mengangkat Yahya sebagai mandor. Apakah Tan Pek Soen, pemilik sebagian besar tanah Cengkareng saat itu?
Yang saya tahu Mandor Yahya adalah ketua RW saat saya masih di Rawa Bengkal. Ia ketua RW tak tergantikan selama belasan, atau mungkin puluhan, tahun.
Mandor Yahya telah tiada. Sejarah seharusnya mencatatnya sebagai De laatste Mandoer van Cengkareng , atau Mandor Terakhir dari Cengkareng.