Drone Turki Jadi Kunci Kemenangan Azerbaijan Atas Armenia di Nagorno-Karabakh
Upaya Turki campur tangan di beberapa kasus dunia, telah menghalangi ambisi militer Rusia di negara-negara seperti Suriah dan Libia. Dan itu bukan hal yang buruk. Pada saat yang sama, dia berkata, “Erdogan membuat takut hampir semua orang di Timur Tengah.” Pemimpin Turki itu “sangat tidak terduga dan sangat ambisius.”
JERNIH– Turki ternyata memiliki senjata penting untuk mengungguli kekuatan musuh yang terbukti ampuh di berbagai medan peperangan. Senjata itu bukan peluru kendali berhulu ledak nuklir yang justru menimbulkan ketakutan sendiri untuk dipakai. Kunci kemenangan Turki di berbagai intervensinya di seluruh dunia justru sebuah senjata sederhana hasil rakitan takyatnya sendiri: drone bersenjata.
Namun jangan pandang enteng senjata ‘ringan’ tersebut. Justru drone memainkan peran sentral dalam beberapa bulan terakhir di perang saudara Libia, di mana Turki mendukung pemerintahan Tripoli. Terakhir, menurut analis militer yang dilansir laman Syrian Observatory for Human Rights, drone itu pula yang membantu Azerbaijan menang atas pasukan Armenia dalam pertempuran memperebutkan Nagorno-Karabakh.
Di Suriah utara, drone Turki memainkan peran utama tahun ini dalam serangkaian serangan dahsyat terhadap pasukan lapis baja Suriah yang mengejutkan beberapa pengamat militer dan membantu menghentikan serangan pemerintah Suriah terhadap daerah pemberontak.
Di dalam negeri, kecanggihan yang berkembang dari drone asli telah menjadikannya simbol inovasi teknologi dan kemandirian Turki, meningkatkan kepercayaan nasional di tengah kemerosotan ekonomi yang parah dan gesekan dengan beberapa negara NATO lainnya.
Namun keberhasilan di medan perang menimbulkan tantangan kebijakan luar negeri yang mendesak bagi pemerintahan AS yang akan datang: apa yang harus dilakukan tentang kebijakan ekspansionis Ankara, yang telah menempatkan Turki dalam konflik dengan sejumlah sekutu AS lainnya, termasuk Yunani dan Uni Emirat Arab.
James Jeffrey, mantan Duta Besar AS untuk Turki yang baru-baru ini menjabat sebagai perwakilan khusus pemerintahan Trump untuk Suriah, mengatakan upaya Turki campur tangan di beberapa kasus dunia, telah “menghalangi” ambisi militer Rusia di negara-negara seperti Suriah dan Libia. Dan “itu bukan hal yang buruk”. Pada saat yang sama, dia berkata, “Erdogan membuat takut hampir semua orang di Timur Tengah.” Pemimpin Turki itu “sangat tidak terduga dan sangat ambisius.”
Pertumbuhan pesat industri drone Turki telah menjadikannya pesaing lama produsen kendaraan udara tak berawak itu, seperti Cina dan Israel. Ini juga memprovokasi kekhawatiran hak asasi manusia, yang digerakkan oleh laporan korban sipil dan penggunaan drone lintas batas untuk pembunuhan yang ditargetkan terhadap tersangka militan. Setidaknya dua perusahaan asing yang memasok komponen yang digunakan dalam drone Turki telah mengumumkan dalam beberapa pekan terakhir bahwa mereka menangguhkan penjualan ke Turki, dengan mengatakan produk mereka hanya ditujukan untuk penggunaan sipil.
“Di dalam negeri, drone dipandang sebagai sumber kebanggaan nasional dan simbol bahwa Turki mampu menjaga dirinya sendiri,” kata Ahmet Kasim Han, profesor hubungan internasional di Universitas Altinbas di Istanbul kepada Syrian Observatory for Human Rights.
Peran di Suriah
Peristiwa paling nyata dari program drone Turki terjadi musim dingin lalu, setelah 36 tentara Turki tewas dalam serangan udara Suriah di provinsi Idlib utara Suriah. Itu adalah jumlah kematian tertinggi yang diderita angkatan bersenjata Turki dalam beberapa dekade.
Sebagai pembalasan, Turki melakukan serangan terhadap pasukan Suriah. Kementerian Pertahanan Turki mengatakan serangan balasan itu menghancurkan puluhan tank, pengangkut personel lapis baja, dan depot amunisi. Ratusan tentara Suriah berhasil “dinetralkan”. Rekaman udara yang diunggah oleh kementerian menunjukkan serangkaian target saat sasaran dihancurkan oleh ledakan, tulis Syrian Observatory For Human Rights.
Pejabat Turki mengatakan kepada media berita bahwa serangan itu dilakukan oleh “kawanan” drone yang mematikan.
Walau analis militer mengatakan dampak spesifik dari drone mungkin dilebih-lebihkan, serangan balasan Turki memang menunjukkan kemampuan canggih untuk mengoordinasikan armada drone yang berkembang dengan senjata lain yang mereka miliki.
“Ini adalah terobosan konseptual,” ujar Can Kasapoglu, direktur Program Studi Keamanan dan Pertahanan di EDAM, lembaga ahli Turki, sebagaimana ditulis Syrian Observatory For Human Rights. “Turki telah mengintegrasikan sistem roket dan baterai artileri dengan drone.”
Ankara menarik pelajaran dari pengalamannya di Idlib, kata Han. “Turki benar-benar mematahkan elemen-elemen rezim Suriah. Itu membuat mereka percaya diri,” jelasnya. “Saat kepercayaan diri mereka terbangun, cara mereka memandang masalah mereka selanjutnya berubah. Menggunakan cara koersif menjadi lebih mudah.”
Kasapoglu mengatakan, perang drone telah memainkan peran penting. Perang ini membutuhkan “komitmen yang lebih sedikit dari sumber daya manusia” dan menyebabkan lebih sedikit korban di pihak Turki, yang dapat menimbulkan oposisi politik di dalam negeri.
Beberapa bulan setelah serangan pesawat tak berawak di Suriah membantu memperkuat gencatan senjata Idlib, Turki mengerahkan armada pesawat tak berawaknya lagi, kali ini untuk bertempur dalam pertempuran penting lainnya, ratusan mil jauhnya, untuk mengendalikan pangkalan udara di Libia barat.
Turki telah campur tangan dalam perang saudara Libia pada 2019 atas nama pemerintah yang berbasis di ibu kota, Tripoli, yang bertujuan untuk melawan Uni Emirat Arab, saingan regional Turki yang mendukung jenderal Libia yang memberontak. Turki ingin mencegah negara lain yang bermusuhan dengannya mendapatkan kekuatan di Timur Tengah, menurut Wolfram Lacher, ahli Libia di Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan.
Militer Turki telah menunda memberikan dukungan penuh kepada sekutu Libia, sampai mereka setuju untuk menandatangani kesepakatan yang memberi Turki hak eksplorasi energi ekspansif di Laut Mediterania. Namun begitu kesepakatan ditandatangani, Turki tidak berusaha untuk membalas serangan di Tripoli oleh Tentara Nasional Libia (LNA) yang didukung UEA. Turki mengerahkan tentara bayaran Suriah dan meluncurkan drone bersenjata untuk mengganggu jalur pasokan LNA.
Momen kritis datang pada Mei ketika drone Turki (berkoordinasi dengan kapal perang Turki) menyerang pangkalan udara al-Watiya yang strategis, sekitar 80 mil selatan Tripoli, memungkinkan pasukan pemerintah untuk merebut pangkalan dan mengakhiri serangan Tripoli oleh LNA.
Perang Azerbaijan-Armenia
Konflik enam pekan antara Azerbaijan dan Armenia atas wilayah sengketa Nagorno-Karabakh membawa keunggulan baru ke program drone Turki. Konflik berkobar September lalu, menandai runtuhnya proses perdamaian selama beberapa dekade.
Azerbaijan, dengan dukungan Turki, merebut kembali sebagian besar wilayah yang telah hilang dalam perang 1988-1994 di wilayah tersebut. Mereka menggunakan drone Bayraktar TB2 dan drone kamikaze Israel untuk membanjiri pertahanan Armenia. Diperkirakan, kerugian Armenia meliputi hampir 200 tank, 90 kendaraan lapis baja, dan 182 artileri.
Keuntungan militer Azerbaijan, yang mencakup sekitar 40 persen dari Nagorno-Karabakh, tampaknya memberi Turki kemenangan strategis lainnya.
Namun Rusia, yang telah berebut supremasi regional dengan Turki, juga diuntungkan dengan merundingkan gencatan senjata antara Armenia dan Azerbaijan. Hal itu meningkatkan peran Moskow sebagai perantara kekuasaan. Setelah kesepakatan damai ditandatangani, Rusia menggagalkan upaya Turki untuk mengirim penjaga perdamaiannya sendiri ke Nagorno-Karabakh. [Syrian Observatory For Human Rights]