
Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945. Sebelumnya, pasal ini mewajibkan izin Jaksa Agung untuk pemanggilan hingga penahanan jaksa dalam kasus pidana apa pun.
JERNIH – Hak istimewa Jaksa Agung luntur. Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja melahirkan putusan bersejarah yang secara signifikan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri dalam menindak jaksa nakal.
Berdasarkan putusan MK terbaru, aparat penegak hukum kini dapat melakukan upaya paksa, termasuk penangkapan dan penahanan, terhadap jaksa yang tertangkap tangan atau diduga kuat melakukan tindak pidana berat, tanpa harus menunggu izin dari Jaksa Agung. Permohonan uji materi ini diajukan tiga pemohon yakni Agus Setiawan (aktivis/mahasiswa), Sulaiman (advokat), dan Perhimpunan Pemuda Madani.
Putusan Nomor 15/PUU-XXIII/2025 ini mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. Keputusan ini secara efektif meniadakan imunitas bersyarat yang sebelumnya dianggap melanggar prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law).
Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945. Sebelumnya, pasal ini mewajibkan izin Jaksa Agung untuk pemanggilan hingga penahanan jaksa dalam kasus pidana apa pun.
Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam pertimbangan hukumnya menjelaskan bahwa perlindungan hukum terhadap aparat penegak hukum memang diperlukan untuk menjaga independensi, tetapi tidak boleh sampai meniadakan prinsip persamaan di hadapan hukum.
“Norma tersebut tidak sejalan dengan semangat equality before the law dan berpotensi melemahkan prinsip negara hukum. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat norma ini harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat,” ujar Arsul dalam sidang pleno yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, Kamis (16/10/2025).
Dua Pengecualian Utama: OTT dan Pidana Berat
Dengan adanya koreksi dari MK, Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan kini memuat dua pengecualian utama.
- Tertangkap Tangan: Jika jaksa tertangkap tangan melakukan tindak pidana (seperti dalam Operasi Tangkap Tangan/OTT).
- Tindak Pidana Berat: Jika ditemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan jaksa sebagai tersangka tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus (termasuk korupsi).
Dengan demikian, proses hukum terhadap jaksa bandel yang terjerat kasus berat atau tertangkap basah tidak lagi terhalang birokrasi izin dari pimpinan Kejaksaan.
Perubahan Sikap MK dan Dissenting Opinion
MK secara tegas menyatakan telah mengubah pandangan dari Putusan Nomor 55/PUU-XI/2013, yang sebelumnya menyatakan ketentuan izin Jaksa Agung bersifat konstitusional. Perubahan sikap ini dilakukan demi menyesuaikan dengan semangat penegakan hukum yang setara antara jaksa dan aparat penegak hukum lainnya.
Meskipun demikian, putusan ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim konstitusi, Arief Hidayat dan M. Guntur Hamzah. Keduanya berpendapat Pasal 8 ayat (5) sebenarnya bukan dimaksudkan sebagai imunitas, melainkan mekanisme perlindungan untuk menjaga independensi jaksa, dan seharusnya MK menolak permohonan pemohon.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, putusan MK ini menjadi angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi, memastikan bahwa setiap aparat penegak hukum, termasuk jaksa, memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.