Enam Syarat Diajukan Koalisi Masyarakat Sipil atas Pelibatan TNI Berantas Terorisme
“TNI tidak perlu memiliki fungsi penangkalan dan pemulihan dalam penanganan aksi terorisme. Pemberian fungsi penangkalan dan pemulihan sebagaiman diatur dalam draf lama rancangan perpres, terlalu berlebihan dan mengancam negara hukum dan hak asasi”
JAKARTA – Rencana pemerintah melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanganan terorisme di Tanah Air, masih terus dikritisi. Koalisi Masyarakat Sipil yang merupakan koalisi gabungan sejumlah lembaga nonpemerintah menawarkan enam syarat yang mesti diatur dalam Peraturan Presiden terkait pelibatan militer.
Anggota koalisi dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Julius Ibrani, di Jakarta, Senin (3/8/2020), mengatakan Perpres Pelibatan TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme perlu memuat prinsip dan substansi pasal-pasal.
Pertama, fungsi TNI hanya diberikan dalam fungsi penindakan yang sifatnya terbatas, yaitu untuk menangani pembajakan pesawat, kapal atau terorisme di dalam kantor perwakilan negara sahabat.
“TNI tidak perlu memiliki fungsi penangkalan dan pemulihan dalam penanganan aksi terorisme. Pemberian fungsi penangkalan dan pemulihan sebagaiman diatur dalam draf lama rancangan perpres, terlalu berlebihan dan mengancam negara hukum dan hak asasi,” katanya.
Kedua, penggunaan dan pengerahan TNI harus atas dasar keputusan politik negara, yakni keputusan presiden dengan pertimbangan DPR. Hal ini, sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) juncto Pasal 5 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
“Keputusan itu harus dibuat secara tertulis oleh Presiden sehingga jelas tentang maksud, tujuan, waktu, anggaran, jumlah pasukan dalam pelibatannya,” ujar dia.
Ketiga, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri merupakan pilihan yang terakhir, yakni dilakukan jika kapasitas penegak hukum sudah tidak bisa mengatasi aksi terorisme tersebut.
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Feri Kusuma menambahkan, syarat keempat ialah pelibatan TNI sifatnya sementara.
“Pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme tidak boleh bersifat permanen, karena tugas utama TNI sejatinya adalah dipersiapkan untuk menghadapi perang,” katanya.
Kelima, pelibatan TNI harus tunduk pada norma hukum dan HAM yang berlaku. Karena itu, meminta seluruh prajurit yang terlibat dalam mengatasi aksi teror harus tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Undang-Undang HAM.
Keenam, alokasi anggaran untuk TNI dalam mengatasi aksi terorisme hanya melalui APBN. Pendanaan dengan sumber lainnya semisal APBD, hanya menimbulkan beban baru.
Oleh sebab itu, pihaknya meminta pemerintah dan DPR berhati-hati dan transparan dalam membahas rancangan Perpres tersebut. “Jika hal itu tidak dilakukan, maka rancangan Perpres tersebut akan membahayakan kehidupan negara hukum, HAM dan demokrasi di Indonesia,” kata Feri. [Fan]