ICMI Pusat Dituntut Segera Selesaikan Sengkarut Kepengurusan ICMI Jawa Barat
Menurut Atip, Tim berharap ICMI Pusat segera memberikan solusi, misalnya, dengan mengangkat care taker untuk membereskan semua persoalan yang telah terjadi. Care taker tersebut adalah pengurus ICMI Pusat yang diangkat untuk bekerja selama satu tahun membereskan persoalan, hingga terbentuknya kepengurusan yang definitive.
JERTNIH– Tim penyelamat ICMI Jawa Barat, yang beranggotakan para cendikiawan Muslim serta guru-guru besar di Tatar Pasundan, menuntut agar ICMI Pusat segera menyelesaikan kekisruhan yang menyebabkan terjadinya kevakuman kepengurusan Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI) Orwil Jabar sejak Juni 2022 hingga saat ini. Tim Penyelamat meminta agar ICMI Pusat menentukan sikap untuk menyelesaikan kasus itu dengan segera, mengingat masalah tersebut telah terkatung-katung sejak digelarnya Musyawarah Wilayah (Muswil) ICMI Jabar, Juni lalu.
Tim penyelamat menyatakan sikap tersebut melalui siaran pers yang kami terima hari ini, Kamis (6/10). Saat dihubungi melalui telepon, mantan Wakil Ketua ICMI Orwil Jabar, Prof. Atip Latiful Hayat mengatakan, persoalan tersebut bermula sejak digelarnya Musyawarah Wilayah (Muswil) ICMI Jabar pada Juni lalu, yang dianggap Tim tidak sah dan cacat hukum karena banyak bertentangan dengan aturan Anggaran Dasar dan atau Anggaran Rumah Tangga ICMI.
“Soal seberapa cacat dan tidak sahnya Muswil tersebut, kami telah membahasnya dengan cukup detil pada pernyataan pers yang kami keluarkan pada 25 Juli, atau lebih dari sebulan dari selesainya Muswil,”kata Prof Atip. Ia mengatakan, Muswil yang digelar di Hotel Puri Khatulistiwa, Jatinangor, Sumedang, tersebut penuh dengan keganjilan, tidak transparan, serta jauh dari budaya dan nilai-nilai kecendekiawanan yang berlandaskan etika dan moralitas. Jernih.co telah menerima dan mempelajari pernyataan Tim pada akhir Juli lalu tersebut.
Atip mengatakan, pada Juli lalu Tim telah mengirimkan pernyataan yang ditandatangani 34 cendikiawan Jawa Barat, termasuk para guru besar di berbagai perguruan tinggi terkemuka di Jabar. Di antara mereka terdapat Prof KH Miftah Faridl, ulama terkemuka di Jabar, serta mantan Rektor Universitas Padjadjaran, Prof Ganjar Kurnia. Menurut Atip, Tim berharap ICMI Pusat segera memberikan solusi, misalnya, dengan mengangkat care taker untuk membereskan semua persoalan yang telah terjadi. Care taker tersebut adalah pengurus ICMI Pusat yang diangkat untuk bekerja selama satu tahun membereskan persoalan, hingga terbentuknya kepengurusan yang definitive.
Berkenaan dengan pengunduran dirinya usai terpilih dengan suara terbanyak, Prof Obsatar Sinaga menjelaskan alasan sikapnya itu. Ia mengatakan, sejak awal dirinya memang tidak berambisi dan tak pernah berkenan untuk dipilih. Hal itu bukan sekali dua ia katakan di berbagai forum ICMI, baik resmi maupun tidak. “Lima hari menjelang Muswil, dalam sebuah pertemuan di sebuah rumah makan di dekat Gasibu, saya katakan kepada teman-teman di ICMI,”Maafkan, saya tidak mencalonkan diri, jangan pilih saya”,”kata dia.
Menurut Prof Obsatar, tiga kali berada dalam kepengurusan ICMI Jabar, mulai dari pejabat humas hingga wakil ketua, dirasanya cukup sebagai pengabdian melalui organisasi para cendekiawan itu. Ia bahkan mengatakan, dirinya sengaja tidak hadir dalam Muswil, kecuali saat-saat awal pembukaan. “Karena saya memang panitia, saya harus bertanggung jawab,”kata dia.
Jadi, menurut Obsatar, dirinya terkejut manakala dihubungi panitia telah memenangkan kontestasi dengan suara terbanyak, 295 suara melawan 270-an suara yang diperoleh kandidat di bawahnya. Obsatar mengatakan, dirinya memang datang saat diundang Tim Formatur. Di forum itulah, kata Obsatar, dirinya mengundurkan diri. Itu pula yang menyebabkan formatur kemudian memilih Prof Sutarman sebagai ketua. Hal ini pun kemudian menambah persoalan lain di mata Tim Penyelamat.
“Pengunduran ini tidak sah, karena forum yang sah untuk menyampaikan pengunduran diri adalah Musyawarah Wilayah, bukan Rapat formatur… Penunjukkan ini (Prof. Sutarman—red) pun tidak sah, karena Prof. Sutarman tidak pernah ditetapkan calon Ketua Orwil. Selain itu Rapat Formatur bukan forum yang berwenang memilih Ketua Orwil. Menurut AD/ART, Ketua Orwil dipilih oleh Musyawarah Wilayah. Penunjukkan ini tidak sah dan batal demi hukum,”tulis Tim dalam pernyataan sikap mereka, 25 Juli lalu.
Dalam dokumen 25 Juli yang kami terima, Tim menegaskan bahwa Muswil ICMI yang digelar Juni 2022 cacat hukum dan tidak sah. Tim melihat berbagai keganjilan yang terjadi pada tahap persiapan dan pelaksanaan Muswil tersebut. Di antaranya, banyak keputusan rapat Steering Committee (SC) yang diubah oleh ketua Orwil—saat itu dijabat Prof H. Mohammad Najib– tanpa persetujuan SC, antara lain mengenai utusan dari organisasi satuan (orsat). Undangan pun, menurut Tim, dilakukan secara selektif, yang menyebabkan mayoritas pengurus Orwil tidak hadir.
Selain itu, terjadi penggiringan dukungan dari pengurus Orwil, khususnya Ketua Orwil kepada salah seorang calon. Dalam penentuan presidium sidang pun terasa sudah di-setting sedemikian rupa, sehingga pihak yang dianggap tidak sejalan dengan tim salah satu calon tidak diberikan kesempatan untuk jadi presidium sidang.
Dalam pelaksanaan Muswil bahkan terjadi hal yang konyol secara kecendekiawanan dan keadaban. “Ketika ada peserta sidang yang mempertanyakan pertanggungjawaban keuangan, alih-alih pertanyaan dijawab dengan data, salah seorang oknum wakil bendahara Orwil malah menantang berkelahi kepada penanya tersebut,”tulis tim dalam dokumen Juli tersebut. [ ]