CrispyVeritas

Gaza dalam Narasi Obama: Mengaburkan Genosida, Memberi Empati Hanya untuk Penjajah

Ini sebuah contoh klasik dari upaya ‘bothsides-ing’ (menyalahkan kedua belah pihak) yang secara keji mengikis penderitaan dan memanusiakan penjajah sambil merendahkan korban Palestina.

JERNIH – Di tengah desahan lega atas kesepakatan gencatan senjata di Gaza, sebuah postingan di media sosial dari mantan Presiden AS, Barack Obama, justru memicu badai kritik dan kemarahan.

Apa yang dimaksudkan sebagai seruan perdamaian, di mata para aktivis dan pengamat, menjadi contoh klasik dari upaya ‘bothsides-ing’ (menyalahkan kedua belah pihak) yang secara keji mengikis penderitaan dan memanusiakan penjajah sambil merendahkan korban Palestina.

Reaksi keras ini muncul setelah Obama mengunggah pesan di X (Twitter) pasca-pengumuman kesepakatan antara Israel dan Hamas. Ia menulis: “Setelah dua tahun kehilangan dan penderitaan yang tak terbayangkan bagi keluarga Israel dan rakyat Gaza, kita semua harus merasa terdorong dan lega bahwa akhir konflik sudah di depan mata; bahwa para sandera yang masih ditahan akan dipersatukan kembali dengan keluarga mereka; dan bahwa bantuan vital dapat mulai menjangkau mereka di Gaza yang hidupnya telah hancur.”

Ia menambahkan, kini adalah tugas “Israel dan Palestina, dengan dukungan AS dan seluruh komunitas dunia, untuk memulai tugas berat membangun kembali Gaza – dan untuk berkomitmen pada proses yang, dengan mengakui kemanusiaan bersama dan hak-hak dasar kedua bangsa, dapat mencapai perdamaian abadi.”

‘Masterclass’ Pengkaburan Narasi

Kritikus media Sana Saeed tak segan melabeli frasa Obama sebagai “sebuah masterclass dalam tujuh kata tentang bagaimana warga Palestina dibuat tak berwajah dan tak bernama saat dibantai, sementara Israel diberi empati, padahal merekalah para penjagal.”

Pernyataan ini bukan hanya soal pemilihan kata, tetapi juga pengaburan realitas. Pengacara hak asasi manusia Palestina-Amerika, Noura Erakat, menyoroti kejanggalan frasa “rakyat Gaza”. Ia menegaskan: “Rakyat Gaza adalah orang Palestina. Mereka telah selamat dari genosida dan upaya berkelanjutan untuk melenyapkan mereka selama lebih dari satu abad.”

Penggunaan kata “konflik” oleh Obama untuk menggambarkan serangan Israel ke Gaza juga dianggap mendistorsi sifat kekerasan yang sebenarnya. “Ini genosida,” tulis sejarawan Assal Rad. “Tidak ada akuntabilitas tanpa mengakuinya, dan tidak ada keadilan tanpa akuntabilitas.”

Fakta berbicara: serangan militer Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 67.000 warga Palestina, termasuk ribuan anak-anak, mengungsikan hampir seluruh populasi, dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur wilayah kantong tersebut. Jumlah korban di pihak Israel, berdasarkan serangan Hamas dua tahun lalu, adalah 1.139 jiwa. Perbandingan angka ini seharusnya cukup untuk menjelaskan betapa timpangnya narasi “kedua belah pihak” yang dikemukakan Obama.

Kritik terhadap Obama mengenai isu Israel-Palestina bukanlah hal baru. Ia sebelumnya menghadapi kecaman serupa. Pada Oktober 2023, ia membela “hak Israel untuk mempertahankan diri” sambil mendesak pengekangan. Posisi ini dicap sebagai “bothsidesism” yang mengabaikan pemboman Gaza dan melupakan pendudukan puluhan tahun.

Ia juga menuai kecaman pada postingan Oktober 2024 yang menandai peringatan serangan Hamas, yang secara spesifik menyebut korban Israel, namun mengabaikan lebih dari 41.000 warga Palestina yang tewas di Gaza pada saat itu. Pola ini konsisten: fokus pada penderitaan satu pihak sambil mengaburkan skala kehancuran dan jumlah korban di pihak lain.

Gencatan senjata, yang ditengahi Amerika Serikat, Mesir, Qatar, dan Turki, memang membawa harapan. Namun, pernyataan dari sosok sekelas Obama memiliki kekuatan untuk membentuk narasi publik dan legitimasi internasional. Ketika narasi itu cenderung menyamakan korban dan agresor, mengaburkan genosida sebagai “konflik”, dan memberikan empati selektif, maka itu bukan lagi sekadar statement politik. Itu adalah sebuah tindakan yang, sengaja atau tidak, turut serta dalam proses de-humanisasi yang telah berlangsung lama terhadap rakyat Palestina.

Obama belum menanggapi kritik ini. Namun, desakan untuk akuntabilitas dan pengakuan penuh atas penderitaan rakyat Palestina akan terus menggema. Karena, tanpa pengakuan yang jujur terhadap akar masalah dan skala kehancuran, “perdamaian abadi” yang ia serukan hanyalah ilusi yang dibangun di atas pasir.

Back to top button