In Memoriam: Jane Goodall si Api Harapan di Tengah Hutan yang Sunyi

Di setiap pohon yang kembali tumbuh, di setiap hutan yang pulih, di setiap anak muda yang berani bermimpi menyelamatkan bumi — di sanalah Jane Goodall hidup abadi.
JERNIH – Ada nama yang begitu lekat dengan bisikan hutan, dengan tatapan lembut simpanse, dan dengan pesan tentang harapan, dia lah Jane Goodall. Pada 1 Oktober 2025, dunia melepas perempuan yang 91 tahun hidupnya diabdikan untuk mendengarkan suara alam. Ia pergi dengan tenang, namun gema langkahnya akan terus hidup di bumi yang ia cintai.
Kelekatannya dengan hutan, satwa, dan alam sulit dilepaskan. Dia bukan hanya legenda, namun juga pemberi cahaya. Banyak julukan yang akhirnya menempel pada Jane Goodall.

“Penjaga Hutan” (Guardian of the Forest), karena ia menjaga bukan hanya simpanse di Gombe, tapi juga suara seluruh ekosistem. “Ibu Simpanse” (Mother of Chimpanzees), sebutan yang sering dilekatkan padanya karena kedekatan dan dedikasinya yang unik. “Suara Alam” (The Voice of Nature) lantaran ia mengubah cara manusia mendengar dan memahami dunia liar.
Hingga “Pembawa Harapan” (Bearer of Hope), sebab hampir di setiap pidatonya, ia menekankan pentingnya harapan sebagai kekuatan perubahan.
Sejak kecil, Jane bukanlah gadis biasa. Ia lebih suka menghabiskan waktu di halaman rumah, memperhatikan ayam bertelur berjam-jam, atau larut dalam buku petualangan tentang hutan dan binatang. Dari sana tumbuh keyakinan sederhana namun kuat: bahwa dunia ini luas, penuh misteri, dan manusia hanyalah bagian kecil darinya.

Mimpi masa kecil itu akhirnya membawanya ke Afrika. Di bawah bimbingan Louis Leakey, Jane menjejakkan kaki di Gombe, Tanzania — tempat di mana pandangan manusia tentang dirinya sendiri berubah selamanya. Ia melihat simpanse menggunakan ranting untuk mengeluarkan rayap dari lubang tanah. Sebuah temuan yang mengguncang sains, karena selama ini hanya manusia yang dianggap mampu membuat dan memakai alat.
Lebih dari sekadar penelitian, Jane memberi nama pada setiap simpanse yang ia temui — David Greybeard, Flo, Fifi — seakan berbisik pada dunia: mereka bukan objek penelitian, melainkan makhluk yang punya cerita, emosi, dan jiwa. Dengan itu, batas antara “kita” dan “mereka” perlahan memudar.
Menjelang paruh kedua hidupnya, Jane meninggalkan kenyamanan akademik untuk merambah jalan yang lebih luas: advokasi dan pendidikan. Pada 1977, ia mendirikan Jane Goodall Institute, yang melanjutkan penelitian di Gombe sekaligus memperluas upaya konservasi di berbagai belahan dunia. Dari sana lahir program Roots & Shoots pada 1991, gerakan global bagi anak muda untuk terlibat dalam perlindungan lingkungan, komunitas, dan kesejahteraan hewan.
Ia juga menginisiasi proyek-proyek reboisasi, rehabilitasi satwa, hingga pelatihan pertanian berkelanjutan bagi komunitas lokal Afrika. Baginya, melestarikan alam tak bisa dipisahkan dari kesejahteraan manusia.

Bahkan di usia senja, ketika rambutnya telah memutih, Jane tetap berdiri di panggung-panggung dunia, berbicara pada anak-anak sekolah, aktivis muda, hingga pemimpin negara. Ia mengingatkan kita dengan kata-kata yang sederhana, namun menusuk hati, “Kita tidak bisa menjalani satu hari pun tanpa memberi dampak pada dunia di sekitar kita. Apa pun yang kita lakukan akan membuat perbedaan.”
Di Indonesia, Jane Goodall menjadi inspirasi penting dalam gerakan lingkungan dan pendidikan sejak lama. Salah satu contoh nyata adalah kunjungannya ke Bali, di mana ia memberi apresiasi terhadap Green School yang mengajarkan nilai-keberlanjutan pada anak-anak sejak usia dini. Ia menekankan urgensi kesadaran akan sampah plastik dan mendorong masyarakat ikut aktif memberdayakan anak-anak agar peduli lingkungan secara berkelanjutan.
Selain itu, institusi yang berkaitan dengan Goodall juga mengambil langkah praktis dengan memanfaatkan teknologi untuk pelestarian alam di Indonesia. Misalnya, aplikasi Forest Watcher dari Jane Goodall Institute menyediakan alat pemantauan hutan berbasis satelit dan data kontekstual yang bisa dipakai masyarakat lokal; ini membantu deteksi kerusakan hutan lebih cepat dan respons lebih cepat pula oleh para penjaga hutan atau komunitas setempat.

Warisan Jane tidak melulu jurnal ilmiah atau dokumenter yang memukau. Lebih dari itu, ia meninggalkan cara pandang baru: bahwa perubahan besar lahir dari kepedulian kecil, bahwa harapan bisa ditumbuhkan, dan bahwa manusia hanya akan bertahan jika belajar hidup selaras dengan alam.
Kini, setelah kepergiannya, kita dihadapkan pada pertanyaan: apakah kita hanya akan mengenangnya sebagai legenda, ataukah kita berani melanjutkan langkahnya? Jane pernah berkata, “Bahaya terbesar bagi masa depan kita adalah sikap apatis.”
Bahaya terbesar bukanlah perang, bukan krisis iklim, bukan pula kerusakan hutan — melainkan ketidakpedulian kita.
Kabar wafatnya Jane Goodall disambut duka mendalam dari seluruh penjuru dunia. Para ilmuwan, pemimpin negara, aktivis, hingga media besar menyebutnya sebagai “suara besar bagi alam” dan “perempuan yang mengubah hubungan manusia dengan bumi.” National Geographic menulis bahwa lebih dari enam dekade dedikasinya telah membentuk kesadaran global tentang satwa liar dan lingkungan.

Di situs resmi Jane Goodall Institute, ucapan belasungkawa bercampur seruan untuk melanjutkan misi yang ia mulai. Sebab roda konservasi yang ia putar tak boleh berhenti, bahkan setelah ia tiada.
Warisan globalnya adalah perubahan paradigma ilmiah, jaringan institusi yang kokoh, generasi muda yang bergerak, dan ajakan moral agar manusia melihat dirinya bukan sebagai penguasa alam, melainkan bagian darinya.(*)
BACA JUGA: Peneliti Jerman Ternganga, Orangutan Sumatera Mengobati Luka dengan Tumbuhan Akar Kuning