Crispy

Hoax: Kehancuran Suriah Terjadi Karena Radikalisasi Agama

Di Mesir, gerakan-gerakan Islam merupakan pemain-pemain awal dan penting dalam menggulingkan pemerintahan lama, tetapi mereka tidak membingkai protes mereka dengan cara Islam. Malah, Ikhwanul Muslimin meminta para anggota mereka tidak meneriakkan slogan-slogan Islam di Lapangan Tahrir, sebagaimana juga dituliskan cendikiawan Universitas Oxford yang merupakan ahli politik Timur Tengah, Neil Ketchley

JERNIH—Sudah sering kita dengar dalam lingkar dekade ini, entah melalui berbagai tulisan atau kadang hanya sebatas meme, tentang penyebab kehancuran yang (pernah) dialami Suriah. Umumnya semua terkesan menakut-nakuti dengan mengangkat tema bahwa semua itu disebabkan karena radikalisme Islam.

Benarkah? Tampaknya semua itu itu hanya delusi yang coba ditanamkan dalam-dalam ke benak publik.

Sebaliknya, penelitian sejarawan Inggris yang banyak meneliti komunitas Muslim, baik di Timur Tengah, Afrika, maupun Asia Tenggara, Kevin W. Fogg, meyakini bahwa di sebagian besar dunia Arab, meskipun modernisme Islam boleh jadi telah membidani kelahiran nasionalisme Arab, umumnya para cendikiawan menggaungkan nasionalisme lokal non-sektarian di kalangan elite (bukan ideologi Islam) yang berperan dalam mengupayakan kemerdekaan, misalnya Aljazair.

Yang lebih mutakhir, menurut Fogg, dalam Arab Springs yang dimulai 2011, ideologi Islam tidak terartikulasikan pada akar rumput. Fogg mengatakan, para sarjana politik belum lama ini berteori bahwa “banyak kaum revolusioner yang aktif dalam Arab Springs termotivasi, paling tidak sebagian, oleh ikatan psikologis pada agama , menarik garis penghubung antara kesalehan personal dan partisipasi pada protes-protes awal, tapi Islam tidak muncul pada diskursus mereka, maupun aksi-aksi mereka dalam revolusi.

Di Mesir, gerakan-gerakan Islam merupakan pemain-pemain awal dan penting dalam menggulingkan pemerintahan lama, tetapi mereka tidak membingkai protes mereka dengan cara Islam. Malah, Ikhwanul Muslimin meminta para anggota mereka tidak meneriakkan slogan-slogan Islam di Lapangan Tahrir, sebagaimana juga dituliskan cendikiawan Universitas Oxford yang merupakan ahli politik Timur Tengah, Neil Ketchley.

Demikian juga di Tunisia. Fogg dalam “Indonesia’s Islamic Revolution”, bukunya yang terbit 2020 lalu, menulis bahwa kelompok-kelompok Islam kurang begitu terlibat pada awal-awal perlawanan yang berhasil menggulingkan diktator Presiden Ben Ali, sebagaimana diteliti dan ditulis cendikiawan Oxford, Anne Wolf dalam bukunya yang akan terbit 2022 mendatang,” Ben Ali’s Tunisia: Power and Contention in an Authoritarian Regime” (Oxford University Press, 2022).

Fogg menulis,”Agama juga terlambat menjadi factor dalam pergolakan di Suriah yang menggelinding menjadi perang sudara multifaksi. Tak seperti di Indonesia, tidak satu pun kasus-kasus revolusi anti-kolonial maupun pergolakan-pergolakan kontemporer ini mempunyai ideology revolusioner Islam yang muncul dari akar rumput sekaligus kaum elite.”

Soal Suriah tersebut Fogg juga ikut mendasarkan argumentasinya pada hasil penelitian Phillippe Droz-Vincent, professor Prancis ahli Timur Tengah  yang muncul sebagai artikel di “The Middle East Journal 68”, “State of Barbary” (Take Two): From the Arab Spring to the Return of Violence in Syria”. [dsy]

Back to top button